Mahasiswa, Politik dan Gerakan RKUHP - Kongres Advokat Indonesia
agung pramono bem tolak pasal rkuhp

Mahasiswa, Politik dan Gerakan RKUHP

2 (dua) diskusi publik pada waktu yang hampir bersamaan pada tanggal 2 Juli 2022, hanya berbeda 1 jam. Menarik dan bangga sekali melihat antusiasme para mahasiswa yang bukan hanya dari bidang hukum, sangat beragam, antara lain dari BEM Keluarga Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto (BEM KM UMP), BEM UNSOED, BEM Universitas Brawijaya, Pakar Terorisme, Peneliti Hukum dan HAM LP3ES, Ketua Prodi dan dosen di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Milda Istiqomah, S.H., MTCP., Ph.D, Para Peneliti ICJR, Lovina dan Iftitahsari, LBH Jakarta, Arif Maulana (Direktur) dan Citra Referendum (Pengacara Publik LBH Jakarta), dengan tema, RKUHP ada untuk siapa? dan draft RKUHP kenapa disembunyikan?

Penulis tertarik dengan fenomena unjuk rasa dan demonstrasi yang dilakukan sebagai ungkapan atas ketidakpuasan beragam kalangan terhadap keberadaan RKUHP baik dari segi materi maupun prosesnya, karena #semuabisakena – demikianlah hashtagnya.

Pasal RKUHP Yang Mengkhawatirkan

Pasal 218 (lisan) dan Pasal 219 (tertulis) merumuskan tindak pidana terhadap Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden yang berasal dari Pasal 134 KUHP, Pasal 240 (lisan) dan pasal 241 (tertulis) tentang rumusan Penghinaan Terhadap Pemerintah Yang Sah, Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum yang berasal dari Pasal 154 KUHP, pasal 273 tentang Larangan Demonstrasi Dan Unjuk Rasa Yang Mengakibatkan Terganggunya Kepentingan Umum dengan ancaman pidana maksimal 1 tahun penjara atau pidana denda paling banyak Kategori II yang berasal dari Pasal 510 KUHP yang ancaman pidananya adalah kurungan 2 paling lama minggu bandingkan dengan UU No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum terutama pasal 15, dengan sanksi hanya dibubarkan dan bukan criminal, dan pasal 353 (lisan atau tertulis) dan 354 (teknologi informasi), Penghinaan terhadap kekuasaan umum lembaga negara yang berasal dari Pasal 207 dan 208 KUHP.

Catatan Krusial

RKUHP adalah program carry-over dari periode yang lalu yang tinggal ke tahap paripurna sebelum dihentikan tindaklanjutnya oleh Presiden karena demo yang bergelombang, meski harus diakui bahwa ide pembaharuan KUHP sudah sejak era 70-an namun selalu tenggelam

Menurut bang Nasir Djamil (panja RKUHP, Komisi III DPR-RI) pada ILC tanggal 1 Juli [https://youtu.be/h172uupXhGQ], untuk mengatasi mekanisme pembahasan yang selalu berulang maka perubahaan UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi UU No. 15 tahun 2019 menjadi kunci signifikan.

Lalu, oleh karena RKUHP adalah inisiatif pemerintah maka DPR menanyakan apakah ada masalah tentang RKUHP ini dengan tanggapan tidak ada masalah bagi pemerintah, sementara permasalahan jelas masih ada diluar gedung dan kekuasaan.

Bahwa mengenai tidak dapat diaksesnya RKUHP karena memang tidak ada yang baru dan tidak ada pembahasan lagi yang artinya bisa jadi sudah ditutup dari pembahasan dengan hadirnya UU No. 15/2019, karena hanya carry-over sehingga tinggal paripurna saja.

Disebutkan pasal penghinaan menjadi batu uji untuk mental pejabat, namun, bukankah justeru ujian sebenarnya adalah bagaimana menghapuskan rumusan itu? Masalahnya pada anger management. Bukankah ini paranioa?

