Lembaga Politik Dalam Sistem
Lembaga politik pada dasarnya dibentuk sebagai saluran mobilitas sosial karena didalamnya terdapat persentuhan dengan struktur kekuasaan, menurut Carr partai politik berusaha untuk mencapai dan memelihara pengawasan terhadap pemerintah, yang dalam UU No. 2/2008 dibentuk oleh sekelompok warga negara untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara.
Thomas Meyer mengatakan posisi sentral partai politik memiliki dua dimensi yang salah satunya menjadi pihak yang menerjemahkan kepentingan dan nilai masyarakat ke dalam legislasi dan kebijakan publik yang mengikat, dan demokratisasi internal dalam proses pembentukan kehendak politik harus bisa dipertanggungjawabkan kepada pengadilan publik.
UUD atau konstitusi tidak mengatur masalah-masalah penting partai, kecuali diatur leluasa para politikus yang notabena elite partai di parlemen dan pemerintahan sebagai pembentuk perundang-undangan.
Albert Venn Dicey mengemukakan unsur utama Negara hukum yang salah satunya ialah konstitusi dasar dalam hak individual, bahwa konstitusi bukan merupakan hak asasi manusia, keberadaannya dalam konstitusi hanya merupakan penegasan yang bersifat umum saja, mengenai perlunya perlindungan atas HAM, sedangkan untuk melindunginya digunakan UU secara khusus. Demikian pula halnya tentang kepartaian.
Antara Republik Dengan Demokrasi
Pada dasarnya demokrasi merupakan partisipasi politik masyarakat sehingga partai politik harus berperan dalam stagnasi maupun peningkatannya, dalam konstelasi dimana masih akan ada ketidakpuasan dari masyarakat akan praktik politik baik secara langsung maupun melalui perwakilannya sebagai sebuah persengketaan yang memerlukan kepastian hukum untuk meredakannya.
Di Indonesia antara republik dan demokrasi berjalan baik, dimana urusan awam (res-publica) berada pada tataran yang sama dengan kuasa musyawarah-mufakat rakyat melalui kedaulatan hukum, partisipasi dan sistem politik yang merupakan conditio sine qua non.
UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Hak-Hak Sipil Dan Politik). Pasal 25 menyebutkan bahwa setiap warga negara juga harus mempunyai hak dan kebebasan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak beralasan yang dalam butir huruf c disebutkan juga dalam memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar persamaan.
Ekuivalen dengan kedaulatan hukum bahkan UUD 1945 Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, artinya republik ini menempatkan hukum dan rakyat dalam kesetaraan untuk berdaulat atas negara.
Loewenstein, Frederich dan Herman Finer mengatakan bahwa konstitusi merupakan sarana pengendali kekuasaan. Semula, konstitusi hanya dimaksudkan untuk membatasi wewenang penguasa, menjamin hak rakyat, dan mengatur pemerintahan yang berkembang menjadi alat bagi rakyat untuk mengkonsolidasikan kedudukan politik dan hukum dengan mengatur kehidupan bersama.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006 menurut penulis malah seolah diuji ulang oleh perumus RKUHP, menurut sebagian besar ahli yang saat ini menjabat pada lembaga-lembaga negara dan/atau pemerintahan mengatakan Mahkamah Konstitusi hanya membatalkan perbuatan perendahan martabat terbatas pada jenis delik biasa pada saat, sedangkan yang ada dalam RKUHP adalah delik aduan yang menurut mereka itu tidak berarti menghidupkan apa yang sudah dibatalkan oleh MK sehingga perubahan tersebut menjadi hal yang berbeda.
Ini sebetulnya logika yang menyesatkan publik dan penulis yakin mereka sangat tahu dan sadar, tapi mengingat posisi maka mereka tidak mau tahu, ironisnya lagi mereka menyampaikan legal logical fallacy itu dalam banyak diskusi intelektual padahal jelas materi putusan MK bermaksud menghapus pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP bahkan tidak boleh ada dalam UU, MK menghapuskan materi itu dari tubuh demokrasi.
