Dilema Fungsi
Alasan mendasar pemisahan Mahkamah Konstitusi adalah keinginan untuk mengisolasi kasus-kasus hukum yang mengandung dimensi politik dari Mahkamah Agung, yang diharapkan dapat fokus pada kasus-kasus umum, bebas dari intervensi politik. Konsep ini dikenal dengan Model Kelsenian.
Isolasi ini meluas dengan berkembangnya doktrin “pertanyaan politik”, yang mengatakan bahwa peradilan umum tidak dimaksudkan untuk menangani masalah politik. Sebaliknya, pertanyaan politik ini harus diputuskan oleh parlemen atau rakyat melalui proses politik (Ginsburg, 2003), atau oleh Mahkamah Konstitusi khusus.
Upaya penyelesaian sengketa politik melalui jalur hukum dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi atau lembaga peradilan sejenis bermunculan di seluruh dunia. Ran Hirschl (2008) menyebut fenomena ini sebagai “judisialisasi politik”, konsekuensi yang tak terhindarkan adalah terbukanya intimidasi politik praktis yang menginternalisir proses peradilan.
Memang, Alec Stone dalam bukunya The Birth of Judicial Politics in France (1992) memaparkan bahwa pada awal berdirinya Dewan Konstitusional (Conseil Constitutionnel) di Prancis, harus berjuang untuk meyakinkan masyarakat bahwa ia adalah lembaga peradilan, bukan lembaga politik.
Diperlukan kesadaran akan filsafat hukum untuk memperluas dan merinci filsafat politik dengan mempertimbangkan secara bijak sejauh mana pilihan yang dibuat saat ini untuk masa depan komunitas politik harus ditentukan atau dibentuk oleh pilihan yang dibuat dan tindakan yang dilakukan di masa lalu, dalam bentuk kontrak, wasiat, konstitusi, peraturan perundang-undangan, adat istiadat, keputusan peradilan, dan sejenisnya.
Pertanyaan itu sendiri merupakan topik dari sejumlah prinsip umum hukum yang diakui oleh negara-negara beradab, prinsip dasar yang langsung masuk ke dalam penentuan yang dibutuhkan.
Manuver Hukum
Menurut Thomas Meyer posisi sentral parpol memiliki dua dimensi yang salah satunya menjadi pihak yang menerjemahkan kepentingan dan nilai masyarakat ke dalam legislasi dan kebijakan publik yang mengikat, dan demokratisasi internal dalam proses pembentukan kehendak politik yang bisa dipertanggungjawabkan pada pengadilan publik.
Harus ada peredam atas ketidakpuasan atau kekecewaan masyarakat terhadap praktik politik baik secara langsung maupun melalui perwakilannya sebagai sebuah konflik yang memerlukan kepastian hukum.
Loewenstein, Frederich dan Herman Finer mengatakan bahwa konstitusi merupakan sarana pengendali kekuasaan.
Awalnya, konstitusi ada untuk membatasi wewenang penguasa, menjamin hak rakyat, dan mengatur pemerintahan namun dalam perkembangannya bahkan menjadi alat rakyat mengkonsolidasikan kedudukan poitik dan hukum dengan mengatur kehidupan bersama untuk mencapai cita-cita.
Dalam politik dikenal istilah Struktur Rekahan Masyarakat dimana terdapat konflik-konflik yang bisa jadi saling tumpang tindih antara kepentingan pekerja, sektor industri, dan sekularisme dengan pihak yang mewakili kepentingan para pemilik modal, dengan orientasi yang tertentu pula.
Fenomena yudisialisasi politik mulai akrab sejak penyelesaian permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan moralitas, kebijakan publik, dan kontroversi-kontroversi politik diarahkan kepada pengadilan sebagai strategi hegemonik.
Dalam konteks ini yudisialisasi politik menjadi cerminan adanya pergeseran penyelesaian perkara politik yang semula dilakukan melalui mekanisme politik kepada penyelesaian melalui mekanisme yudisial.
Hukum adalah politik, tetapi politik belum tentu hukum, demikian itu pandangan Kelsen. Dan menurut Hirschal fenomena ini terjadi karena memang Hukum Tata Negara adalah bentuk lain dari politik.
Politik dan hukum menjadi dua sisi dari sekeping mata uang, maka dalam konstelasi hukum implementatif yang menyentuh produk politik atau lembaga politik maka selain stake holder, power holder dan parties maka kehakiman mendudukkan diri sebagai political holder.
Kesepadanan Mahkamah Konstitusi yang berwenang untuk menafsirkan klausula maka Mahkamah Agung berperan untuk menjaga relevansi etik implementasi norma dalam bermasyarakat, dimana cita hukum sebagai parameter yang dapat mengesampingkan segala peraturan produk kekuasaan Negara lainnya, morale motives ini terdistorsi oleh penetrasi politik.
