Fenomena Denny, Irisan Politik, Hukum & Tanggungjawab - Kongres Advokat Indonesia

Fenomena Denny, Irisan Politik, Hukum & Tanggungjawab

Tidak ada yang lebih tak terpercaya dari kerumunan, tak ada yang lebih samar dari opini publik, tidak ada yang lebih menipu dari keseluruhan sistem politik (Cicero)

Sebelumnya, penulis akui tulisan ini akan bersinggungan dengan disiplin keilmuan lainnya, dalam maksud agar dapat ditemukan ranah hukum apa yang tepat untuk disentuh.

Sebutlah bahwa tulisan ini juga sekaligus merupakan legal reasoning meskipun penulis masih amatir, sebab tuntutan profesional Advokat, dan hal tersebut mestinya menjadi sesuatu yang lazim.

Sisi positif yang penulis ambil adalah bahwa media ini dapat menjadi sarana komunikasi hukum dan ajang perdebatan pendapat untuk penguatan nalar Advokasi, minimal untuk diri saya sendiri sebab sangat dimungkinkan penulis hanya guthak-gathuk atau cocokologi, tapi begitulah materi terapan, selama dapat dinalar maka konsekuensinya tidak boleh keluar dari metodologi dan dampak yang sehat, objektif dan menolak animo umum.

Sisi agregasi kepentingan dari masyarakat politik sehubungan dengan transformasi institusi dan situasi hukum menarik bagi penulis, sedang terjadi peristiwa politik hukum yang tidak biasa namun berandil besar dalam mempengaruhi sejauh mana arah politik terbangun dan pelembagaan hukum menguat melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang seolah biasa saja akan tetapi memberikan angin panas diruang-ruang masyarakat politik.

Lemahnya representasi politik akibat keterputusan antara wakil-wakil yang dipilih oleh konstituen dan penyaluran aspirasi dan kepentingan kelompok warga (Törnquist, Webster dan Stokke. Rethinking Populer Representation, Springer. 2009).

Dalam masyarakat politik keterwakilan menjadi utama, partisipasi masyarakat sipil diklaim sebagai perilaku politik sebab masyarakat terjebak status keanggotaan partai sehingga mekanisme perwakilan mati suri.

Legalisasi perilaku pure politik dikemas melalui judisialisasi politik untuk menghasilkan penguatan terhadap kebijakan ataupun peraturan perundang-undangan yang tendensius dan temporer, dan ini yang dikatakan bahwa aturan formal sangat menentukan, atau di beberapa kajian demokrasi disebut “the only game in town” (Linz and Stepan. Problems of democratic transition and consolidation. Baltimore: Johns Hopkins University Press. 1996, hal. 5).

EVERYDAY LIFE POLITIC

Ketika kita menyebut elemen “Organizational Policy Making” pada ranah politik merupakan kegiatan organisasi untuk mengawal pembuatan kebijakan pemerintah dan agenda politik pemerintah, tapi apakah kita tidak dapat memaknai kata “organizational” sebagai individu?

Bisa jadi sesuatu yang terorganisir seperti diri pribadi yang memang mempunyai kemampuan untuk itu serta metode berpikir yang well-organized yang dapat mempengaruhi publik dimana outputnya tergantung daripada respon publik itu sendiri, objektif ataukah tendensius, ini yang tentunya tidak bisa kita prediksi sebab bergantung pada dinamika politisasi hukum yang bertujuan mendekonstruksi politik.

Ruang publik, yang berkembang termasuk wilayah digital, makin dicemari kepentingan sempit dan parsial yang kotor, kontestasi hasrat menguasai dengan mengabaikan hak orang lain, kepentingan mendahului nalar.

Kita tidak bisa membersihkan ruang publik dari kekacauan dan kotornya politik praktis yang seadanya dan distorsi yang menolak disebut memperangkap. Oleh karena itu dibutuhkan debat terbuka dengan menanamkan ide-ide melalui kebebasan yang bertanggungjawab yang berproses menuju demokrasi yang beradab melalui komunikasi nalar.

Harus dipahami juga bahwa tenaga dan pikiran kita akan menemui banyak jebakan politisasi institusional dan instrumentalia cara bernegara.

Sudah semestinya everyday life politic dipahami selalu ada, dimana nilai, sikap, dan interaksi serta artikulasi kepentingan berproses untuk beragam kepentingan. Konsekuensinya, para profesional dan akademisi harus bertanggungjawab untuk menterjemahkan situasi dan kondisinya agar tidak terjadi tumbukan dan anomali supaya masa depan bisa lebih jelas dicerna oleh nalar, tidak lagi dengan ramalan ataupun apatisme maupun fanatisme naif dan buta.