Apa yang dijelaskan oleh para ahli dan/atau pemerintah bahwa yang dibatalkan MK adalah delik biasa sedangkan RKUHP delik aduan sehingga merupakan 2 hal yang berbeda, sungguh ini menyesatkan, karena jelas MK mempertimbangkan soal materinya yang terlarang, bukan hanya tentang pelaporan atau pengaduannya karena ini hanya sekedar mekanisme.

Jelas bang Eddy OSH (Wamenkumham) selalu membawakan argumentasinya bahwa kita bukan mengatur sesuatu siapa subjeknya, presiden, lanjut dengan mengatakan bahwa yang dilindungi dari kepentingan individu adalah tentang nyawa, property dan dignity (nama baik).

Beliau juga mengatakan pemerintah tidak menghidupkan kembali pasal yang dimatikan atau dicabut oleh MK, sebab pasal itu penting karena menyerang persoonenlijk, menyangkut pribadi presiden dan wakil presiden secara pribadi sehingga beliau menganggap telah mematahkan pendapat publik yang disebut salah, padahal tidak – quad non.

Bilamana “dignity” secara “personally”, lalu apa bedanya dengan natuurlijk persoon umum? Kenapa harus diatur khusus dalam wilayah status atau jabatan? Bukankah ini menguatkan dan mempertebal instinct kepenguasaan? Atau boleh lah disebut prinsip legibus solutus est dimana para pemimpin sering berbuat sekehendak hatinya terhadap anak buahnya.

Mungkin saja memang terlintas ide otokratik legisme dimana hukum tidak ditujukan untuk melindungi hak masyarakat secara luas melainkan sebagai alat atau sarana kekuasaan untuk melegitimasi politik dan kepentingan penguasa. Dan telah terjadi intrusi otoritarian yang suka sekali membuat aturan yang minim kompromi, tidak perlu pembahasan panjang lebar.

Pasal dipertahankan sebab masalah etika-moral, padahal, bukankah hinaan dan kritik itu sebab ungkapan dari anggapan awam atas minimnya etika, moral, tanggungjawab bahkan intelektualitas dari pejabat?

Personanya adalah adalah natuurlijk, pribadi, apa beda martabat pejabat dengan orang biasa? Bukankah jabatan itu sangat erat terkait dengan politik? Terlalu kentara.

Kompromi politik untuk bentukan norma memang mungkin sah-sah saja akan tetapi harus dibedakan dari yang praktis, harus dapat membedakan dengan teknis atau cara pelaksanaannya yang biasa atau aduan, terlalu tampak alur menyimpang dari apa yang sudah diputuskan MK.

Kita teralihkan, terpancing dengan membahas perbedaan antara kritik dengan penghinaan, padahal bukan disitu letak permasalahannya.

Dengan UU No. 15/2019 maka pembahasan sebetulnya sudah ditutup kecuali tambahan dan catatan, oleh karena penulis sampaikan bahwa rasanya percuma kita membahas diluar seperti ini, kecuali kita temukan permasalahan mendasar untuk mematahkan pendapat pemerintah sebelum sidang ditutup.

Membuka Dengan Kant

Ajaran Immanuel Kant mengatakan moralitas dan politik tidak boleh dipisahkan satu sama lain, sehingga dalam pengertian objektif mencakup keseluruhan hukum-hukum yang mengikat tanpa syarat, yang dijadikan sebagai acuan bertindak, kewajiban dan tanggung jawab.

Kantianis sangat memegang prinsip etika dan moral, Kant membedakan antara “harga” (preis) dan “martabat” (wurde). Pada prinsipnya untuk hal yang punya harga selalu ada pengganti, selalu tersedia alternatif. Tetapi sesuatu yang memiliki martabat selalu unik, tak tergantikan, sehingga diberikan imperatif moral ‘’Hendaklah memperlakukan kemanusiaan, baik dalam diri anda sendiri maupun dalam diri orang lain, selalu sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan tidak pernah sebagai sarana belaka.”

