Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Al-Azhar (Unizar) menggelar Kuliah Umum bekerja sama dengan Dewan Pimpinan Daerah Kongres Advokat Indonesia (DPD KAI) Nusa Tenggara Barat (NTB) mengangkat tema “Masa Depan Profesi Hukum di Era Kecerdasan Buatan” di Gedung Teater Ahmad Firdaus Sukmono Unizar, Selasa (24/10/23).
Acara ini dihadiri sejumlah tokoh akademik dan mahasiswa FH Unizar serta para praktisi hukum dan pengurus KAI NTB, yang menampilkan pandangan ahli tentang masa depan profesi hukum di era kecerdasan buatan.
Hadir Rektor Universitas Islam Al-Azhar (Unizar), Dr. Ir. Muh. Ansyar, MP., Ketua Senat Unizar Dr. Drs. H. Sahar, SH., MM, Kepala BPM Unizar Dr. Velia Maya Samodra, Wakil Rektor I Dr.Sri Karyati,SH.,MH, Wakil Rektor II Unizar Siti Ruqayyah, S.Si., M.Sc.
Dalam sambutannya, Ketua Panitia Sri Karyati, SH., MH.,yang sekaligus Wakil Rektor I Unizar menyampaikan terima kasih atas kerja sama antara FH Unizar dan DPD KAI NTB dalam penyelenggaraan acara ini, meski tak luput dari permintaan maaf atas segala kekurangan yang mungkin terjadi.
Rektor Unizar dalam sambutan mengungkapkan, teknologi hadir menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, secara sadar atau tidak, masyarakat sudah tergantung pada teknologi. Teknologi digital mengubah dan membantu aktivitas sehari-hari yang semua juga sudah online.
Di ruang digital, media sosial menjadi sumber utama dari segala aktivitas, baik berbisnis maupun berbagi informasi, dengan semakin tergantungnya kita dengan media sosial secara tidak sadar pola aktivitas kita terbentuk oleh informasi yang dikonsumsi sehari-hari melalui media sosial. Namun kemajuan teknologi juga berpengaruh pada sikap individualisme, sikap anti sosial, yaitu mengurangi interaksi dengan sesama.
“Era digital mau tidak mau harus bisa di terima oleh masyarakat khususnya dalam dunia pendidikan, kita harus bisa beradaptasi dengan situasi dan mengembangkan wawasan dan pengetahuan kita supya bisa mengikuti perkembangan zaman di era digital kecerdasan buatan,” ujar Rektor Unizar.
Bertindak sebagai moderator pada acara kuliah umum Dekan FH Unizar Dr. Ainuddin, SH., MH., yang juga menjabat sebagai Ketua DPD KAI NTB. Ia mengatakan, dilaksanakannya kuliah umum merupakan salah satu bentuk kerja sama antara Fakulktas Hukum Unizar dan DPD KAI NTB.
Ainuddin menyebut kerja sama antara praktisi dan akademisi dalam organisasi sebagai keuntungan yang memungkinkan pengembangan ide dan ilmu yang lebih baik.
Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar melaksanakan kuliah umum untuk mendapatkan berbagai pandangan terkait masa depan profesi hukum di era kecerdasan buatan.
Pembahasan dari perspektif praktisi disampaikan oleh Vice President Kongres Advocat Indonesia Adv. Dr. TM Luthfi Yazid, S.H., LL.M., CIL., CLI. yang mengkaji Masa Depan Profesi Hukum di Era Disrupsi, yakni apakah dimungkinkan kecerdasan buatan akan menggantikan manusia dalam lingkup profesi hukum.
TM Luthfi Yazid yang merupakan peneliti dan dosen di Gakushuin University Tokyo, membahas perkembangan teknologi, termasuk kecerdasan buatan, dalam profesi hukum. Ia menekankan bahwa sementara teknologi dapat mengubah cara kerja hukum, ada aspek-aspek manusiawi yang tetap penting dalam praktik hukum.
Kehadiran Artificial Intelligence (AI) tidak perlu dianggap sebagai ancaman, kecerdasaan buatan di era disrupsi ini tidak sepenuhnya dapat menggantikan profesi hukum, tetapi hanya dapat mempermudah pekerjaan profesi hukum. Kehadiran AI tidak perlu dianggap sebagai ancaman, tetapi AI memberikan peluang untuk mempercepat pekerjaan profesi hukum.
