Topik-topik dalam webinar tanggal 30 Oktober 2023 Acara Tematik, Mempertahankan Perkembangan Hukum: Peran Pendidikan Tingkat Tinggi Melalui Pernyataan Keputusan Pengadilan, yang dibuka oleh Dr. Parulian Aritonang, SH, LL.M, MPP, Dekan Fakultas Hukum UI dan Yvonne Klerks (TBC), Science and Education Attache, Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Indonesia sungguh menarik perhatian penulis.
Secara kontekstual kental sekali studi komparatif fungsi lembaga yudikatif dan pengaruh putusan pengadilan dalam ketatanegaraan.
Nani Indrawati, Hakim Agung pada Kamar Perdata mengungkap temuan atas kualitas putusan di Indonesia, antara lain tidak disusun secara sistematis, tidak mengandung alur berpikir hukum yang runtut, inkonsistensi putusan dan putusan pengadilan tingkat banding tidak mempertimbangkan dengan cukup pada saat menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama
Upaya Mahkamah Agung dalam Menjaga Kualitas dan Konsistensi Putusan Pengadilan salah satunya adalah bahwa sejak tahun 2012, Mahkamah Agung setiap tahunnya telah melakukan rapat pleno kamar untuk mendorong konsistensi putusan pengadilan yang hasilnya dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). SEMA paling terkini adalah SEMA Nomor 1 Tahun 2022.
Menurut Dr. Nani ada suatu praktik baik dengan dibentuknya Kelompok Kerja Lingkungan Hidup melalui SK KMA No. 204/KMA/SK/XII/2014 yang telah diperbarui dengan SK KMA No. 217 Tahun 2020 yang memasukkan para akademisi dalam Tim Nasional Lingkungan Hidup Mahkamah Agung, penyusunan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup, yang melibatkan para akademisi, dan pelibatan pihak eksternal dalam melakukan monitoring dan evaluasi putusan-putusan namun masih terbatas pada konteks lingkungan hidup.
Dalam hal ini menurut beliau Mahkamah Agung masih membutuhkan input pengetahuan dari pendidikan tinggi hukum melalui penelitian dengan fokus pada gap analysis antara konsep ideal dengan putusan-putusan pengadilan, juga membangun ruang diskusi antara akademisi dan para hakim terkait dengan perkembangan-perkembangan hukum yang relevan dengan pelaksanaan tugas hakim.
Mahkamah Agung mengharap peran Pendidikan Tinggi Hukum dalam melakukan eksaminasi putusan pengadilan untuk dianalisis dan didiskusikan dalam forum pendidikan tinggi hukum dan dipublikasikan, sehingga bermanfaat bagi hakim, mahasiswa, dan masyarakat luas, menjadikan putusan pengadilan sebagai salah satu sumber pembelajaran di kelas dan apresiasi terhadap putusan pengadilan yang berkualitas baik agar dikenal oleh publik, dengan harapan, hakim-hakim yang lain akan menjadikannya sebagai rujukan.
Sesi berikutnya adalah Muhammad Tanziel Aziezi dari LeIP yang merumuskan pertanyaan atas pembentukan dan pemberlakuan hukum, apakah hukum sudah diterapkan dengan baik? apakah terdapat kesalahan dalam hukum yang dibentuk? apakah terdapat kekurangan dari hukum yang dibentuk? apakah hukum masih sesuai dengan perkembangan?
Sebab menurutnya, putusan Pengadilan yang konsisten dan berkualitas akan sangat berperan dalam pembangunan Hukum.
Azie mencatat secara faktual peran Pendidikan Tinggi Hukum terkait putusan pengadilan, belum memberikan feedback secara maksimal, minim diseminasi/eksaminasi putusan, cenderung fokus pada putusan bermasalah, hanya fokus pada isu/perkara yang menarik perhatian, format putusan yang menyulitkan, dan belum menjadikan putusan sebagai bahan ajar
Catatan penting juga muncul dari Prof. Sulistyowati Irianto, Guru Besar FH-UI adalah bahwa banyak keputusan pengadilan yang dianggap kurang berkeadilan bagi publik dan menyebabkan sentimen, dan umumnya, penilaian yang merugikan individu dan publik memiliki narasi panjang tetapi menyembunyikan alasan hukum
Kebanyakan dalam perkembangannya putusan pengadilan semakin minim dalam reasoningnya malah langsung menjustifikasi atau menyimpulkan saja.
