Pada 6 Juli 2022 09:00 – 16.00, disela kekosongan agenda professional dan advokasi yang agak panjang, penulis mengikuti Webinar Contextualising the Implementation of Restorative Justice in Indonesia (Memaknai Kerangka Penerapan Restorative Justice Di Indonesia, terj. Penulis), terdiri dari 4 sesi.
Untuk mengantarkan tulisan ini, penulis kutip pendapat Wamenkumham (Edward O.S Hiariej) dalam konteks yang relevan dengan tema webinar ketika berbicara tentang Sistem Pemenjaraan mengatakan, “APH masih melihat hukum pidana sebagai paradigma retributive. Mestinya, restorative (untuk korban), rehabilitative (untuk korban dan pelaku) dan korektif (untuk pelaku).”
Tidak seluruh sesi penulis ikuti, karena aktivitas rumahan yang agak padat juga, meski dapat saja mereview via rekaman tayang ulangnya di media online. Lagipula memang secara subjektif baru pada sesi ketiga materi yang mengakomodir sudut pandang profesi ini.
Rifqi S Assegaf, PhD dari Kemitraan Partnership (penyelenggara) menyampaikan hal yang serupa dengan Wamenkumham di atas, mengenai pemenuhan kepentingan korban, pengembalian keseimbangan yang rusak akibat pidana, rehabilitasi pelaku dan menghindari pemenjaraan.
Disampaikan juga perkembangan diskursus RJ sejak 2010 ditujukan bagi pelaku anak, pidana lantas, pidana adat dan korban KDRT, 2011 untuk pelaku tipiring, 2014 korban perempuan dan anak dan 2018 hingga sekarang untuk mengatasi overcrowding penjara, restitusi korban, biaya penegakan hukum, beban kerja dan pengembalian asset.
Issue yang dicatat oleh Rifqi terutama adalah mengenai diskresi yang terlalu besar, korban yang tidak mema’afkan, bias bagi pelaku yang tidak mampu, potensi salah-guna karena posisi tawar korban yang tidak selalu kuat, implementasi antar lembaga yang tidak konsisten.
Andreas Marbun, peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS), menyampaikan makna pendekatan atas RJ yang lebih tepat untuk dipahami yakni, “bahwa prinsip dasar keadilan restorative adalah adanya pemulihan kepada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti-rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja social, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.”
Sama dengan Rifqi, Andreas menyampaikan bahwa terjadi tumpang tindih peraturan antar lembaga yang justeru menciptakan ketidakadilan dan inkonsistensi penerapan hukum dan pelaksaan RJ disempitkan pada fokus kewenangan sehingga melalaikan kebutuhan korban, indikator manfaat hanya pada APH.
Sebagai catatan kritis adalah bahwa RJ sangat berpotensi sekedar mempertontonkan ketimpangan relasi kuasa, ketimpangan sosial, ketergantungan ekonomi, subordinasi jabatan, ketimpangan pihak berhadapan antara anak dengan dewasa.
Menurutnya, unik dan menarik diperhatikan bahwa di Indonesia konsepsi RJ sudah ada dalam norma masyarakat lokal. Seperti misalnya dalam suatu kasus pemerkosaan tidak hanya dilihat dari penuntutan di pengadilan yang mana sejak penangkapan pelaku pemerkosa akan diumumkan yang menyebabkan aib bagi keluarga korban di masyarakat umum. Karena itulah sejak dulu dalam suatu hukum adat dikenal istilah “kawin lari” agar masyarakat tidak rebut, agar keluarga terutama korban tidak malu, inilah contoh sederhana harmoni dari implementasi RJ.
Juga dipaparkan perbandingan pandanngan dari beberapa Guru Besar dari berbagai Negara seperti Julie Stubb, Pamela Rubin, Kathleen Daly dan Prof, Eddy O.S. Hiariej mengenai ketimpangan RJ yang seringkali salah penerapan dan penyalahgunaan sosial dan finansial yang justeru merusak tatanan keadilan bahkan merusak tatanan kemasyarakatan itu sendiri.
Menurutnya lagi, jangan sampai sistem peradilan pidana di Indonesia hanya mengurus masalah formil saja tapi secara materil dampaknya mengabaikan atau melalaikan kepentingan korban, hanya mengejar prestasi.