Dalam menghadapi persaingan dengan teknologi AI, para profesi hukum perlu meningkatkan keterampilan-keterampilan yang sulit ditiru oleh AI, seperti kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, kerja sama tim, dan empati guna menghadapi persaingan di era disrupsi mendatang.
Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence hadir sebagai cabang ilmu dari Computer Science yang menjanjikan, banyak manfaat dalam menjawab kebutuhan manusia di masa depan. Keberadaan AI tidak hanya akan berpengaruh pada adanya revolusi, namun juga memiliki efek disrupsi hampir di setiap industri. Selain berdampak pada produk dan layanan, juga akan berpengaruh pada sektor hukum.
Profesi hukum merupakan profesi penyedia jasa yang menangani permasalahan hukum. Namun, seiring dengan kemajuan teknologi di era disrupsi peran profesi hukum dapat diganti dengan peran perangkat kecerdasan buatan. Di Hangzhou-China, sejak tahun 2017 telah diluncurkan Hakim AI, meskipun masih terbatas menangani sengketa hukum yang memiliki aspek digital, termasuk masalah jual-beli online, kasus hak cipta, dan klaim liabilitas produk e-commerce.
Begitu juga dengan profesi pengacara, bukan tidak mungkin akan tergantikan dengan AI. Sebagaimana diketahui, AI telah mengalahkan pengacara terkemuka untuk pertama kalinya dalam sebuah kompetisi memahami kontrak hukum.
Di Indonesia, Hukumonline telah meluncurkan platform LIA (Legal Intelligence Assistant) berteknologi AI diklaim sebagai chatbot hukum pertama di Indonesia yang bertujuan membantu masyarakat mendapat konten edukasi hukum (hukum perkawinan, hukum perceraian, hukum waris). Secara yuridis penggunaan teknologi AI juga mendapatkan pengakuan dalam Pasal 28C Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi, meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
Akan tetapi, jika ditinjau secara normatif melalui hukum yang ada di Indonesia, AI tidak mungkin menggantikan hakim. Hal ini dapat dilihat dari syarat menjadi seorang hakim dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.
AI juga tidak mungkin menggantikan pengacara karena tidak dapat memenuhi unsur persyaratan yang telah diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Selain itu, AI tidak mungkin menggantikan Jaksa. Hal ini dapat dilihat dari syarat menjadi seorang jaksa dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan.
Mesin kecerdasan buatan memang mampu menjamin kepastian hukum dengan tingkat akurasi tinggi, tetapi mesin tidak mempunyai kepekaan untuk mendekatkan hukum pada keadilan karena keadilan tidak bisa diukur secara secara saintifik.
Pemateri ke dua dari perspektif teoritis, membedah teknologi vs nurani yang disampaikan oleh Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H. Dosen Filsafat Fakultas Hukum Universitas Mataram.
Mengawali penyampaiannya Widodo Dwi Putro mengajak untuk berpikir Cogito, ergo sum – Descartes, memiliki arti aku berpikir maka aku ada, ada satu hal yang tidak dapat diragukan: aku yang sedang meragukan. Namun, kini justru terbalik: rasio kita diragukan setelah hadirnya kecerdasan buatan.
Artificial Intelegent adalah kecerdasan buatan. Kecerdasan buatan merupakan salah satu bidang keilmuan yang mempelajari tentang bidang komputer sains yang membuat komputer memiliki kepintaran, kercerdasan untuk membantu, menyelesaikan tugas-tuas atau kegiatan manusia yang bertidak baik dan benar.
Kecerdasan buatan telah dilahirkan oleh para ilmuwan matematika dunia sejak awal abad ke 17. Namun kecerdasan buatan baru mulai muncul dan ramai diperbincangkan pada tahu 1950 silam.
Kecerdasan buatan memiliki tujuan untuk membuat mesin menjadi cerdas yang artinya mesin tersebut dapat mengerjakan, menghitung dan menyelesaikan tujuan yang sesuai dengan pengguna inginkan.*