6 Alasan Negara Turut Bertanggung Jawab dalam Pengembalian Aset First Travel ke Jamaah Menurut Vice Presiden KAI - Kongres Advokat Indonesia

6 Alasan Negara Turut Bertanggung Jawab dalam Pengembalian Aset First Travel ke Jamaah Menurut Vice Presiden KAI

Pemerintah semestinya turut bertanggung jawab terhadap kegagalan keberangkatan calon jamaah umrah. Eksekusi putusan PK ini berada di tangan jaksa yang memerlukan waktu panjang.

Informasi terbitnya putusan Peninjauan Kembali (PK) dari Mahkamah Agung (MA) atas aset PT First Travel bakal dikembalikan ke para jamaah membuat lega. Perjuangan panjang puluhan ribuan calon jamaah umrah agar dananya dapat kembali akhirnya terwujud, meskipun praktik pengembalian memerlukan proses panjang. Putusan PK tersebut mengubah kewenangan hak aset First Travel yang semula dirampas negara, menjadi dikembalikan ke para jamaah.

“Kabul,” demikian amar putusan nomor perkara 365 PK/Pid.Sus/2022 sebagaimana dilansir dari laman resmi MA, Kamis (5/1/2023).

Penasihat Hukum pro bono jamaah korban First Travel, TM Luthfi Yazid mengaku gembira dengan putusan PK tersebut. Hanya saja kabar putusan PK tersebut belum disertai dengan petikan putusan secara lengkap dalam laman webste MA berdasarkan pencarian Luthfi. Menurutnya, First Travel merupakan perusahaan penyelenggara pelaksanaan ibadah umrah (PPIU) yang seharusnya dijamin negara.

Sebab, ada kewajiban negara melalui Kemenag untuk memastikan secara rutin dan mengaudit sejumlah hal terhadap PPIU. Seperti keuangan, admistratif dan perizinan yang membuktikan sebuah PPIU dalam keadan sehat dan layak menyelenggarakan ibadah umrah sesuai dengan UU No.8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah maupun aturan turunanya. Tapi, lantaran First Travel gagal memberangkatkan puluhan ribu jamaah, pemerintah mesti bertanggung jawab terhadap kegagalan tersebut.

“Akhirnya, melalui PK sebagai upaya hukum luar biasa, aset First Travel dikembalikan kepada jamaah. Tetapi bagaimana mekanisme pengembaliannya kepada puluhan ribu jamaah, pastilah rumit, dan ruwet,” ujarnya kepada Hukumonline, Jum’at (6/1/2023).

Dia menilai setidaknya ada enam alasan negara harus hadir dan turut serta bertanggung jawab dalam pengembalian aset tersebut ke jamaah. Pertama, pasca putusan PK, pengembalian aset First Travel ke jamaah menjadi kewenangan jaksa sebagai eksekutor. Pasalnya, upaya PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam dalam Pasal 66 ayat (2) UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan UU No.4 Tahun 2004.

Tapi muncul pertanyaan soal sudah atau belumnya pelaksanaan eksekusi aset First Travel di tahapan putusan kasasi yang dirampas negara. Menurutnya, bila dalam bentuk uang telah dirampas negara dimasukkan dalam rekening penampungan, maka secara berjenjang Kejaksaan Agung perlu memberikan informasi terbaru dan koreksi kepada Menteri Keuangan atas adanya putusan PK.

Yang pasti, semua mekanisme melalui pembuatan petunjuk pimpinan. Tapi lagi-lagi semuanya belum jelas dikarenakan belum adanya bukti putusan PK secara lengkap. Sementara informasi yang berkembang seolah memberi harapan yang menggembirakan bagi jamaah. “Padahal tidak. Jaksa hanya menjadi eksekutor sesuai dengan buunyi putusan PK, karena hal ini terkait dengan barang bukti,” ujarnya.

Kedua, mengacu Pasal 86 ayat (3), (4) dan (5) UU 8/2019, sedianya pemerintah dapat memberikan solusi dalam memberangkatkan jamaah umrah yang gagal dengan jumlah yang masif tersebut. Dalam ‘keadaan darurat atau keadaan yang luar biasa’ pemerintah melalui sebuah Keputusan Presiden (Keppres) dapat ‘mengambil alih’ untuk memberikan solusi bagi jamaah yang gagal berangkat.