Menurut Kant, martabat tidak tergantikan. Oleh karena dalam konteks ini penting dipahami bahwa RKUHP seharusnya tidak membedakan perendahan martabat berdasarkan status dan jabatan. Pada era orde baru bahkan kita mengenal istilah pengkultusan.

Tentunya maksud Kant adalah dengan catatan bahwa kebijakan politik juga memperhatikan dimensi moral dengan baik, conditio sine qua non, saling erat berpengaruh. Dengan demikian, maka prinsip keabsahan/legalitas ini sangat erat kaitannya dengan tujuan untuk melindungi hak-hak rakyat dari tindakan pemerintah.

Konsepsi ini lahir bersama desain negara hukum (rechtsstaat) yang mana tindakan pemerintahan harus didasarkan pada adanya ketentuan hukum yang mengatur “rechtmatig van het bestuur” yang berintikan pada adanya penerapan prinsip legalitas dalam semua tindakan hukum pemerintah. Artinya bahwa konsep tersebut lahir sebagai upaya untuk membatasi kekuasaan raja yang pada waktu itu sangat absolut sebagai pemegang kedaulatan (princep legibus solutus est).

Pada waktu itu, terkenal adagium king can do not wrong. Untuk itu, kemudian hukum lahir sebagai batasan kekuasaan, sehingga apabila tindakan pemerintah tidak didasarkan pada hukum atau melebihi ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum, maka tindakan pemerintah menjadi cacat hukum (onrechtmatig) atau tidak absah.

Bila sudah ada beberapa pasal yang dirumuskan secara main-main, maka bagaimana bisa dipercaya untuk dikatakan baik dan objektif terhadap pasal-pasal lainnya? Malah membuat yang lainnya juga patut diragukan.

Jangan Biarkan Machiavelli Menutup

Tampaknya, batin para pembuat UU berteriak sebab mengakarnya mental korup, merujuk pandangan Machiavelli bahwa bila korupsi telah merajalela dalam republik, maka hukum yang terbaik sekalipun tidak akan bermafaat. Dalam kondisi demikian, the rule of law mesti berhenti, sebagi gantinya dibentuklah ‘the rule of man’, hingga pembuat UU memiliki resultan untuk bertindak melampaui yang tak pasti dan yang tak mungkin dengan segala resiko yang harus diambil.

The rule of man digunakan untuk memutuskan suatu tindakan yang dapat mengubah siatuasi politik maupun negara.

Menurut moral politik Machiavellian, politik adalah menyoal keputusan. Oleh karena itu, diperlukan adanya tokoh sentral yang dapat memainkan perannya di dalam politik.

Bahwa akan selalu ada konflik yang tak terdamaikan, bagi penguasa, hiburan terbesarnya adalah memerintah dan menindas sementara bagi rakyat hasrat teritngginya adalah kebebasan.

Pandangan Machiavelli inilah yang menurut Pocock disebut sebagai momen Machiavelli yakni politik sebagai momen dalam arti kejadian yang melampaui kenyataan dan praktek rutin prosedural sehari-hari. [Pocock, J.G.A, (1975), The Machiavellian Moment: Florentine Political Thought and the Atlantic Republican Tradition, (Princeton dan Oxford: Princeton University Press)]

Machiavelli memang memisahkan ‘moral (transenden) dari politik’. Baginya politik adalah urusan akal dan pikiran manusia. (Honohan, Iseult, 2002, Civic Republicanism, London dan New York: Routledge). Merupakan vivere politico, politik yang hidup dalam praktik dan pikiran manusia – bagaimana caranya membatasi pikiran manusia yang akhirnya mengendalikan perbuatannya.

Harus diingat, hal ini juga memiliki jurang keterjerumusan yaitu bahwa seseorang disebut bebas apabila mereka tidak tergantung (dependent) kepada seorang tiran atau seorang oligarki yang mempraktikan kekuasaan sewenang-wenang – negara yang diamankan dari pemerintahan.

*Adv. Agung Pramono, SH., CIL.

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024