Hirschl mengemukakan alasan penggunaan proses litigasi oleh aktor-aktor politik sebagai pengalihan penentuan masalah-masalah politik yang kontroversial kepada pengadilan secara sengaja, kemudian menyebutnya sebagai “manuver hegemoni”.
Manuver ini dilakukan oleh cabang kekuasaan politik ketika melahirkan kebijakan publik yang kontroversial.
Namun, penulis lebih menyebutnya sebagai extra judicial act dari sudut pandang dan terminologi hukum agar lebih akrab dengan terminologi peradilan.
Kewenangan untuk mengadili kontroversi-kontroversi politik tersebut telah mengubah pengadilan menjadi sebuah institusi politik.
Kemudian, menurut Tom Ginsburg konsep yudisialisasi politik tidak hanya terhadap isu-isu yang bersifat konstitusional. Akan tetapi, kata “yudisialisasi” juga dapat disematkan pada persoalan dalam ranah yang lebih implementatif seperti dalam urusan administrasi pemerintahan.
Yudisialisasi, pada dasarnya, adalah lembaga peradilan yang memainkan peran untuk membuat kebijakan (judicial policy making). Peranan ini sah dimainkan oleh pengadilan dan sejatinya termasuk dalam kewenangan sebuah peradilan modern.
Secara tegas Owen Fiss berpendapat bahwa sebagai cabang kekuasaan, lembaga peradilan, memiliki peran dan fungsi yang sama dengan cabang kekuasaan lainnya dalam menentukan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Maka pendapat Thomas Meyer bahwa partai politik harus mempertanggungjawabkan kepada pengadilan publik menurut penulis harus dijalankan, Namun harus disepakati bahwa pengadilan harus diakui dapat menempatkan diri sebagai political holder.
Batasan Pemerintah
Pemerintah memang juga memiliki peran untuk menyusun agenda reformasi peradilan untuk mencegah korupsi dan mengawal pelaksanaannya, terutama melalui fungsi pemerintah sebagai penentu personel tertentu, pembuat aturan dan budgeting.
Reformasi peradilan membutuhkan perbaikan pula di lembaga penegak hukum yang berada di bawah pemerintah, namun, dalam domain pemerintahan harus tegas terbatas pada reformasi Polri dan Kejaksaan, serta kementerian terkait pembentukan dan penegakan peraturan.
Hendaknya tidak terjadi terjadi interpretasi institusional meski institusi ini lemah atau sebaliknya institusi ini yang dominan kuat, interpretasi harus by system, bukan by institution, sebab argumentasi dasar pembentukan UU ada dalam MvT (memorie van toelichting/risalah pembahasan), dan ini selalu tidak disadari.
Dampak judisialisasi politik sebagai strategi politik adalah mahkamah hanya diposisikan sebagai penafsir parsial yang produknya dimanfaatkan untuk legitimasi dan hegemoni yang berujung arogansi uniformitas.
Dalam konteks tata negara, penulis tidak mau terjebak untuk berbicara dari luar sekedar tentang institusi akan tetapi kedalam sebagai infrastruktur dari sistem dan politik hukum, maka memerlukan penguatan secara sistemik dalam tubuh yudisial, yang mans rekan kepolisian dan kejaksaan harus menyadari dan memahami posisinya adalah exclave dari yudikatif.
Umumnya, mindset yang mengakar adalah bermain dalam domain penguatan politik praktis melalui UU parsial pesananannya masing-masing, hanya negarawan yang mestinya diharapkan hadir untuk mengintrodusir harmonisasi keberagaman.
Inilah urgensi yang membuat Pengadilan harus bertransformasi jadi institusi pengendali politik, Hakim bukan corong politik tapi politik hukum.
Hal yang cenderung politis (atau mungkin masih mentah) tampak pada UU AP menyimpangi rechstaat, kita pahami bahwa materi tersebut usulan dari pemerintah melalui mekanisme legislasi yang didalamnya kita pahami sebagai proses politik, kompromi untuk mencapai resultan dengan embel-embel norma hukum yang berpengaruh ke hukum acara dan materi Peratun, seolah tidak ada ahli hukum diluar institusi negara atau pemerintah, bukankah ini ciri machstaat?
Politik dan Hukum di Indonesia
Dalam kenyantaannya di Indonesia fenomena yang sangat menonjol adalah instrumen hukum sebagai sarana kekuasaan politik dominan yang lebih terasa bila dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya, bahkan dapat dilihat dari pertumbuhan pranata hukum, nilai dan prosedur, perundang-undangan, serta birokrasi penegak hukum yang bukan hanya mencerminkan hukum sebagai kondisi dari proses pembangunan juga penopang tangguh struktur politik, ekonomi dan sosial.
Hukum berfungsi, terutama, sebagai instrumen program pembangunan karena sebenarnya hukum bukanlah tujuan melainkan hegemoni.
