Keabsahan perkawinan merupakan domain agama melalui lembaga atau organisasi keagamaan yang berwenang atau memiliki otoritas memberikan penafsiran keagamaan. Peran negara dalam hal ini menindaklanjuti hasil penafsiran yang diberikan oleh lembaga atau organisasi tersebut. Adapun mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan oleh institusi negara adalah dalam rangka memberikan kepastian dan ketertiban administrasi kependudukan sesuai dengan semangat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Hal tersebut diungkapkan oleh Hakim Konstitusi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat membacakan pertimbangan hukum MK dalam Putusan Nomor 24/PUU-XX/2022, perkara pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Permohonan diajukan oleh E. Ramos Petege yang merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam.
Sidang pengucapan putusan digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (31/1/2023). Dalam amar putusan, MK menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. “Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman yang membacakan Amar Putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya di Ruang Sidang MK.
MK dalam pertimbangan hukumnya juga menyatakan, dalam perkawinan terdapat kepentingan dan tanggung jawab agama dan negara saling berkait erat. “Maka melalui Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, MK telah memberikan landasan konstitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih
Hak Asasi Manusia dalam Perkawinan
Terhadap konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 huruf f dan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tersebut, MK mempertimbangkan hak asasi manusia (HAM) merupakan hak yang diakui oleh Indonesia yang kemudian tertuang dalam konstitusi sebagai hak konstitusional warga negara Indonesia. Meskipun demikian, HAM yang berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa. Jaminan perlindungan HAM secara universal tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Walaupun telah dideklarasikan sebagai bentuk kesepakatan bersama negara-negara di dunia, penerapan HAM di tiap-tiap negara disesuaikan pula dengan ideologi, agama, sosial dan budaya rakyat di negara masing-masing.
Enny menjelaskan, berdasarkan rumusan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, ada dua hak yang dijamin secara tegas yakni “hak membentuk keluarga” dan hak melanjutkan keturunan”. Adapun frasa berikutnya menunjukkan bahwa ‘perkawinan yang sah’ merupakan prasyarat dalam rangka perlindungan kedua hak yang disebutkan sebelumnya. Artinya, perkawinan bukan diletakkan sebagai hak melainkan sebagai prasyarat bagi pelaksanaan hak membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan. Sehingga berdasarkan uraian tersebut maka telah jelas bahwa dalam konteks perlindungan hak untuk menikah terdapat perbedaan mendasar antara UDHR dengan UUD 1945. Sebagai negara hukum yang menegakkan supremasi konstitusi maka tanpa mengesampingkan hak asasi yang bersifat universal dalam UDHR sudah seharusnya MK menjadikan UUD 1945 sebagai landasan utama dalam menilai hak konstitusional warga negara.
“Meskipun Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 meletakkan perkawinan yang sah merupakan syarat untuk melindungi hak membentuk keluarga dan hak untuk melanjutkan keturunan, akan tetapi syarat tersebut bersifat wajib. Karena tidak dapat membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan apabila tidak dilakukan melalui perkawinan yang sah. Dengan menggunakan kaidah hukum, sesuatu yang menjadi syarat bagi suatu kewajiban hukumnya menjadi wajib (mâ lâ yatiimmu alwâjibu illâ bihî fahuwa wâjib), maka perkawinan yang sah juga merupakan hak konstitusional yang harus dilindungi,” ungkap Enny.
Aturan Perkawinan
Pertimbangan hukum berikutnya dibacakan Hakim Konstitusi Wahiduddin yang mengungkapkan, ihwal keberadaan negara dalam mengatur perkawinan, MK pernah mempertimbangkannya dalam Putusan Nomor 56/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 23 Juli 2018. Berkenaan dengan beragama pada dasarnya terbagi menjadi dua, pertama beragama dalam pengertian menyakini suatu agama tertentu yang merupakan ranah forum internum yang tidak dapat dibatasi pemaksaan bahkan tidak dapat diadili. Kedua, beragama dalam pengertian ekspresi beragama melalui pernyataan dan sikap sesuai hati Nurani di muka umum yang merupakan ranah forum externum.
