Advokat Perempuan Dalam Sejarah Negara
14 Juli 1945, Maria Ullfah, anggota BPUPKI di Panitia Pertama, mempertanyakan tidak dicantumkannya hak azasi manusia, termasuk hak dasar warga negara, di dalam naskah UUD. Pertanyaan Maria Ulfah itu disambut banyak anggota BPUPKI. Perdebatan pun menjadi riuh.
Sukarno yang menghadiri rapat itu langsung menolak ide itu. “Nggak perlu. Itu sudah cukup,” kata Sukarno, mendengar itu, Maria mencoba menjelaskan maksudnya ialah hak dasar yang berlaku di tiap negara, bukan hak asasi yang berlaku universal sehingga perlu ditetapkan dalam UUD.
“Saya tidak bilang hak asasi tapi hak dasar. Bung Karno memang selalu keras terhadap saya,” sambungnya, “Untung saya ada di situ sebagai perempuan,” kata Maria.
Argumentasinya terbayar, idenya disepakati dan tercatat dalam pasal 27 yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Persepsi Naluriah Tentang Perempuan
West dan Zimmerman (1989) beragumen awal dari ketidaksaam gender ialah fungsi biologis perempuan yang secari fisik, psikologi, dan sosial yang menempatkan mereka sebagai yang melahirkan, menyusui, dan membesarkan anak. Fungsi biologis yang bersifat dikotomi yang kemudian menempatkan adanya perbedaan posisi antara laki-laki dan perempuan.
Fungsi biologis ini juga yang kemudian jika dibawa ke berbagai ranah kehidupan, baik sosial, kultural, maupun politik secara spesifik membentuk perempuan dan laki-laki sebagai dua entitas yang secara taken for granted terpisah. (Wening Udasmoro, 2018: 3)
Penulis tertarik saat menyimak jurnal yang ditulis oleh Syahrul Amar yang berjudul “Perjuangan Gender Dalam Kajian Sejarah Wanita Indonesia Abad Ke-XIX” Volume 1 Nomor 2. Didalam jurnal ini membahas tentang bagaimana peranan wanita Indonesia sebelum datangnya bangsa barat hingga pada zaman pemerintah Kolonial Belanda.
Sadar atau tidak, kebanyakan kaum pria menganggap wanita sebagai sebuah barang permainan belaka yang ditakdirkan untuk tunduk pada laki-laki dan dibiarkan bodoh agar tidak berani terhadap suaminya. Sehingga peran wanita dalam perjuangan secara langsung melawan Belanda hanya sedikit yang muncul dalam peristiwa sejarah Indonesia.
Fenomena Pornografi Non-Konsensual
Pernah, Permendikbudristek Nomor 30/2021 yang disahkan oleh Mendikbud Riset Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021 mencantumkan frasa kekerasan seksual dirangkai dengan frasa “tanpa persetujuan korban”.
Sebebas apapun perilaku dan interaksi tetap mempunyai kemungkinan menimbulkan kerugian terhadap salah satu pihak yaitu bentuk kekerasan, sebagai suatu daya paksa yang tidak diinginkan yang menunjuk pada adanya “ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender”, resiko ini tidak pernah dijadikan pertimbangan dalam membangun perilaku di era milenial.
“Resiko urusan belakang yang penting lakukan dulu”, demikian fatalitas yang berkembang yang justeru mengorbankan lebih jauh dan banyak lagi, ini menjadi paham kebebalan massive yang mengakar sebab memberikan ruang bagi kebebasan – menurut penulis.
Dalam Perdata kita juga mengenal konsep yang ekuivalen yaitu “misbruik van omstandigheden”, penyalahgunaan keadaan, cacat kehendak, keadaan tidak seimbang.
Dalam hal ini penyebutan korban menurut penulis lebih dikarenakan telah berlaku sebagai subjek yang menerima perlakuan namun secara hukum tidak dalam keadaan yang seimbang sehingga meskipun memiliki pengaruh dalam kausalitas tetap disebut sebagai objek kekerasan yang relatif tapi objektif harus mendapat prioritas perlindungan hukum.
Perlindungan Untuk Perempuan
Di Indonesia, isu kekerasan seksual dengan berbagai macam bentuknya, seringkali dipaparkan berdasarkan pengaduan para korban dengan berbagai konteks dan jenisnya, termasuk kekosongan hukum yang dapat melindungi korban. Selain itu ada catatan kekerasan berbasis tempat, dimana rumah sakit yang seharusnya menjadi ranah yang memulihkan, ternyata tidak bebas dari kekerasan seksual. Termasuk di transportasi publik, apartemen, lembaga pendidikan dan ruang publik lain yang masih menyisakan kerentanan bagi perempuan. Termasuk di dunia kerja, migrasi dan konteks kebencanaan. Isu- isu yang di highlight juga isu femicida yang belum dikenali negara, kekerasan cyber, kriminalisasi perempuan lewat UU ITE, UU PKDRT, KUHP.