Terkait dengan RJ ini telah dibentuk tim kerjasama atau konsorsium merumuskan RAPERMA (rancangan peraturan Mahkamah Agung) yaitu, ICJR, IJRS dan LeIP (lembaga kajian dan advokasi independensi peradilan).
Rabby Pramudatama dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) Indonesia dari paparan perbandingan atas perspektif internasional, implementasi, pendekatan, desain dan pelibatan stake holders atas konsep RJ, pada intinya memberikan simpul penting (menurut penulis) yang sangat relevan dan linear dengan pendapat serta penelitian dari para panelis lainnya yaitu bahwa perlu adanya konsensus dari aparat penegak hukum untuk Restorative Justice ini.
Erasmus Napitupulu, Direktur Eksekutif The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), berdasarkan penelitiannya memaparkan lebih rinci lagi yang tercatat bahwa sebenanrnya RJ sudah sejak lama ada dalam hukum kita, dia memberikan judul sebagai Peluang Regulasi yang Mendukung Restorative Justice, antara lain:
- Pidana bersyarat dengan masa percobaan, pasal 14a dan 14c, disini terdapat kejelasan teknis;
- Peraturan bersama, peraturan jaksa, SEMA atau UU Narkotika yang mengatur lengkap, komitmen dan infrastruktur
- Litmas dewasa yang jelas mengatur mengenai mekanisme
- UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA
- PERMA 2/2012
- PERJA 15/2020
- SK DirJen Badilum No. 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020
- Perkapolri No. 6/2019 jo. SE 8/VII/2018, SE/7/VV/2018 jo. Perkapolri 8/2021
Erasmus memaparkan secara khusus atas pasal 14c KUHP mengenai mekanisme berperkara dimana terdapat korban dengan kerugian materi dan 98 KUHAP mengenai penggabungan ganti kerugian, yang sayangnya sangat minim pengetahuan Hakim bahwa pasal-pasal seperti itu memang sudah ada dalam hukum di Indonesia.
Mendengar uraian dari para panelis dengan konsepsi yang dirinci oleh mas Andrea, Rifqi, Rabby dan mas Erasmus memang demikian yang dominan terjadi di lapangan, benturan kewenangan (dominus litis) dan transaksional, sebab tafsir by institutional.
Bahwa menurut penulis, sempat MA meneliti soal contempt of court dan dibuat naskah akademisnya yang diajukan ke pihak legislatif akantetapi tidak mendapat respon.
Hal yang identik pernah ada di Indonesia, khususnya Cirebon dengan istilah Jaksa Pepitu.
Sebenarnya bisa panjang diskusi, tapi singkatnya, adakah wacana atau ide RJ ini dibuat sebuah lembaga khusus dengan satu UU? Misal dalam UU MA atau Kehakiman.
Tepat diakhir sesi ke-4 tersebut, penulis mendapat kesempatan dibacakannya pertanyaan tersebut diatas oleh host, Bellinda, yang ditanggapi oleh Erasmus.
Bahwa secara singkat, menurutnya, RJ adalah pendekatan jadi tidak perlu UU khusus, tapi ketika ia menjadi mekanisme maka itulah yang harus diatur, ketika ia dibumikan kemudian bahasanya (sebutan atau istilahnya; penulis, red.) jadi apa.
Oleh karena itu saat ini ICJR sedang membantu Kemenkumham untuk membuat pedoman dari pasal 14 KUHP (tersebut diatas), meski banyak batasan tapi setidaknya untuk membantu penegak hukum kita agar tahu bahwa ada mekanisme ini.
RJ ini menjadi syarat untuk pidana percobaan – disini ada logika lembaga RJ sebagaimana penulis/penanya maksud – yang dituangkan dalam putusan, misal syarat pemulihan keadaan, mediasi penal, ganti-rugi dan sebagainya.
Kemudian, yang meng-clearkan ini adalah ketika kita punya mekanismenya. Sebagai pendekatan maka nilai-nilai RJ ini harus ditanamkan, dan jika merupakan mekanisme maka memang harus ada dalam suatu UU supaya ada satu kesatuan.
Akhirnya, penulis sendiri tetap berpendapat bahwa untuk mengisi disparitas formil dan materiil diperlukan adanya lembaga khusus yang juga dibentuk melalui UU, dengan logika keberadaan lembaga khusus lain seperti KPK, Gugatan Sederhana, Pra-peradilan dan sebagainya, sehingga pendekatan dan mekanismenya by system.
*Adv. Agung Pramono, SH., CIL.