Adapun perkawinan merupakan bagian dari bentuk ibadah sebagai suatu ekspresi beragama. Dengan demikian, perkawinan dikategorikan sebagai forum eksternum di mana negara dapat campur tangan sebagaimana halnya dengan pengelolaan zakat maupun pengelolaan haji. Peran negara bukanlah membatasi keyakinan seseorang melainkan lebih dimaksudkan agar ekspresi beragama tidak menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut. Perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU 1/1974.
Segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk dalam hal menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan. Adanya pengaturan demikian sejalan pula dengan Pasal 28J UUD 1945 bahwa dalam menjalankan hak yang dijamin UUD 1945, setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis berdasarkan hukum.
Jaminan Negara dalam Penyelenggara Perkawinan
Selain berdasarkan peraturan perundang-undangan, Wahiduddin mengatakan, campur tangan negara dalam penyelenggaraan perkawinan tidak sampai menjadi penafsir agama bagi keabsahan perkawinan. Dalam hal ini negara menindaklanjuti hasil penafsiran lembaga atau organisasi keagamaan untuk memastikan bahwa perkawinan harus sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Hasil penafsiran tersebut yang kemudian dituangkan oleh negara dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian yang membuat penafsiran keabsahan perkawinan beda agama tetaplah pemuka agama. Dalam hal ini yang telah disepakati melalui lembaga atau organisasi keagamaan, bukan penafsiran yang dilakukan oleh individu yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Keberadaan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 huruf f UU 1/1974 telah sesuai dengan esensi Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 29 UUD 1945 yakni berkaitan dengan kewajiban negara untuk menjamin pelaksanaan ajaran agama. Perkawinan menurut UU 1/1974 diartikan sebagai ikatan lahir batin yang terjalin antara seorang pria dan seorang wanita yang diikat oleh tali pernikahan dan menjadikan status mereka sebagai suami dan istri. Perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga dalam suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ihwal perkawinan, Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 menyebutkan tidak hanya sebatas perkawinan tetapi lebih dari itu yakni “perkawinan yang sah”. Adapun perkawinan yang sah adalah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
“Pada ketentuan Pasal 2 UU 1/1974 pencatatan yang dimaksud ayat (2) haruslah pencatatan yang membawa keabsahan dalam ayat (1). Dengan demikian, UU tersebut menghendaki agar perkawinan yang dicatat adalah perkawinan yang sah. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara merupakan kewajiban administratif. Sedangkan perihal sahnya perkawinan dengan adanya norma Pasal 2 ayat (1) a quo, negara justru menyerahkannya kepada agama dan kepercayaannya karena syarat sah perkawinan ditentukan oleh hukum masing-masing agama dan kepercayaan,” jelas Wahiduddin.
Menurut MK, ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 memberikan suatu koridor bagi pelaksanaan perkawinan bahwa agar perkawinan sah maka perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Berlakunya ketentuan pasal 2 ayat (1) bukan berarti menghambat ataupun menghalangi kebebasan setiap orang untuk memilih agama dan kepercayaannya. Kaidah pengaturan norma Pasal 2 ayat (1) adalah perihal perkawinan yang sah menurut agama dan kepercayaan, bukan mengenai memilih agama dan kepercayaan. Pilihan untuk memeluk agama dan kepercayaannya tetaplah menjadi hak masing-masing orang untuk memilih, menganut dan menyakininya sebagaimana dijamin oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Pasal 34 UU 23/2006 menegaskan setiap warga negara yang telah melangsungkan perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan berhak mencatatkan perkawinannya pada kantor catatan sipil bagi pasangan non Islam dan KUA bagi pasangan beragama Islam. Jaminan pencatatan perkawinan bagi setiap warga negara juga dapat dilakukan terhadap perkawinan yang ditetapkan oleh peradilan. Meskipun dalam penjelasannya dijelaskan perkawinan yang ditetapkan pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama, menurut Mahkamah bukan berarti negara mengakui perkawinan beda agama. Karena negara atau organisasi dalam hal ini mengikuti penafsiran yang telah dilakukan oleh lembaga atau organisasi keagamaan yang memiliki otoritas mengeluarkan penafsiran. Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran maka lembaga atau organisasi keagamaan dari individu tersebut yang berwenang menyelesaikannya.
