Bahan Yang Baik
Hukum, utamanya hukum pidana, seringkali tidak seperti apa yang dipikirkan oleh para pembentuk UU. Dalam praktek, bisa terjadi perbedaan antara apa yang dipikirkan oleh para pembentuk UU dengan apa yang terjadi di masyarakat karena itu pada asasnya hukum pidana haruslah merumuskan perbuatan yang dilarang dengan baik.
Pembuat UU memang manusia biasa yang menghasilkan produk UU yang tidak sempurna, akan tetapi bukan disitu masalahnya melainkan dalam perancangan UU sudah ada rambu-rambu baik asas, prinsip serta kaidahnya yang benar-benar harus dipedomani, tidak secara total dan kaku akan tetapi harus dengan pemahaman yang baik.
Hal yang perlu diperhatikan bahwa konstruksi hukum itu harus meliputi bahan-bahan yang positif, yaitu sistem materil UU yang sedang berlaku sehingga harus didasarkan atas pengertian-pengertian hukum yang memang ada dalam UU yang bersangkutan dan menjadi dasar bagi UU yang sedang dibuat.
Secara prinsipil asas hukum merupakan latar belakang dari adanya suatu hukum konkrit, sedangkan norma adalah hukum konkrit itu sendiri dan hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melainkan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, untuk menghidupkan psychologische dwang sesuai kaidah dan kodrat perumusan norma hukum pidana.
Subjek Harus Pribadi
Bahwa ada perbedaan konseptual antara subjek hukum dan subjek norma. Subjek hukum adalah orang yang mampu menjadi penyandang hak dan/atau kewajiban. Dalam konteks melaksanakan hak dan/kewajiban itu, subjek hukum dapat dilekatkan kewajiban, larangan, atau kebolehan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, subjek hukum seperti ini adalah subjek norma. Sehingga subjek norma adalah orang yang mempunyai kesadaran (sehat mental) yang menjadi pelaku dari objek norma, yang dikenakan pertanggungjawaban.
Objek norma merupakan perbuatan atau perilaku yang diwajibkan, dilarang, diizinkan untuk dikerjakan, atau diberikan dispensasi untuk tidak dikerjakan oleh norma (operator norma atau modus perilaku).
Kenyataan dalam praktik perumusan tindak pidana di Indonesia menunjukan belum adanya kesamaan pola dalam merumuskan suatu tindak pidana dan subyek hukum yang menjadi sasaran norma tersebut (addressaat norm). Pelaku tindak pidana adalah orang atau badan hukum atau jabatan publik, yang berbeda dengan profesi.
Ancaman pidana ini haruslah ditujukan bagi ‘orang’ yang melakukan tindak pidana. Hoeven mengatakan, yang dapat dipidana adalah pembuat. [Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 23]
Perumusan tindak pidananya harus jelas (lex stricta), dan subjek norma patut dicela karena pikirannya (mens rea).
Dengan demikian, sebagai profesi maka tidak ada jalan bagi Advokat untuk berpikiran jahat karena sebagai kata benda dan sifat ia dilekati profesus, bila terjadi tindak pidana maka dilakukan oleh orang pribadi yang berprofesi sebagai Advokat, entah itu direncanakan terlebih dahulu (voorbedachteraad) atau memang kelakuan orangnya (een doen of een nalaten).
Berdasarkan rumusan-rumusan tindak pidana adalah untuk pembuat tunggal (individu), subyek hukum pidana adalah manusia (person).
Ebah Suhaebah melalui Penerapan Kaidah Bahasa Indonesia dalam Peraturan Perundang-undangan mengatakan, “Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frasa setiap orang”. Idiom yang harus digunakan adalah “barang siapa”, dalam perumusan ketentuan pidana juga berisi ancaman pidana atau sanksi yang dilekatkan pada tindak pidana tersebut.
Ketika sebuah norma secara proporsional akan didistribusikan maka perlu dipertimbangkan ide komutatif (pertukaran) mengenai prestasi dan kontraprestasi, oleh karena menyangkut profesi maka tindakannya yang kontraprestasi harus dijatuhkan sanksi atau ganti kerugian sebagai langkah diterapkannya ide vendikasi (pemulihan nama baik).
Pemidanaan harus juga berorientasi pada faktor orang (pelaku), individualisasi pidana berdasarkan profesi lebih kepada diterapkannya pemberatan pidana bahkan mendapat pidana tambahan berupa pencabutan hak menjadi penasihat hukum dan hak menjalankan profesi tertentu.
Beginsel-nya adalah pribadi bukan karena pendidikan profesi, jangan pernah berpikir bahwa itu bentukan dari lingkungan Advokat yang disimpulkan secara subjektif penuh tipu-muslihat dan keras akan tetapi pasti tindak pidana tersebut murni dari karakter individu.
Individu yang berprofesi sebagai Advokat sama dengan orang lainnya yang melakukan tindak pidana yang umum, dalam suatu lingkungan yang khusus yaitu peradilan.
Norma pidana dalam profesi berkaitan dengan lex spesiali dan etik, maka suatu kekeliruan bila pidana merumuskan profesi sebagai subjek norma didalamnya.
Kekeliruan desain norma justeru mengafirmasi persepsi negatif masyarakat awam terhadap profesi Advokat, merekalah yang kedepannya justeru dapat menggeneralisir, melakukan kriminalisasi pada Advokat, dengan beragam stigma negatif. Lagipula uraian norma terhadap Advokat sebagai subjek hanyalah sekedar pengulangan yang mubazir dan tumpang tindih.