POLEMIK PROFESI PUBLIK

Perbuatan Prof. Denny Indrayana (DI) mungkin disebut sebagai perilaku yang cenderung menimbulkan konflik sebagaimana dikatakan oleh Tommi Legowo (1985), namun harus diperhatikan bahwa dalam konteks ini terbatas pada konflik politik oleh masyarakat politik, bukan warga negara dalam wacana umum.

Bisa jadi, apa yang dilakukan DI merupakan bentuk dari keresahan ketika melihat bahwa politik keterwakilan tidak lagi terjadi secara ideal, tentu kita ingat fenomena “perintah juragan”, yang membuka mata dan memukul inteleksi bahwa kelembagaan demokrasi sungguh tidak sehat.

Dalam kerangka ini, penulis melihat ada beberapa kekhilafan dari banyak akademisi ahli, profesional bahkan pejabat, misal dari reaksi cepat penyebutan rahasia negara yang masih debatable sementara sangat bisa dipahami oleh manusia hukum sebetulnya peristiwa ini boleh jadi lebih pada ranah hoax, namun penulis mempunyai kesimpulan dari sudut pandang lain yang akan disampaikan dibawah.

Terminologi rahasia negara mulai menstimulir kegaduhan, padahal belum ada klasifikasi pasti dari frasa rahasia negara. Putusan itu akan terbuka, final dan binding (mengikat) sehingga bukan merupakan rahasia. Rapat permusyawaratan Hakim memang bersifat rahasia, namun keputusan, pertimbangan dan lain-lain dari lembaga hukum tidak termasuk informasi rahasia, lebih tepat rasanya disebut konfidensial.

Faktanya, tidak benar ada kegaduhan dalam masyarakat dalam konteks warga negara, kecuali di masyarakat tertentu yaitu masyarakat politik, hal semacam ini sangat lazim apalagi dalam politik memang ada dikenal struktur rekahan masyarakat, disinilah kegaduhan (mungkin) ada.

Uniknya, polemik ini banyak dimanfaatkan oleh situs judi slot ketika penulis berselancar untuk menyortir informasi digital seputar polemik ini.

Pada media lainnya, penulis temukan utas tweet bertanggal 28/5/2023, dan Prof. Mahfud menulis ”…selidiki info A1 yang katanya menjadi sumber…tujuan dari tweet ini bukan kepada DI sebagai subjek tujuan lidik. Disini menurut penulis Prof. Mahfud telah menemukan konteksnya.

APRESIASI HUKUM

Dalam laman hukumonline, Presiden Kongres Advokat Indonesia, Adv. Dr. Tjoetjoe Sandjaja Hernanto memberikan apresiasi dan penghormatan setingginya kepada sikap sembilan Hakim Konstitusi dan lembaganya yang melaporkan DI ke organisasi profesi yang mewadahinya sebagai Advokat.

“itu kita harus belajar banyak dari MK. Bahkan kepolisian, kejaksaan, KPK itu seharusnya sama melakukan hal yang sama seperti MK,” imbuhnya.

Mantan Hakim MK (Prof. Jimly) yang sebelumnya sempat mengatakan bahwa ranahnya lebih ke etik. Menurut penulis, memang belum muncul kelaziman ini, sehingga beririsan dengan mindset etik atau malah terjerumus ke pidana yang jauh dari ranah pemahaman aktivitas advokasi secara objektif.

Ada sisi ajaran dan doktrinal yang dikenal di dunia Advokat tapi belum lazim di negara kita secara kontekstual terhadap terminologi pengacara publik yang biasanya diperankan oleh seorang akademisi sekaligus praktisi sebagai tanggungjawab keahliannya. Begitu juga Citizen Lawyer dengan lawsuitnya.

Justeru, dialektika dan dinamika konsekuensi dari sistem proporsional terbuka sedang berjalan, bahkan dengan polemik ini menjadi penanda bahwa diskusi sudah makin maju dan berkembang, tidak berjalan ditempat. Bahkan dalam konsiderans jelas MK menyebutkan juga resiko dari tiap sistem.

JUDISIALISASI POLITIK

Hirschl mengatakan bahwa Hukum Tata Negara adalah bentuk lain dari politik. [Ran Hirschl, “Judicialization of Pure Politics Worldwide”, 2008]

Hirschl mengemukakan alasan penggunaan proses litigasi oleh aktor-aktor politik sebagai pengalihan penentuan masalah-masalah politik yang kontroversial kepada pengadilan secara sengaja, kemudian menyebutnya sebagai “manuver hegemoni”.