Benturan Kepentingan Dalam Politik
Dalam politik terdapat Struktur Rekahan Masyarakat yang terdiri dari konflik-konflik yang bisa jadi saling tumpang tindih, satu pihak dapat mewakili beragam kepentingan pekerja, sektor industri, dan sekularisme sedangkan pihak yang lain mewakili kepentingan para pemilik modal, dengan orientasi yang tertentu pula.
Putusan MA Nomor 39 P/HUM/2021 yang menguji AD/ART Partai dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU-XVII/2020 yang menguji Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) menjadi beberapa putusan politis terbaik yang secara khusus menjadi moment of truth bahwa Mahkamah mau tidak mau secara doktrinal harus menempatkan diri dan berperan sebagai political holder.
Beberapa ahli dan praktisi berpendapat bahwa ada kekosongan hukum terhadap keadaan yang tidak atau belum diatur yang menimbulkan ketidakpastian hukum “rechtsonzekerheid” atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat berupa problem pengujian norma AD/ART Parpol, yang lebih jauh lagi akan berakibat kepada kekacauan hukum “rechtsverwarring”, disinilah blunder hukumnya.
Sistem hukum Indonesia mengenal legislative review dan executive review berdasarkan fungsi legislasi yang dimiliki oleh kedua lembaga legislatif dan eksekutif sebagaimana yang diatur dalam konstitusi pada Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 dan UU 12/2011.
Bila masalahnya adalah pada prosedur yang tidak sesuai UU dan disahkan oleh Menkumham maka semestinya langkah hukum yang dilakukan adalah eksekutif review karena terdapat masalah didalamnya, sedangkan ketidakpatuhan akan UU menjadi problem PMH di peradilan umum, yang berimplikasi pada produknya.
Manusia hukum harus menempatkan peran peradilan sesuai kedudukan dan fungsi yudisialnya, disanalah letak wibawa hukum, jangan mengisolasi dan membuat anomali bagi masyarakat mengenai makna Lembaga Peradilan yang sebenarnya dan tidak mencampuraduk bahkan mungkin mengkambinghitamkan.
Bila kita berbicara tentang terobosan hukum maka tempatkan infrastruktur politik sebagai pengimbang dari suprastruktur, dengan kata lain tidak hanya masuk melalui kanal-kanal saja akantetapi juga termasuk derivatnya. Sebagai contoh ketika kita memasuki Lembaga Negara DPR maka lebih substan lagi dapat menentukan pada komisi mana topik menemukan relevansinya untuk disampaikan, atau ketika kita memasuki Lembaga Yudikatif maka tidak hanya melalui Mahkamah Agung akantetapi dapat memasuki derivatnya yaitu Pengadilan.
Kehakiman Sebagai Political Holder
Mengutip pasal 24 ayat 1 UUD 1945, idealnya kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaknai sebagai merdeka dari kepentingan cabang kekuasaan lain baik di pemerintahan atau pun para politisi, merdeka dari ideologi politik apapun atau tekanan publik, dan merdeka dari kekuasaan lembaga kehakiman yang lebih tinggi.
Politik menjadi suatu sisi dari sekeping mata uang, disisi lainnya adalah hukum, maka dalam konstelasi hukum implementatif yang menyentuh produk politik atau lembaga politik maka selain stake holder, power holder dan parties maka kehakiman mendudukkan diri sebagai political holder, sepadan Mahkamah Konstitusi yang berwenang untuk menafsirkan klausula maka Mahkamah Agung berperan untuk menjaga relevansi etik implementasi norma dalam bermasyarakat dimana cita hukum sebagai parameter yang dapat mengesampingkan segala peraturan produk kekuasaan negara lainnya, morale motives.
Issue ini sudah menjadi diskursus dikalangan para Juris dan Akademisi tentang bagaimana pendapat hukum yang merupakan pendirian atas argumentasinya menjadi sebuah logical fallacy yang menimbulkan extra judicial act oleh partai politik, sementara instrumen hukumnya sudah ada dan hanya butuh penyempurnaan.