Penyebaran gambar seksual eksplisit tanpa persetujuan dan tanpa tujuan yang sah – secara populer tetapi menyesatkan disebut sebagai porno balas dendam (revenge porn), biasanya dilakukan oleh mantan mitra pendendam, peretas oportunistik, atau pemerkosa dapat mengunggah gambar eksplisit korban ke situs web tempat ribuan orang dapat melihatnya dan ratusan situs web lain dapat membagikannya, bahkan melalui email atau dipamerkan kepada keluarga, majikan, rekan kerja, dan rekan korban.
Penulis lebih memilih untuk menyebut fenomena semacam ini sebagai “Pornografi non-konsensual” dengan merujuk pada pola kebebasan interaksi yang belum bisa diatasi, ini bukanlah fenomena baru, tetapi prevalensi, jangkauan, dan dampaknya telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Apalagi, pelaku tidak selalu dimotivasi oleh dendam. Motif keuntungan, ketenaran, atau hiburan, termasuk peretas, penyedia rekaman kamera tersembunyi atau “upskirt”, dan orang yang mendistribusikan foto ponsel curian. Terjadi multi-perseptual, sulit membedakan antara koleksi gambar pribadi dengan pengambilan gambar yang memang ditujukan untuk subjek intim tertentu yang dituju, dan juga yang bertujuan untuk hiburan seksual publik. Oleh karena itu, banyak pembela korban menggunakan istilah “pornografi non-konsensual”.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa pornografi non-konsensual sering memainkan peran dalam kekerasan pasangan intim, dengan pelaku atau pemerkosa menggunakan ancaman pengungkapan untuk mencegah pasangannya meninggalkan atau melaporkan pelecehan mereka ke penegak hukum.
Urgensi AdvoKAI Perempuan
Advokat adalah salah satu unsur dalam sistem penegakan hukum yang memiliki posisi penting, untuk mendorong perubahan sikap Aparat Penegak Hukum dalam setiap tingkat peradilan.
Akses terhadap keadilan merupakan implementasi UUD 1945 pasal 27 ayat (1). Kesamaan dihadapan hukum berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dan Pemerintah, baik dalam akses maupun dalam peleyanannya, tanpa terkecuali termasuk bagi masyarakat dalam kategori kelompok rentan, seperti anak, perempuan, penyandang disabilitas dan juga kelompok minoritas lainnya.
Dalam hal akses terhadap keadilan (Acces to Justice), kelompok rentan memiliki tantangan dan hambatan-hambatan tersendiri, baik itu bersifat yuridis, politis, sosiologis, atau psikologis yang faktanya masih ditemukan hambatan akses keadilan bagi kelompok rentan tersebut. Sehingga sangat penting adanya pendamping hukum yang memiliki pemahaman inklusif terkait dengan kekhususan kelompok rentan berhadapan hukum.
Sifat embrace all kind of beauty atau permasalahan hukum yang sexy (bahasa penulis) sebab berkaitan dengan jabatan atau uang sebagaiana fenomena kekerasan dan pronografi menjadi penanda bahwa sudah waktunya perempuan menemukan alasan pergerakan, idea yang muncul dari perempuan dalam ruang advokasi terutama ranah hukum yang sangat rentan dipolitisir.
Penulis mengutip pendapat Bagir Manan, yaitu “Advokat mempunyai porsi dalam menegakkan hukum dan keadilan didalam kekuasaan kehakiman, dan juga sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya advokat memiliki peran penting dalam melakukan pengawasan dan pengawalan integritas peradilan.” [Menegakkan Hukum Suatu Pencarian, Jakarta, 2009, hlm. 118-119]
Jejak Feminisme Dalam Institusi Hukum
Di Indonesia sendiri gerakan perempuan menurut penulis ternyata tidak hanya digagas oleh perempuan, bahakn Mahkamah Agung secara institusional melalui SEMA Nomor 3 Tahun 1963 Tentang Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang, tanggal 5 September 1963 terutama mengenai Pasal-pasal 108 dan 110 B.W. tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka Pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suami. Dengan demikian tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan diantara semua warga negara Indonesia.
SEMA inilah yang menurut penulis merupakan tonggak sejarah hukum dalam menerapkan kesederajatan antara perempuan dengan laki-laki, bukan derajat dalam hal biologis yang sudah kodrati melainkan secara gender, potensi dan kemampuan sosial, artinya secara bilogis hak-hak perempuan harus dihormati sedangkan secara sosial kemampuan perempuan tidak boleh dipandang sebelah mata hanya karena kodrat biologis sebab merupakan dua hal yang berbeda.
Dikuatkan lagi dengan PERMA No. 3 Tahun 2017 yang bertujua agar Hakim dapat menjamin hak perempuan untuk mendapatkan akses yang setara dalam memperoleh keadilan.
Sejak beberapa tahun lalu, penulis suka sekali ketika mendengar lahirnya sebutan AdvoKAI Perempuan sebagai sayap pergerakan dan pemberdayaan perempuan di Kongres Advokat Indonesia, memang bukan yang pertama seperti Srikandi atau Kartini Advokat dan lainnya, tapi membawa angin perubahan paradigma terhadap Advokat Perempuan secara internal.
Melanjutkan usul Maria Ullfah yang menjadi tonggak gerakan perempuan sebagai upaya secara legal menyetarakan hak dasar perempuan dan lelaki.
*Adv. Agung Pramono, SH., CIL.