Oleh kerena itu, dapat dipahami jika terjadi kecendrungan bahwa hukum dibentuk dalam rangka memfasilitasi dan mendukung politik. Akibatnya, segala peraturan dan produk hukum yang tidak dapat mewujudkan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi harus diubah atau dihapuskan.
Dengan demikian, sebagai produk politik, hukum dapat dijadikan alat justtifikasi bagi visi politik penguasa. Tidak tersangkal, kegiatan legislatif memang lebih banyak memuat keputusan-keputusan politik daripada menjalankan pekeerjaan-pekerjaan hukum yang sesungguhnya sehingga lembaga legislatif lebih dekat dengan politik dari pada dengan hukum, apalagi akarnya memang politik.
Dalam kenyataannya konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif atau otonom, sedangkan konfigurasi politik (non-demokratis) akan melahirkan produk hukum yang berkarakter konservatif/ortodoks atau menindas.
Berdasarkan alasan inilah maka dibutuhkan kekuatan judicial activism, artinya Mahkamah dapat membuat determinasi untuk keputusan hukum yang dibuat oleh hakim dalam mewujudkan keadilan.
Kita harus meluruskan bahwa hukum bukanlah produk (resultan/kesepakatan) politik melainkan UU-lah yang merupakan produknya, sedangkan produk hukum berada dalam domain yudikatif berupa putusan atas implementasi UU dan politik hukum, sehingga jelas bahwa apapun produk politik apalagi dalam bentuk peraturan per-UU-an harus melewati uji terapan oleh yudikatif.
Satjipto Rahardjo berharap bahwa MA berani membuat putusan-putusan yang berbobot politik, yaitu politik kenegarawanan. Yang perlu digarisbawahi dari harapan ini adalah politik kenegarawanan (judicial statementship) dari Mahkamah.
Advokat dan Negara
Mengenai peran Advokat dalam kaitannya dengan issue politik hukum penulis mencatat bahwa Inggris mapan dengan monarki dan tradisi, Jepang menghormati sejarah dan kepemerintahan, oleh karenanya ada federasi bar, dewan pemerintah dan bar khusus Tokyo yang ada sebelum UU, kemudian Amerika sudah mapan dengan bisnis dan perusahaan hukum, dan Afrika membuat wadah untuk dikenal didunia luar dan sebagai agen kegiatan serta administrasi.
Yang menarik adalah Cina, mereka tetap memiliki banyak organisasi yang disatukan oleh sebab opresi kesewenangan negara, sehingga membentuk perlawanan terhadap sistem diktatorial.
Indonesia memiliki kedekatan secara sosiopolitik dan pergerakkan hukum dengan situasi di Cina, di sini Advokat ditutup sejarah kejayaan dan peran kenegarawanannya, tapi yang dihadapi bukanlah opresi diktatorial seperti di Cina tetapi permainan dan arogansi kekuasaan serta monopoli. Advokat di Cina ditekan sedangkan Advokat di Indonesia dipermainkan.
Oleh karena itulah tidak tepat bila dalam situasi ini dibentuk wadah tunggal, yang diperlukan adalah sebuah sistem agar tidak mudah dikendalikan organ politik, negosiator untuk trias politika dan dewan presidium quantrip (quasi autonomous non trias politika) harus tegas disebut karena wilayah Advokat diluar politik dan distribusi kekuasaan ataupun kewenangan akan tetapi independensi hukum.
Menurut penulis, disinilah kekuatan yudikatif di Indonesia, sebab ada OA dengan peruntukan independen, namun tentu masih saja terdapat tanaman politik yang melakukan penetrasi di lingkungan Advokat sehingga tetap dapat mempengaruhi perilaku yudikatif yang (bisa jadi) oleh karena itulah pernah (bahkan masih) terdapat kepentingan Advokat harus dikendalikan oleh kekuatan eksekutif.
Dan hal ini hanya bisa dialihkan dengan menjaga konflik di dalam tubuh OA itu sendiri, ini memang ironis akan tetapi menjadi metode yang baik untuk menjaga stabilitas berhukum, dengan kesepakatan dan kesadaran bahwa konflik dirawat dalam batasan-batasan tertentu.
Peran Advokat sejatinya adalah sebagai ahli hukum yang ikut mengembangkan hukum sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat, disisi lain menjadi rekanan bagi pemerintah dan badan/lembaga/institusi lainnya.
Advokat dapat membentuk hukum diIuar undang-undang, dan memiliki fungsi kekuasaan kehakiman yang diserahkan kepada Advokat berdasarkan amanat konstitusi dengan sistematika per-UU-an dalam fungsi kekuasaan kehakimannya serta sebagai badan lain dari kehakiman, sebagai penguat yudikatif untuk judicial activism. (selesai)
*Adv. Agung Pramono, SH, CIL