Sebagai peristiwa kependudukan, kepentingan negara in casu pemerintah adalah mencatat sebagaimana mestinya perubahan status kependudukan seseorang sehingga mendapatkan perlindungan, pengakuan, status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan tersebut termasuk dalam hal ini pencatatan perkawinan yang dilakukan melalui penetapan oleh pengadilan. Mahkamah menilai ketentuan tersebut harus dipahami sebagai pengaturan di bidang administratif kependudukan oleh negara karena perihal keabsahan perkawinan adalah tetap harus merujuk pada norma Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 yaitu perkawinan yang sah adalah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Pengaturan pelaksanaan pencatatan perkawinan di atas menunjukkan tidak ada persoalan konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Justru sebaliknya dengan adanya pengaturan pencatatan perkawinan bagi setiap warga negara yang melangsungkan perkawinan secara sah menunjukkan bahwa negara berperan dan berfungsi memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan hak asasi manusia yang merupakan tangungjawab negara dan harus dilakukan dengan prinsip peraturan perundang-undangan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945.
Perubahan UU Perkawinan
Dua Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memiliki alasan yang berbeda putusan perkara pengujian UU Perkawinan ini. Menurut Suhartoyo, dalam konteks penegakan UU Perkawinan, fenomena perkawinan beda agama tersebut di atas seolah-olah terjadi karena “kurang atensinya” negara yang tidak mengakui dan menganggap “tidak sah secara agama” terhadap perkawinan beda agama karena legalisasi perkawinan menurut hukum sipil hanyalah berupa pencatatan administrasi.
Oleh karena itu, adanya bentuk ketidakpastian hukum demikian seyogyanya negara hadir untuk menyelesaikan permasalahan terkait melalui adanya pembangunan atau perubahan UU Perkawinan yang pada saat diterbitkannya pada tahun 1974 tentu kondisi sosial dan dinamika kehidupan masyarakat belum sekompleks saat ini. Terlebih pada perubahan UU Perkawinan dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 hanyalah mengubah norma mengenai batas usia kawin sebagaimana implikasi dari putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017.
Dengan demikian, sambung Suhartoyo, perkawinan beda agama negara perlu mempertimbangkan agar kiranya pada masa yang akan datang jika akan dilakukan revisi terhadap UU Perkawinan dimaksud, memberikan atensi penyelesaian secara komprehensif baik secara jalan keluar atas keabsahan dari hukum agama/kepercayaannya, maupun dalam hal mengakomodir akibat hukum pencatatnnya. Adapun substansi perubahan dimaksud tentu dengan menyesuaikan dinamika sosial dan hal-hal lain terkait yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dengan tentunya menyeimbangkan kebebasan beragama di satu sisi dan mengakomodir fenomena perkawinan beda agama dan tata cara pencatatannya secara bijak pada satu sisi yang lain. Sebab, sejatinya saat ini terjadi secara faktual akibat hukum perkawinan beda agama adalah sekedar pengakuan oleh negara secara administrasi saja.
“Saya berpendapat lebih tepat bagi Mahkamah untuk mengembalikan kepada pembentuk UU yang memiliki kewenangan untuk melakukan perubahan UU Perkawinan tersebut jika memang akan dilakukan perubahan. Sehingga permasalahan perkawinan beda agama dapat terselesaikan dari akar masalahnya (root cause), tidak hanya selesai dalam ranah pencatatan administrasi tetapi juga diperoleh jalan tengah yang bijak dengan tetap mengedepankan pemenuhan hak-hak warga negara untuk mempunyai kebebasan memeluk agama dan kepercayaannya dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing,” kata Suhartoyo.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menegaskan, lembaga yang tepat mengatur ini adalah lembaga pembentuk undang-undang yaitu DPR dan Presiden/Pemerintah. “Kedua lembaga tersebut memili perangkat dan sumber daya yang lebih banyak daripada lembaga peradilan seperti MK terutama perangkat dan sumber daya dalam menyerap berbagai aspirasi masyarakat begitu juga kemampuan dalam melakukan riset yang mendalam dengan melibatkan berbagai macam dispiln keilmuan dalam menyiapkan naskah akademik. MAHKAMAH KONSTITUSI