Diskusi Publik pada hari Kamis, 30 Juni 2022 diselenggarakan oleh Transparency International Indonesia (TII) dengan tema Menyoal Pasal Karet Contempt Of Court Dalam RKUHP.
Ironis, hal ini justeru belum dilakukan oleh pembuat UU. Tapi itu hal lain lagi, sebaiknya penulis mengajak untuk membahas inti diskusi saja.
Materi dibuka oleh Genoveva Alicia dari Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR), berdasarkan analisanya Indonesia menganut sistem inquisitorial, sementara CoC berasal dari adversary sehingga tidak tepat digunaan dalam konsep peradilan di Indonesia. CoC berfungsi untuk menutup celah kekuasaan hakim yang tidak besar yang memang berpotensi menciderai wibawa pengadilan, berbeda dengan di Indonesia dimana hakim memegang kendali jalannya persidangan.
ICJR mengatakan bahwa CoC ini sangat rentan digunakan untuk mengkriminalisir kritik terhadap hakim, apalagi tren kepercayaan publik pada sistem peradilan begitu kecil. Sehingga memberikan rekomendasi bahwa pasal semacam ini harus hapus.
Hadir mengisi materi kedua dari Anggota Komisi III DPR-RI, yaitu H. Muhammad Nasir Djamil, M.Si. yang mengatakan bahwa sebenarnya ada harapan untuk diatur dalam suatu UU tentang upaya untuk menegakkan martabat pengadilan.
Komisi III merasa prihatin ketika sidak menyaksikan ruang-ruang pengadilan dimana pengunjung tidak menghormati, keamanan kurang diperhatikan, sehingga memang harusnya dijaga.
Penulis merasa harus meluruskan ketika beliau mengatakan bahwa ada beberapa sebutan mengenai pejabat-pejabat sidang di banyak lingkungan seperti yang mulia, yang terhormat dan lain sebagainya. Perlu diketahui bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No. XXXI/MPRS/1966 tentang Penggantian Sebutan “Paduka Yang Mulia” (P.Y.M.), “Yang Mulia” (Y.M.) “Paduka Tuan” (P.T.) dengan Sebutan “Bapak/Ibu” atau “Saudara/Saudari”, untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme serta kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya. [Bagian Menimbang Tap MPRS XXXI/1966]
Selanjutnya, bang Nasir Djamil menyampaikan bahwa tidak semua orang bisa mengakses bangunan hukum itu, dia berbeda dengan bangunan lainnya.
Dengan ketentuan seperti ini diharapkan tata kelola peradilan yang modern dan kepatuhan akan perintah pengadilan karena peradilan punya rumah tangga sendiri yang mengatur.
Beliau juga memberikan alasan tidak atau belum dibukanya akses atas naskah RKUHP adalah karena tidak ada hal yang baru, belum ada pembahasan lagi setelahnya dengan kata lain masih sama dengan naskah terakhir rancangan tahun 2019.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Sasmito Madrim, dalam uraiannya menyampaikan keprihatianan mengenai bagaimana implementasi dari Perma nomor 5 tahun 2020 tentang Protokol Persidangan Dan Keamanan Dalam Lingkungan Peradilan telah membuat para jurnalis dan pers menjadi terhambat, bahkan dikriminalisir padahal ada UU yang melindunginya.
Penulis akui bahwa memang pers harus melakukan fungsi kontrol sosial demi akses informasi dan akuntabilitas peradilan, namun perlu ada standarisasi penulisan yang harus diikuti berkaitan dengan bahasa hukum agar relevan.
Dia menyampaikan menurut AJI parlemen harus menghapus pasal-pasal bermasalah.
Peneliti Transparency International Indonesia, Izza Akbarani, menyampaikan hal yang hampir sama dengan AJI bahwa demi keterbukaan informasi persidangan, masyarakat, baik jurnalis maupun LSM dapat memanfaatkan keterbukaan informasi untuk menilai kinerja peradilan.
Dikatakan juga sepanjang majelis Hakim menyatakan persidangan terbuka untuk umum maka publik memiliki hak dan akses penuh untuk memperoleh informasi.
Sebagai rekomendasi ia menyampaikan bahwa perlu adanya kaji ulang atas rumusan pasal-pasal yang berkaitan dengan akses dan keterbukaan informasi.
Input Dan Pertanyaan AdvoKAI
Dalam kesempatan diskusi publik ini, Host Agus Sarwono dan para panelis memberikan kesempatan kepada penulis dalam kapasitas selaku Advokat anggota Kongres Advokat Indonesia mendapat kehormatan dengan dibukanya kanal untuk penulis, sehingga secara langsung dapat menyampaikan pendapat atas CoC yang berkaitan dengan fungsi Advokasi.
Keberadaan UU ini merupakan amanat penjelasan umum butir 4 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah oleh Undang Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang menyebutkan, “…perlu dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dari rongrongan kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court”.
Kekhususan CoC adalah pada tempat peristiwa itu terjadi yaitu pengadilan dan waktu kejadian yaitu dalam masa peradilan.