Desain Subjek Advokat Sudah Selesai
Bagir Manan, menerangkan bahwa, “secara normatif, masalah Advokat sebagai penegak hukum telah selesai dengan adanya Undang-undang Advokat yang menegaskan bahwa Advokat merupakan penegak hukum, akan tetapi yang menjadi persoalan selanjutnya adalah bagaimana bentuk dan tempat nyata Advokat sebagai penegak hukum”, khususnya dalam perannya sebagai komponen pendukung terwujudnya sistem peradilan pidana terpadu dalam penegakkan hukum pidana di Indonesia. [Bagir Manan, 2009, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian, Asosiasi Advokat Indonesia, Jakarta, hlm. 40.]
Dalam prakteknya sering dilupakan oleh pembentuk undang-undang (legislator) sehingga masih menyisakan berbagai persoalan dalam hukum pidana. Khususnya perumusan ketentuan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini bukan hanya dalam lapangan teoritis, tetapi lebih jauh lagi dalam praktik hukum.
Bagir Manan pada kesempatan lain mengatakan, “Advokat merupakan pekerjaan yang disebut beroep, yakni pekerjaan profesional yang berdasarkan keahlian di bidang hukum yang diikat oleh aturan tingkah laku dan kode etik profesi”. [Bagir Manan, 2009, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian, Asosiasi Advokat Indonesia, Jakarta, hlm. 282]
Tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang meski berprofesi sebagai Advokat harus tetap dipandang secara individual, masalahnya adalah ketika seorang pribadi yang memang pada dasarnya berperilaku tidak baik atau emosi yang tidak stabil melakukan tindak pidana dalam profesinya sebagai Advokat ketika dia menangani suatu perkara maka hal tersebut terjadi dalam diskursus etika profesi yang mana aturan pertama yang mengikatnya adalah UU Advokat.
Dalam norma hukum pidana lazimnya adalah tindak pidana oleh orang pribadi atau badan hukum atau karena jabatan, sedangkan tindak pidana karena profesi diatur dalam UU tersendiri. Oleh karenanya, terhadap Advokat yang dimungkinkan rumusannya adalah bobot hukumannya, bisa jadi dikenakan pemberat pidana karena berhubungan dengan pelanggaran etika profesi.
Ancaman pidana karenanya ditujukan kepada orang yang melakukan kelakuan yang dilarang, mengabaikan perintah yang seharusnya dilakukan, dan karena perbuatannya menimbulkan akibat yang terlarang. Oleh karenanya, antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana haruslah dipisahkan. Pemisahan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana tersebut haruslah dimulai dari tahap perumusan (formulasi), kemudian pada pelaksanaan (law enforcement), dan pada tahap penjatuhan pidana. [Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hlm. 14]
Maka seharusnya Advokat dan profesi lainnya cukup dirumuskan dalam norma yang menentukan bobot sanksi, dibedakan nilai pertanggungjawaban pidananya dengan dasar profesi, atas suatu tindak pidana yang sama dengan subjek norma umum. Dibedakan pada penjatuhan pidananya.
Penyederhanaan sistematika ini didasarkan pada resolusi Seminar Hukum Nasional I tahun 1963 dan hasil Lokakarya Buku II KUHP tahun 1985. Didalam resolusi tersebut diserukan agar di dalam bagian khusus KUHP tidak lagi diadakan penggolongan dalam dua macam delik (kejahatan dan pelanggaran). Resolusi ini dipertahankan pada Lokakarya Buku II tahun 1985.
Hal ini sebenarnya sudah tercantum dalam Naskah Akademik RUU KUHP-BPHN bahwa KUHP akan menjadi sumber utama dan satu-satunya sumber norma hukum pidana nasional Indonesia yang memuat ketentuan umum hukum pidana (asas-asas hukum pidana) dan memuat perbuatan pidana (perbuatan yang dilarang dan diancam sanksi pidana) yang termasuk kategori kejahatan/independent crimes/generis crime. [Naskah Akademik RUU KUHP, 2015, hal. 171] disebut sebagai independent crimes (kejahatan yang berdiri sendiri) dan generic crime (kejahatan umum).
Tekanan Psikologis
Fungsi instrumental hukum pidana terkait dengan teori von Feuerbach yaitu psychologische dwang (teori tekanan psikologis). Teori ini menjelaskan mengenai pembenaran penjatuhan pidana dengan alasan bahwa sebelumnya telah diberikan peringatan kepada setiap orang tentang larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan dan jika pidana tidak dijatuhkan, maka ancaman tersebut akan kehilangan kekuatannya. [Jan Remmelink, Hukum Pidana – Komentar Atas pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal. 605]
Aturan yang mengikat dan secara psikologis mengancam Advokat itu ada, tapi kenapa tidak efektif?
Bila kita sulit menjawab pertanyaan itu maka kita harus jujur pada fakta bahwa aturan yang mengikat Advokat itu tidak efektif bukan karena kekeliruan norma dan minimnya kepastian hukum berdasarkan redaksi yang sudah ada akan tetapi kepada penilaian hubungan relasional antara Advokat dengan penegak hukum lainnya. Inilah yang membuat penekanan itu menjadi hambar dan seperti kehilangan elegansinya.
Namun, urgensi pembaruan perumusan subjek Advokat harus dibahas ulang dengan mengingat amanat Seminar Hukum Nasional I tahun 1963, pada Resolusi butir (iv) disebutkan bahwa, “Yang dipandang sebagai perbuatan-perbuatan jahat tadi adalah perbuatan-perbuatan yang dirumuskan unsur-unsurnya dalam KUHP ini maupun dalam perundang-undangan lain”.
Oleh karena itu, sebelum hak profesional Advokat itu dilepaskan dari individu oleh sebab etik dan/atau perbuatan melawan hukum berdasarkan pemeriksaan dewan kehormatan/etik organisasi maka proses hukum lainnya terkait dugaan perbuatan atas nama pribadi dianggap premature.
*Adv. Agung Pramono, SH., CIL.