Ruang Perguruan Tinggi, Bukan Suaka Tapi Clearing House (Bagian 2) - Kongres Advokat Indonesia

Ruang Perguruan Tinggi, Bukan Suaka Tapi Clearing House (Bagian 2)

Konflik Internal

Konflik adalah ‘benturan’ antara kekuatan-kekuatan yang berlawanan yang terjadi baik dengan diri maupun dengan faktor di luar diri. Salah satu bentuk benturan tersebut dapat berasal dari internal pendidik.

Meski harus diakui pula bahwa konflik yang disebabkan oleh pertentangan antara kebutuhan yang diperlukan dengan hati nurani namun pendidik adalah manusia yang juga memiliki kebutuhan diri untuk dapat dipenuhi sehingga normal dan sah-sah saja.

Kegagalan dan kesuksesan seorang anak didik menjadi tantangan sekaligus tanggung jawab pendidik. Hal inilah yang dapat memicu konflik dalam diri pendidik, dia perlu terus membina interaksi dengan orang-orang yang ada disekitarnya, terutama dengan kolega dan siswa di sekolah. Dirinya sebagai pendidik akan menjadi role model untuk kelompok ataupun komunitas di mana dia berada.

Konflik dapat berakhir tidak baik jika hal tersebut tidak dapat disikapi dengan bijak oleh seorang pendidik dalam menjalankan tugasnya.

Seorang akademisi harus bertanggung jawab dalam menyampaikan pengetahuannya. Dalam hal ini, kebohongan akademik seperti berbohong ataupun distorsi atas data merupakan suatu hal yang harus dihindari.

Membentuk Manusia

Masyarakat jarang  menikmati buah  hasil temuan-temuan Perguruan Tinggi (PT) selain ilmu pengetahuan menjadi statis, menara gading  yang tak terbaca oleh publik. Justru pada tataran terapan tidak jarang ditemukan hal yang menyesatkan.

Padahal, PT adalah tempat dimana keterampilan sebagai manusia dengan kerangka akal yang mapan dibentuk, dan itu bukan urusan hukum publik melainkan menjadi tanggungjawab civitas akademika, maka ketika PT gagal membentuk keahlian maka jangan mempersalahkan produknya akan tetapi periksa lagi perlengkapan pembentuknya.

Tempat dimana ekspresi itu dikelola untuk dikemas ke bentuk yang elegan, pengelolaan itu adalah sebuah proses, apa yang terjadi didalam PT adalah ranah internal hingga siap untuk mengahdapi dunia diluar sebagai intelektual yang siap berjuang dengan keahliannya.

BEM bukanlah pers yang mengeluarkan produk berita melainkan sebagai sarana media informasi mahasiswa yang berperan sebagai jembatan antara masyarakat dengan PT, sebagai sarana mahasiswa untuk menyalurkan sumbang saran dan aspirasinya kepada pihak lembaga untuk mewujudkan kesejahteraan di lingkungan PT yang akan mengakomodir seluruh kepentingan mahasiswa dan calon mahasiswa di Perguruan Tinggi.

Mahasiswa harus menyampaikan fakta mengenai apa yang terjadi didalam lingkungannya kepada masyarakat, tidak sekedar sebagai lingkungan pendidikan akan tetapi juga memenuhi kelayakan sebagai pembentuk manusia dalam kerangka yang mapan.

Pembatasan Diskursus Dan Konflik Bisa Jadi Persekusi

Persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Secara sederhana, dapat digambarkan bahwa tindakan persekusi dimulai dengan tindakan mengidentifikasi, mencari dan mengeksekusi pelaku yang diduga melakukan tindak pidana.