Stagnansi hukum di Indonesia disebabkan oleh tradisi mempertimbangkan sumber hukum hanyalah kodifikasi hukum (funnel laws), sementara, di Belanda sumber hukum juga kodifikasi hukum dan keputusan pengadilan
Menurut Prof. Sulis, keterlibatan pengajar dalam mengejar keputusan-keputusan pengadilan terbatas pada dosen individu saja, tidak institusional, minimnya penelitian dan pemantauan dengan bahan-bahan dari dokumen keputusan hakim, dan minim pelibatan dalam kegiatan akademik karena undangan dari lembaga hukum baik pemerintah dan organisasi masyarakat
Taru Spronken, Advocaat Generaal Hoge Raad der Nederlanden memberikan gambaran komparatif mengenai interaksi antara akademisi dan pengadilan di Belanda yang mana perannya sebagai ‘Advocaat Generaal’ di Kantor ‘Procureur-Generaal’ pada Hoge Raad menjalankan tugas mandiri dari pemerintah, parlemen, dan peradilan di Hoge Raad, bekerja di kamar perdata, pidana atau pajak.
Tugas utamanya adalah menulis opini independen untuk pengadilan di Hoge Raad, tentang bagaimana memutuskan sebuah perkara. Di dalam opininya, ‘Advocaat-Generaal’ menyampaikan pendapat mereka sendiri berdasarkan penelitian hukum tentang isu-isu yang bersangkutan yang dipublikasikan online dan bisa dibuka oleh masyarakat di https://uitspraken.rechtspraak.nl/, bahkan putusan-putusan pengadilan yang penting beserta opini-opini penasehat dianotasi oleh akademisi hukum di journal-journal
Advocaat Generaal mempunyai pendapat sendiri berdasarkan riset hukum, yang dilakukan berdasarkan pertanyaan hukum atau materi perkaranya, dan ini sudah menjadi tradisi hukum yang inheren untuk juga menggunakan input akademisi dalam putusan.
Advocaat Generaal membaca dan menuliskan opini/pendapatnya atas permohonan yang berisi apa yang menjadi pertanyaan hukum (question of law) dari perkara tersebut serta bagaimana pendapatnya atas pertanyaan hukum tersebut, memberikan konklusi (conclussie), yaitu opini (advisory opinion) sebagai bahan pertimbangannya.
Majelis tidak terikat dengan opini Advocaat Generaal dan dapat memberikan pertimbangan yang berbeda mengingat kewenangan dalam memutus perkara tetap ada pada majelis hakim. Opini dari Advocaat Generaal tersebut akan dimasukkan jurnal hukum bersama-sama dengan putusannnya, serta dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari putusan itu sendiri.
Pengadilan dibawah MA juga bisa menanyakan ke Mahkamah Agung atas perkara yang tidak jelas untuk bagaimana harus diputuskan, namun tanggapan hanya secara umum saja sehingga diharapkan dapat meningkatkan nalar dan visi agar putusan dapat konsisten.
Terakhir, Adriaan Bedner, Guru Besar Leiden University memperbandingkan metode interpretasi di Indonesia yang cenderung terbatas pada tekstual dan sistematis, namun di Belanda juga harus berdasarkan sejarah UU dan teleologis.
Perbedaan oleh karenanya terjadi juga pada kontinuitas dan perubahan pendidikan (konstruksi) hukum di Indonesia yang hanya fokus pada teori sedangkan Belanda pada penyelesaian kasus.
Pendapat Adriaan pun identik Dr. Nani dan Prof. Sulis bahwa pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan banyak yang masih terbatas, metode interpretasi sedikit dan kadang-kadang logikanya kurang komunikasi antar pakar hukum.
Selain itu juga menurut Adriaan, integrasi institusi hukum dan Indonesia masih terfragmentasi tergantung daripada politik hukum penguasa.