Satjipto Rahardjo mengatakan pengadilan menjadi terisolasi dari keseluruhan dinamika masyarakatnya dan menjadi benda asing dalam tubuh masyarakat itu, dengan compassion yang memuat empati, profesionalisme, determinasi dan nurani.
Pengadilan sendiri memeriksa kenyataan yang terjadi, tidak hanya menggunakan kredo “peraturan dan logika”. Disitu hakim akan bisa menyaksikan sendiri “keutuhan peristiwa hukum” yang diperiksa. Pengadilan bisa mencerap penuh nuansa perkara.
Sepanjang sejarah Negara ini lembaga yang selalu bisa diterima oleh masyarakat dan terbuka dengan suara rakyat adalah Mahkamah Agung dengan pengadilannya, pelayanan yang baik, sementara lembaga Negara lainnya masih jauh dari keadaan ideal seperti itu.
Merupakan rahasia umum bahwa UU adalah resultan dari kompromi politik – meski idealnya tidak demikian – dan secara umum kesepakatan dapat di batalkan oleh kuasa peradilan. Disinilah perang dan fungsi doktrinal dari kehakiman dengan kekuasaannya atas hukum, mengembalikan keadaan bahwa hukum harus mengatasi politik, ketika manusia politik membunuh strata sosial menjadi struktur sosial yang sebetulnya sekedar membentuk dinasti baru belaka, kehakimanlah yang sejak awal peradaban menghidupkan prinsip bahwa semua sama dimata hukum.
Advokat Sebagai Negarawan
Alasan penggunaan proses litigasi oleh aktor-aktor politik sebagai pengalihan penentuan masalah-masalah politik yang kontroversial kepada pengadilan secara sengaja, kemudian menyebutnya sebagai “manuver hegemoni”. [Ran Hirschl, “Judicialization of Pure Politics Worldwide”, 2008, hlm. 1]
Kewenangan untuk mengadili kontroversi-kontroversi politik tersebut telah mengubah pengadilan menjadi sebuah institusi politik. [Ran Hirschl, 2008, hlm. 2]
Dalam rechstaat, hukumlah yang berdaulat, subjek hukum yang apabila melakukan kesalahan, maka dapat dituntut di muka pengadilan.
Maka pendapat Edmund Burke yang mengatakan bahwa partai politik harus berpegang kepada prinsip-prinsip dan hal-hal yang mereka setujui, dan Thomas Meyer yang mengatakan bahwa partai politik harus mempertanggungjawabkan kepada pengadilan publik, meminjam istilah Prof. Adv. H. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. yaitu social punishment, bagaimana seharusnya hukum diterapkan secara etik dalam tubuh masyarakat, inilah terobosan hukum, bukan menerobos hukum.
Penulis mengutip pendapat Satjipto Rahardjo yang berharap bahwa MA berani membuat putusan-putusan yang berbobot politik, yaitu politik kenegarawanan. Yang perlu digarisbawahi dari harapan ini adalah politik kenegarawanan (judicial statementship) dari Mahkamah Agung. (Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2003)
Sependapat dengan YIM sepanjang dan sebatas mengenai ajakannya untuk berbicara sebagai negarawan dalam jubah Advokat untuk mengatasi politik hukum, dan hal tersebut sudah pula direspon oleh Adv. DR. TM Luthfi Yazid, SH, LL.M, C.I.L, C.L.I. yang pada intinya mengatakan agar tidak terjerumus lebih dalam pada legal logic fallacy.
Bahkan Adv. DR. H. Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, SH., MH., CLA., CIL., CLI., CRA. (Presiden Kongres Advokat Indinesia) dalam karya ilmiahnya yang meramu politik, hukum dan tata-negara melalui ide politik organisasi Advokat sebagai organ negara yang dapat menentukan nasibnya sendiri dengan multibar.
Dan, jika politik praktis melakukan penetrasi dan intrusi terhadap hukum maka oleh karenanya Advokat harus melakukan litigasi dan Kehakiman dengan kekuasaan murninya atas peradilan dan pengadilan menempatkan diri sebagai political holder.
*Adv. Agung Pramono, SH., CIL.