Berkaitan dengan CoC maka penulis sampaikan, bahwa persidangan sesungguhnya baru merupakan wilayah umum ketika ia dibuka oleh Hakim, diikuti dengan ketuk palu sebagai simbol isyarat. Ruang sidang bukanlah wilayah umum hingga dibuka, dan apa yang terjadi didalamnya berada dalam pengawasan petugas persidangan.
Meskipun bersifat khusus namun seringkali dalam prakteknya judicial policy yang masuk dalam domain umum seperti ini akan menjadi primum remedium sebab tafsir imparsial dari crime control, logika by institution akan tetap dominan ketimbang by system.
Bagaimanapun alas argumentasinya, pledooi sebagai salah satu produk dari advokatuur materinya pasti akan berlawanan dengan proses peradilan, secara kontekstual memang untuk “mencegah, merintangi atau bahkan mengagalkan secara langsung proses peradilan”, namun dengan cara tertentu yang dibenarkan hukum, tidak serampangan apalagi rekayasa.
Dan pledooi ini juga berfungsi sebagaimana yang dirumuskan pada pasal 282 huruf b, yaitu dalam sistem peradilan pidana memang ditujukan “untuk mempengaruhi semua yang ada dalam persidangan dengan atau tanpa imbalan” dan dengan sengaja dibuat untuk keperluan tersebut.
Sebagaimana dijelaskan UURI No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dalam pasal 38 ayat (1) yaitu yang dimaksud dengan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasan kehakiman antara lain kepolisian, kejaksaan, advokat, dan lembaga pemasyarakatan.
Dalam tanggapannya bang Nasir Djamil mengatakan bahwa kalau mungkin ini masuk dalam KUHP adalah sebagai transisi sebelum kemudian ada UU tersendiri yang mengatur masalah CoC ataupun OoJ, kalaupun harus masuk maka harus ada batasan-batasan yang jelas terkait perbuatan yang disebut secara melawan hukum, meski UU ini ditujukan untuk setiap orang dan bukan pihak-pihak tertentu.
Padahal, sebagaimana penulis sampaikan dari Seminar Nasional CoC di Kemayoran, Jakarta pada 2019, Wakil Ketua MA bidang Non Yudisial Sunarto menjelaskan MA sudah melakukan penelitian tentang CoC dan ditindaklanjuti dengan penyusunan naskah akademis RUU tersebut, namun sampai saat ini belum ada tindak lanjut dari DPR ataupun pemerintah mengenai naskah akademis tersebut.
Penulis pikir, bagaimana bisa ada wacana untuk melakukan transisi atas aturan tertulis? Ini naif dan pasti akan merepotkan sekali.
Kehakiman Dan Rumahnya
Pada prinsipnya, semua persidangan terbuka untuk umum ketika Hakim menyebutkan begitu, kecuali hakim menyatakan sebaliknya, bahkan tidak semua orang bisa mengakses bangunan hukum itu, dia berbeda dengan bangunan lainnya karena dia merupakan rumah-tangga dengan pengelolaannya sendiri. Dan sepanjang majelis Hakim menyatakan persidangan terbuka untuk umum maka publik baru memiliki hak dan akses penuh untuk memperoleh informasi.
Ketika aturan pidana mengatur tindakan-tindakan yang terjadi di wilayah negara maka CoC mempunyai otonomi sendiri yaitu dalam wilayah pengadilan, dan OoJ pada proses peradilan, lebih khusus lagi bahkan diluar pengadilan selama peristiwa itu menyangkut perkara yang sedang berlangsung.
Pemahaman implisit atas Pasal 174 KUHAP untuk pengendalian persidangan secara ekstensif yang bisa jadi dalam konteks OoJ maupun CoC, adalah Hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa, dapat memberikan perintah supaya seseorang itu ditahan dan/atau untuk selanjutnya diberikan sanksi.
Dalam hal yang demikian, oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat peristiwa hukum di ruang sidang tersebut dengan menyebutkan alasan persangkaan, dan berita acara tersebut ditandatangani oleh Hakim ketua sidang, serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang atau yang dipersamakan dengan itu.
Dalam hal-hal tertentu, jika perlu Hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana yang berkaitan dengan benar atau tidaknya keterangan saksi itu selesai.
Maka, logika hukumnya jika terjadi CoC antar penegak hukum maka mestinya masuk wilayah etika beracara dan profesi, sehingga sanksi sudah semestinya ditentukan oleh kuasa kehakiman, karena proses peradilan sesungguhnya sejak penyelidikan yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman.
Membentuk suasana peradilan dan pengadilan yang baik melalui Peraturan MA merupakan prioritas yang sangat penting dan tepat ketimbang merumuskan delik CoC dan Obstruction Of Justice (OoJ) dalam KUHP.