Menurut Feeley dan Rubin (1998), Yudisialisasi pada dasarnya adalah lembaga peradilan yang memainkan peran untuk membuat kebijakan (judicial policy making). Peranan ini sah dimainkan oleh pengadilan dan sejatinya termasuk dalam kewenangan sebuah peradilan modern.

Secara tegas Owen Fiss berpendapat bahwa sebagai cabang kekuasaan, lembaga peradilan, memiliki peran dan fungsi yang sama dengan cabang kekuasaan lainnya dalam menentukan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. [Foreword: The Forms of Justice, hal. 1]

Menarik pula menurut penulis pendapat Edmund Burke  bahwa Pengadilan menempatkan diri sebagai political holder, pendapat ini diafirmasi oleh Hirschl bahwa kewenangan untuk mengadili kontroversi-kontroversi politik tersebut telah mengubah pengadilan menjadi sebuah institusi politik.

IRISAN FENOMENA HUKUMNYA

Kita tentu sangat akrab dengan adagium “in cauda venenum”, di ekor terdapat racun, dalam konteks ini penulis pikir masyarakat politik tentu akan melihat ekor saja tanpa memandang keseluruhan.

Dalam praktik constitutional court dikenal istilah ad informandum yang tidak bersifat mengikat, menjadi pengetahuan Hakim tapi sangat bisa jadi berpengaruh terhadap pola pikir atau perasaan Hakim.

Juga amicus curiae yang disampaikan oleh orang yang tertarik dalam mempengaruhi hasil dari aksinya. Ada dikenal pula voeging ad informandum, metode penyelesaian klasik, dekat dengan cara berfikir Anglo Amerika, mengenai tambahan tentang apa yang harus diberitahukan secara terbuka.

Sahabat tidak selalu mempunyai cara yang berkenan untuk memberikan pertukaran pendapat yang baik, bisa jadi bertentangan dengan batin akan tetapi pendapatnya lah yang harus diperhatikan pengaruhnya terhadap suatu pengambilan keputusan.

Bukan soal original intent dari asas-asas tersebut melainkan sekedar berpola di ranah hukum, informasi atau pendapat yang dapat saling menimbang dan mempegaruhi, bagaimanapun tata-caranya selama tidak bersifat kriminal ataupun non-etik.

Mengakrabi polemik melalui paradigma hukum dengan pola pikir sistematis terhadap doktrin atau wawasan hukum mestinya menjadi tradisi bagi para profesus Advokat, sehingga tidak menanggapi informasi ataupun berita seumpama pokrol dengan kosa-kata non-etik, tak elok.

Justeru yang menjadi masalah mengganjal bagi penulis adalah subjek sebagaimana yang dimaksud Prof. Mahfud dengan kalimat …selidiki info A1 yang katanya menjadi sumber…

Penulis yakin dalam polemik ini banyak pihak memahami pseudo democracy atau yang disebut George Sorensen sebagai frozen democracy, intinya jangan terjebak dengan kerangka demokrasi ilusif.

Dalam klaster pemikiran terbatas maka perbuatan DI menurut penulis mengekspresikan suatu kompromi politik hukum dalam nuansa yang diluar nalar umum, dan mau tidak mau kita harus menerima kenyataan bahwa putusan dari uji materiil yang dillakukan di Mahkamah Konstitusi dalam pemikiran Sorensen itu justeru menyelamatkan.

Mereka yang mempermasalahkan pastilah bukan masyarakat biasa tapi masyarakat politik atau yang jenuh dengan politik atau malah yang berlagak paham politik, dapat disimpulkan yang mengalami ketersinggungan mestilah manusia politik dan/atau masyarakat politik, bukan masyarakat umum.

Seperti anak kecil, disisi lain penulis sedang asik rebah menutupi mata dengan komik manga, menangkap bayangan isi kepala yang sedang menayangkan fenomena yang muncul bagai film kartun, membongkar pseudoarchelogy yang menggubah sejarah dan pengetahuan untuk kepentingan politik dalam balut science fiction, atau balut wild west saja? Era medieval juga keren, membongkar ilusi.

*Adv. Agung Pramono, SH, CIL

2 Responses
    1. Terimakasih, Mr. Lee ?? saya baru belajar saja, kalaupun menarik dan membentuk pencerahan berarti pemikiran kita memang sama, berusaha objektif dan profesional ?… ?☕

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024