Advokat Marion menggugat UU Tipikor ke Mahkamah Konstitusi (MK). Marion berharap MK menghapus Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dihapus. Apa alasanya?
Pasal 21 UU Tipikor menyatakan:
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
“Tindakan penyidik aparat penegak hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (APH KPK) yang menetapkan advokat sebagai tersangka tersebut merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia, dalam hal ini advokat,” kata Marion sebagaimana dilansir website MK, Kamis (6/7/2023).
Marion mengatakan Pasal 21 UU Tipikor telah merugikan hak konstitusionalnya, baik sebagai warga negara Indonesia secara individual maupun sebagai advokat yang berbadan hukum. Pasal 16 UU Advokat menyatakan:
Advokat tidak dapat dituntut baik secara Perdata maupun Pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam Sidang Pengadilan.
Kemudian Pasal 31 UU 18/2003 berbunyi:
Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.
“Tindakan tersebut secara jelas dan tegas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang memberikan dasar hukum bagi advokat di Indonesia,” ujar Marion.
Marion mencontohkan penerapan Pasal 21 UU Tipikor oleh Penyidik KPK kepada Stefanus Roy Rening. Di mana Roy Rening adalah pengacaranya Lukas Enembu. Menurut Marion, advokat juga mempunyai posisi atau kedudukan legal sebagai aparat penegak hukum yang setara dengan posisi atau kedudukan legal penyidik KPK serta aparat penegak hukum lainnya seperti, Penyidik Polri, Jaksa, Hakim/Pengadilan dalam melaksanakan tugas penegakan hukum.
“Pemohon berkesimpulan bahwa Materi Pasal 21 UU 31/1999 ini secara pasti (stricta) dan jelas (certa) merupakan materi pasal yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan asasi manusia advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada di bawah perlindungan hukum, undang-undang dan kode etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian advokat yang berpegang teguh kepada kemandirian, kejujuran, kerahasiaan, dan keterbukaan, serta dalam sistem peradilan pidana Indonesia negara hukum tegas menyatakan bahwa profesi advokat adalah selaku penegak hukum/aparat penegak hukum (APH) yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya,” ujar Marion.
Oleh karena itu, Marion dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 21 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menanggapi permohonan Marion, hakim konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyarankan pemohon untuk memastikan apakah norma yang diuji Pasal 21 UU Tipikor atau Pasal 6 jo Pasal 31 UU Advokat.
“Ini nanti dipastikan dulu dalam perihal karena nanti ini akan terkait dengan pasal-pasal yang akan diuji dengan batu uji yang ada di dalam UUD. Jadi harus ada persoalan konstitusionalitas norma. Nah ini Bapak lebih banyak dalam alasan permohonan ini mengangkat kasus konkret. Nanti dipastikan dulu, yang mana yang mau dipakai untuk pengujian materiil dalam permohonan saat ini,” terang Daniel.
Sementara hakim konstitusi Arief Hidayat menyarankan pemohon untuk memperbaiki kewenangan dan kedudukan hukum Pemohon.
“Dalam kewenangan itu belum ada Pasal 29 UU Kekuasaan Kehakiman,” kata Arief. DETIK