Mengembalikan Pengelolaan Peradilan Pada Kehakiman
Mantan Ketua MA Prof Bagir Manan mengatakan lembaga peradilan pun harus melakukan refleksi, “Pelecehan itu bukan sebagai sebab, tapi semata-mata sebagai akibat (effect). Karena pengadilan dinilai tidak menjadi tempat menerapkan hukum secara tepat dan benar,” kata Bagir mengingatkan.
CoC bukan hanya menyangkut wibawa pengadilan akan tetapi juga kepentingan para pihak yaitu masyarakat yang perkaranya dalam penyelesaian, demikian juga OoJ, agar tidak terhambat sehingga dapat dengan segera menemukan kebenaran atas fakta yang bisa jadi belum dia ketahui dan mendapatkan keadilan sesuai kadarnya.
Anggota Komisi III Arsul Sani terkait RKUHP terhadap CoC oleh Advokat sempat mengatakan “Kalau minta hapus, sorry tidak bisa karena itu menyangkut politik hukum”, meski tidak menolak untuk menerima masukan untuk rumusan penjelasan terhadap pasal-pasalnya.
Ironis, bila alasannya adalah menyangkut politik hukum parsial, padahal harus disadari bahwa kewenangan tersebut ada pada lembaga Yudikatif, implementasi pembagian kekuasaan.
Keberadaan RKUHP ini merupakan rekodifikasi dari banyak aturan, tapi tampaknya konsepsi RKUHP ini terlalu sederhana sekedar untuk menentukan arah politik hukum dan identias koloni hilang, titik, padahal idealnya politik hukum itu dijalankan sebagai kebijakan dan bukan dalam bentuk peraturan yang kaku.
Jika merujuk pada sifat publik dari RKUHP maka bilamana terdapat pengaturan tentang OoJ atau bahkan CoC dapat dimaknai perspektif daripada penyidikan dan penuntutan yang terganggu (terintangi, tercegah, tergagalkan) adalah yang berasal dari fungsi penegak hukum terkait kekuasaan negara atas penyidikan, penuntutan dan proses peradilan dalam wilayah eksekutif, tanpa dikaitkan dengan kekuasaan kehakiman.
Oleh karena itu, seharusnya harus dipastikan bahwa proses peradilan yang dimaksud dalam RKUHP adalah yang berkaitan dengan kewenangan lain berdasarkan undang-undang, misalnya sidang etik, dan bukan yang berkaitan dengan pengaturan rumah-tangga kehakiman dalam penyelengaraan kegiatannya yang bersifat khusus.
Terpisah, Ketua Komisi III DPR Gede Pasek Suardika mengatakan, peraturan dimaksud bukan berarti harus dalam bentuk UU CoC, alternatifnya RUU MA.
Advokat Harus Berbicara
Khusus Advokat, sebagai profesi maka tidak ada jalan bagi Advokat untuk berpikiran jahat karena sebagai kata benda dan sifat ia dilekati profesus, bila terjadi tindak pidana maka dilakukan oleh orang pribadi yang berprofesi sebagai Advokat, entah itu direncanakan terlebih dahulu (voorbedachteraad) atau memang kelakuan orangnya (een doen of een nalaten).
Individu yang berprofesi sebagai Advokat sama dengan orang lainnya yang melakukan tindak pidana yang umum, dalam suatu lingkungan yang khusus yaitu peradilan.
Bagir Manan pada kesempatan lain mengatakan, “Advokat merupakan pekerjaan yang disebut beroep, yakni pekerjaan profesional yang berdasarkan keahlian di bidang hukum yang diikat oleh aturan tingkah laku dan kode etik profesi”. [Bagir Manan, 2009, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian, Asosiasi Advokat Indonesia, Jakarta, hlm. 282]
Pada konteks profesi diperlukan proses naturalisasi melalui sidang etik untuk dilepas sebagai natuurlijk persoon dalam sidang umum, oleh karena itu, sebelum hak profesional Advokat itu dilepaskan dari individu oleh sebab etik dan/atau pmh dari pemeriksaan dewan kehormatan/etik organisasi maka proses hukum lainnya terkait dugaan perbuatan atas nama pribadi dianggap premature.
Secara prosedural masih harus melalui dewan etik/kehormatan untuk pembebasan dari profesi – sebagai natuurlijk persoon – untuk menjadi urusan publik, tidak serta-merta diproses pidana, malah hasil sidang etik bisa membantu proses peradilan.
Sangat beralasan bila kedepan rumusan atas perubahan UU Advokat dapat mencermati pasal-pasal tersebut yang berpotensi impeachment untuk dibentuk sebuah antitesa dengan diskursusnya, sebab status natuurlijk terhalang sumpah profesi.
Logika hukum saya mengatakan peraturan perundang-undangan lebih mudah dibuat ketimbang dibatalkan, jangan bilang sulit. Anggapan sulit itu lebih hanya pada pelaksanaan prosedural dan waktu, sedangkan untuk pembatalan selain prosedur, waktu dan kesiapan materi juga harus berhadapan dengan politik hukum yang sudah berjalan.
*Adv. Agung Pramono, SH., CIL.