Menurut Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini, presiden dapat turun tangan menyelesaikan kasus First Travel dengan memberikan perintah yang solutif kepada Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas. Sebab, perlindungan terhadap penyelenggaraan ibadah umrah sebagai kebebasan melaksanakan ibadah agama dalam Pasal 28 dan 29 UUD 1945 menjadi mandat konstitusi yang harus dilaksanakan negara.

Ketiga, pemerintah melalui Kemenag sebagai pihak yang menerbitkan izin PPIU. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomer 589 Tahun 2017 yang intinya menyebutkan, seluruh biaya umrah yang telah ditransfer ke rekening First Travel harus dikembalikan kepada jamaah atau mereka diberangkatkan untuk umrah. KMA 589/2017 dibuat di era Menag Lukman Hakim Saifuddin. Kemudian berganti ke era Fachrul Razi hingga Menag Yaqut Cholil Qoumas. “Tapi keputusan Menteri Nomer 589/2017 ini hanya sebatas janji diatas kertas,” bebernya.

Keempat, dalam rapat kerja (Raker) Menag Fachrul Razi dengan Komisi VIII DPR di penghujung 2019 dihadiri 21 anggota komisi VIII dari 9 fraksi di DPR. Dalam Raker tersebut Menag Fachrul Razi berjanji bakal memberangkatkan secara bertahap para jamaah yang gagal berangkat. Tapi faktanya, hingga kepemimpinan Kemenag di era Yaqut Cholil Qoumas, janji tersebut tak juga ditepati.

Kelima, kasus dengan korban puluhan ribu orang calon jamaah umrah itu berkaitan dengan hak fundamental warga negara yakni menjalankan ibadah keagamaan umrah yang berkelanjutan. Setidaknya, kerugian First Travel dengan 63.310 jamaah mencapai sekitar Rp 1 trilliun. Karenanya menjadi beralasan pemerintah turun tangan sebagaimana dalam kasus PT Lapindo Brantas, PT Bank Century, dan PT Jiwasraya dengan negara menalangi para korban.

Seperti dalam kasus PT Lapindo Brantas, Menteri Keuangan Sri Mulyani berdasarkan Keppres No.13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Sembur Lumpur Lapindo memberikan ganti rugi kepada korban lumpur sekitar Rp 751 miliar. Dalam kasus PT Bank Century pemerintah menalangi (bailed-out) para nasabah sekitar Rp 6,76 trilliun. Dalam kasus PT Jiwasraya pemerintah menalangi kerugian sekitar Rp 22 trilliun.

Keenam, keberadaan Satgas Waspada Investasi (SWI) yang terdiri dari 13 kementerian atau setingkat Menteri yakni Kemenag, Kepolisian, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kemenkumham, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kemenkominfo, hingga Kejagung telah dibentuk. Tapi SWI tidak maksimal dan tidak pula mencarikan jalan keluar atas kasus gagalnya berangkat calon jamaah umrah yang masih berulang hingga kini.

“Akhirnya, para jamaah jangan terlalu banyak berharap atas hasil putusan PK tersebut karena aset First Travel jumlahnya sangat kecil,” ujarnya.

Sebab, aset yang disita selama 4 tahun dipastikan telah menyusut. Pasalnya kasus tersebut terlalu lama terkatung-katung. Karenanya, kata Luthfi, menjadi tak mungkin memberangkatkan semua jamaah yang gagal berangkat, kecuali pemerintah memberikan jalan keluar seperti kasus PT Lapindo, Bank Century, dan Jiwasraya. “Toh jumlahnya tidak sampai Rp 1 T dibandingkan kerugian ketiga perusahaan tersebut,” bebernya.

Untuk diketahui, Pengadilan Negeri (PN) Depok telah menjatuhkan vonis hukuman terhadap tiga bos First Travel bersalah melakukan penipuan terhadap calon jamaah umrah. Ketiga bos itu antara lain, Andika Surrachman, Aniessa Hasibuan, dan Kiki Hasibuan. Ketiganya divonis telah menipu dan menggelapkan uang milik 63.310 calon jemaah umrah dengan total kerugian mencapai Rp 905 miliar. Namun, PN Depok menyatakan bahwa aset First Travel dirampas oleh negara sesuai Pasal 39 jo Pasal 46 jo Pasal 194 KUHP, bukan dikembalikan kepada jemaah yang telah merugi. Di tingkat kasasi, MA melalui Putusan Nomor 3096K/PID.SUS/2018 tertanggal 31 Januari 2019 juga memutuskan hal yang sama. HUKUMONLINE

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024