Roscoe Pound menganjurkan hukum dipelajari sebagai suatu proses yang dibedakan dengan hukum yang tertulis. Maka dengan demikian, sociological jurisprudence meyakini bahwa aturan-aturan hukum harus dipandang sebagai pedoman untuk mencapai hasil-hasil yang dianggap adil oleh masyarakat dan tidak sebagai kerangka yang kaku, tujuan-tujuan sosial yang dilayani oleh hukum lebih diutamakan daripada sanksinya.

Problem utama yang menjadi perhatian dari para praktisi hukum, terutama wilayah sosiologis, ialah bagaimana mendorong pembuat dan penegak hukum memaknai dan menerapkan aturan-aturan hukum yang lebih mengacu pada fakta-fakta sosial dari hukum yang diterapkan.

Pemaknaan akan berkaitan dengan pertimbangan mendasar daripada Mahkamah Konstitusi yang akan diuraikan selanjutnya dibawah.

Celah Kriminalisasi Menjadi Alat

Media sosial sebagai jejaring sosial selama ini telah berfungsi sebagai public sphere, ruang diskursif, media dari wacana yang menciptakan interaksi banyak pihak.

Manakala individu kehilangan kesadaran sosial, maka banyak yang mengabaikan cara untuk mencapai tujuan yang disepakati umum. Berkonfliknya tujuan dengan cara institusional dapat menimbulkan anomie sosial. Narasi-narasi kekerasan intelektual dan status mampu mengubah perilaku, nilai dari norma sosial menjadi rapuh dan dapat memicu kekerasan, baik fisik maupun psikis.

Pelan tapi pasti pola penyelesaian diluar PT dan inteleksi yang pasti terekspos secara luas mulai memberikan kesimpulan tidak profesional. Melihat situasi yang kurang kondusif tersebut, mestinya tidak boleh ada bargain normatif atau transaksi hukum.

Perang urat syaraf (psy-war) tentu akan semakin meruncing ketika kesadaran untuk berdiskusi dan menentukan cara penyelesiaan secara internal tidak dilakukan dengan baik dengan melibatkan hukum, terutama pidana, yang justeru menjadi bahan kajian bukan bagian dari pengelolaan diskursus, sehingga tidak boleh terlibat atau dilibatkan apalagi sebagai komoditas opresi profesional.

Menghadapi konflik internal PT mestinya elemen-elemen yang sekiranya terlibat berkumpul kedalam PT, bukan diruang-ruang lain dengan hukum-hukum tertentu.

Wilayah Hukum

Butuh kehati-hatian jika memperhatikan penjelasan pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia

Dalam melakukan perubahan daerah hukum kepolisian, Kapolri berkoordinasi dengan instansi terkait antara lain menteri yang membidangi pendayagunaan aparatur negara, menteri yang membidangi keuangan, badan yang membidangi perencanaan dan pembangunan nasional, dan pemerintah daerah setempat.

Dengan demikian terang bahwa pihak kepolisian lah yang melakukan perubahan daerah hukum kedalam wilayah Perguruan Tinggi dengan koordinasi pemerintahan setempat dalam hal ini rektorat dan dekanat untuk masuk kedalamnya, bukan keluar.

Namun, saat ini kenyataan yang kita hadapi bukan sekedar teori, tapi dimensi hukum yang melakukan intrusi kedalam PT sebab kerannya dibuka oleh pihak internal PT sendiri! Ya, oleh karena itulah sebagai akademisi bertanggungjawab untuk menemukan formulasi terbaik sebagai pedoman bagi kenyataan-kenyataan lain yang sama dan/atau yang akan ada didepan dengan menjadikan kenyataan saat ini sebagai bahan bahasan.

Bukan malah takluk dengan wacana dan ikut arus dalam pemahaman masyarakat awam yang “standar”. Oleh karena itu, salah satu hal yang bisa menjadi jembatan untuk menghubungkan hal ini adalah melalui diskusi, melatih menghubungkan konsep-konsep akademik dan realitas.

