Majelis Panel Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan uji materi Pasal 66 ayat (1) No. 14 Tahun 1985 yang diubah menjadi UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman. Permohonan ini diajukan oleh Sutrisno Nugroho yang pernah terlibat kasus narkoba yang tidak diperbolehkan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) untuk kedua kalinya.
Kuasa Hukum Pemohon Erdiana mengatakan pemohon merasa dirugikan akibat adanya aturan ini. Sebab, saat kliennya ingin mengajukan PK untuk kedua kalinya ditolak oleh pengadilan negeri. Padahal, pemohon merasa telah menemukan alat bukti baru (novum). “Hal ini disebabkan adanya pembatasan aturan dalam dua pasal yang kami uji materikan itu,” kata Erdina kepada Hukumonline usai sidang perbaikan di Gedung MK Jakarta, Senin (6/8/2018).
Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985 berbunyi “Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.” Sedangkan, Pasal 24 ayat (2) UU No. 48/2009 berbunyi “Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.”
Menurut Erdiana, Pasal 268 ayat (3) KUHAP mengenai pengajuan PK hanya dapat dilakukan sekali sudah dihapus/dibatalkan karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945 melalui putusan MK No. 34/PUU-XI/2013. Putusan ini menyiratkan PK perkara pidana boleh diajukan berkali-kali sepanjang memenuhi syarat pengajuan PK.
“Putusan MK itu telah menyatakan bahwa PK dapat dilakukan lebih dari satu kali apabila memenuhi alasan PK,” ujar Erdiana (Baca Juga: MK Batalkan Aturan PK Hanya Sekali)
Hanya saja, kata Erdiana, persoalannya Putusan MK ini justru tidak ditaati MA dengan mengeluarkan SEMA No. 7 Tahun 2014 tanggal 31 Desember 2014. Dalam SEMA itu, pada pokoknya menyatakan “bahwa Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding agar tidak menerima pihak yang mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali untuk ke-2 (dua) kali atau seterusnya.”
Erdiana berdalih alasan MA menerbitkan SEMA ini akibat adanya Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU MA, yang telah ditafsirkan dan dijadikan dasar untuk tetap membatasi pengajuan PK dalam perkara pidana yang hanya dapat diajukan satu kali. (Baca Juga: MA Kukuhkan PK Hanya Sekali)
Padahal, pembatasan pengajuan PK perkara pidana secara khusus diatur dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 oleh MK. Karena itu, kata dia, akibat berlakunya dua ketentuan itu, permohonan PK terhadap perkara pidana yang pernah dilakukan PK sebelumnya, tidak diterima oleh pengadilan.
“Kami hanya menginginkan PK dapat dilakukan hanya untuk perkara pidana saja. Sebab, perkara pidana itu hanya satu pihak yang berkepentingan, tidak seperti perkara perdata, PTUN, dan agama yang kedua belah pihak memiliki kepentingan,” katanya.
Untuk itu, Erdiana meminta kepada Mahkamah agar Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU 48 UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai “apabila permohonan peninjauan kembali dimaknai (hanya) untuk perkara pidana.” HUKUMONLINE
Bagaimana caranya supaya ada keseragaman hukum ada kepastian hukum