Pada titik ini, penulis sependapat bahwa politik hukum sudah dikuasai oleh elit partai, seringkali terjadi judisialisasi politik dan ditengah polemik tersebut institusi hukum kepemerintahan yang seolah tidak disentuh politik justeru dibiarkan menerapkan politik hukumnya sendiri makin dikembangkan dengan kecenderungan intrusif dan tidak relevan.
Perkara pada dasarnya merupakan uji penerapan UU dalam kehidupan masyarakat, bagaimana penafsiran atas suatu pasal mencapai keadilan, kemanfaatan dan kepastian dan memutuusnya sebagai produk hukum berupa putusan pengadilan yang akan menjadi acuan dalam memutuskan perkara lainnya yang identik.
Penulis mencatat konsep conclussie yang pernah disimak dalam RUU KUHAP yang sebenarnya bukanlah hal baru sebab terdapat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Dalam undang-undang tersebut diatur bahwa dalam pemeriksaan kasasi khusus untuk perkara pidana, sebelum MA memberikan putusannya, namun disini disebut Jaksa Agung dapat mengajukan pendapat teknis hukum dalam perkara tersebut.
Kekeliruan Naskah Akademis RUU KUHAP adalah memaknai “Advokaat Generaal” sebagai Jaksa Agung/Muda padahal jabatan-jabatan dalam sistem hukum Belanda tersebut tidak dapat dipahami dalam perspektif sistem hukum Indonesia, demikian juga dalam sejarah hukumnya yang cenderung disimpangi dan diserahterimakan begitu saja kepada institusi dari basis kepemerintahan.
Baik Parket, Procureur Generaal, Plaatsvervangend Procureur-Generaal, serta Advocaat Generaal pada Hoge Raad sebenarnya tidak sama maknanya dengan Kejaksaan Agung, Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung serta Jaksa Agung Muda dalam sistem hukum Indonesia. Oleh karena kedua institusi dalam sistem hukum yang berbeda ini ini tidak memiliki kedudukan serta fungsi yang setara.
Ironisnya, stigma yang melekat pada Advokat adalah “pokrol” padahal pokrol tidak menunjuk pada Advokat melainkan “procuerer” artinya jaksa, karena itulah sejarah harus diluruskan.
Kekeliruan hampir terjadi juga saat perumusan RKUHP yang membahas Contempt of Court namun ternyata ditujukan tendensius pada Advokat, tafsir sempitnya hanya berhenti pada cara bukan pada tujuan sehingga menjadi kontra-produktif tujuan hukum, teknis dan mekanisme pembelaan yang menjadi bagian dari sistem hukum acara pidana, meresahkan pencari keadilan terutama Advokat.
Due Process dan Crime Control mengutamakan kepentingan yang tidak dapat dipertemukan irreconciable disharmony of interest dan pernyataan perang yang menjadi nilai-nilai dasarnya namun sekaligus menutup perlawanan terbuka.
Simbiosis dalam penerapan administrasi pengawasan sangat dibutuhkan dalam hubungan keterbukaan antara kehakiman, akademisi dengan Advokat yang notabenenya berada dalam fungsi kekuasaan kehakiman yang dikategorikan sebagai badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang secara implisit disebut melalui Pasal 21 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 “Organisasi, administrasi, dan finansial MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan MA”.
Menjadi kebanggaan suatu konstruksi hukum jika Advokat diperkenankan untuk duduk bersama para akademisi di Kamar ke-6 Mahkamah Agung, demi sebuah “adviese blaad” yang sifatnya rahasia, basis input eksaminasi baik peraturan perundang-undangan maupun putusan-putusan.
Pada tataran Yudikatif peran Advokat dan ahli hukum/akademisi dapat mengembangkan konsep kamar yaitu mengisi Parket sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang dimaksud dalam desain sistem itu selaku pekerja kantor yang tidak terikat dengan sumpah jabatan (opera liberalis). Membangun penguatan Yudikatif, melalui Corporate University yang menanamkan dan mengadopsi sistem “organisasi parket hoge raad”.
*Adv. Agung Pramono, SH, CIL