Jika tidak maka menjadi suatu ironi, sebab bahkan soal kampanye berdasarkan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 280 Ayat 1 huruf H kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, apalagi diskursus otoritas Perguruan Tinggi sementara penegakan hukum terutama pidana jelas merupakan fasilitas pemerintah sehingga mestinya pihak Perguruan Tinggi tidak terjebak dengan perasaan atau pola pikir awam.

Tidak sedikit permasalahan PT yang dibawa keranah pidana didasarkan pada keterkaitannya dengan media sosial, namun kita dapat merujuk makna dan kepahamannya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XX/2022 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008.

Kemudian, mengenai diskursus ilmiah juga dapat merujuk pada Putusan MKRI Nomor 013-022/PUU-IV/2006, antara lain:

9.    … Memang rumusan kata-kata dalam perundang-undangan hukum pidana sering harus ditafsirkan, dan ini merupakan tugas hakim dan para akademisi (termasuk penemuan hukum) (lihat: a.l. Remmelink hal. 44-45);

10. … Yurisprudensi Mahkamah Agung kita dan para akademisi harus memberikan batasan-batasannya melalui penafsiran; [hlm. 41-42]

Berdasarkan putusan-putusan MK dan pendapat diatas maka dapat ditemukan parameter situasi yang over-spanning atau lepas kendali yang dimungkinkan untuk melibatkan institusi pemerintah dan/atau penegak hukum jika berada diluar batasan, antara lain:

  1. menjaga ketertiban hukum dalam lalu lintas interaksi manusia pada media siber
  2. muatan atau konten berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.
  3. muatan atau konten harus dibuktikan terlebih dahulu ketidakbenarannya sebelum Aparat Penegak Hukum  memproses pengaduan
  4. akun sosial media dengan moderasi tertentu (close group).
  5. konten disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas, seperti grup percakapan keluarga, kelompok pertemanan akrab, kelompok profesi, grup kantor, grup Perguruan Tinggi, atau institusi pendidikan.

Dan selanjutnya merujuk pada penjelasan pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007 yaitu berkoordinasi dengan instansi terkait dalam hal ini otorita PT.

Sebab menurut Putusan MKRI Nomor 013-022/PUU-IV/2006, berkaitan dengan penerapan atau keterlibatan hukum pidana dalam diskursus ilmiah maupun konflik PT maka menjadi tugas hakim dan para akademisi untuk memberikan batasan-batasannya melalui penafsiran.

PT adalah tempat dimana kekacauan penafsiran didiskusikan, membatalkan pendapat lama untuk mereformulasi kejelasan-kejelasan yang baru karena hukum pasti selalu tertinggal dari dinamika masyarakat. Penegak hukum harusnya meminta masukan dari dalam lingkungan PT dan memorie van toelichting (risalah pembahasan peraturan) dimana rujukan diperoleh dan batasan serta penafsiran resmi itu ada, bukan diruang penyidikan dengan tafsir institusional yang parsial.

PT menjadi menjadi aeropagus dengan lidah Hermes, menjadi peradilan ilmiah tempat penterjemahan bahasa dan keilmuan khusus agar dipahami oleh masyarakat, yang di dalamnya terjadi pertemuan semua pihak yang berada dalam posisi setara tanpa harus takut mendapat tekanan, intimidasi, dan ancaman dari pihak lain atas nama otoritas tertentu.

Akhirnya, ruang PT memang bukan wilayah suaka namun tidak boleh juga terjadi pembatasan secara private, opresi dan persekusi apalai dijadikan sebagai tempat untuk mencari celah permasalahan untuk dihukum karena ia adalah clearing house dimana permasalahan dibicarakan dengan bijak untuk menemukan penafsiran yang menyelesaikan masalah, menemukan ketajaman, etika dan keterampilannya dan itu merupakan tugas dari civitas akademika bukan hukuman untuk menghentikan atau mengancam agar tidak bermasalah.

(selesai)

*Adv. Agung Pramono, SH., CIL.

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024