Bahasa, Sains Dan Tekno
Meminjam gagasan Witggenstein bahwa temuan ilmiah menjadi suatu lingkungan sosial tersendiri dimana bahasa terbentuk sebagai permainan untuk mendapatkan kepercayaan, menjadi konsep.
Peter Sloterdijk bisa jadi akan menyebut pengguna bahasa dalam sains dan teknologi sebagai subjek sinis yang siap mendistorsi realitas, berpegang juga pada kepalsuan yang disepakati, mereka tahu bahwa mereka salah tapi masih melakukannya, jika mengalami kegagalan mereka tidak akan mengakui malah mengalihkan dengan permainan bahasa dan gestur, Zizek menyebutnya ilusi.
Heidegger dan Wittgenstein melalui Lacan mendamaikan manusia dengan dunia melalui analisis bahasa dan media tekno dengan mengatakan “batas dalam bahasaku adalah batas dalam duniaku”, setiap tindakan komunikasi menciptakan pengalaman kolektif dimana komunikasi sebagai sebuah ritual untuk mengukuhkan pandangan satu sama lain tentang dunia yang dibagi bersama.
Dalam wilayah lain seseorang bukanlah sejarahwan selain hanyalah seorang psikoanalisis bagi dirinya sendiri, ujar Kuhn.
Martin Heidegger berkata bahwa manusia adalah “yang-ada-di-dunia” (Being-in-the-World). Artinya, manusia, karena pengalamannya, adalah produsen pengetahuan sekaligus wilayah pengetahuan itu sendiri.
Bersama Schutz dan Edmund Husserl, Heidegger membebaskan kebuntuan ilmu pengetahuan yang mandeg di wilayah formal, yang secara metodologis menyingkirkan kemungkinan peran manusia-manusia dengan kesadaran pengalaman kesehariannya. Berbeda dari Kantian dengan logika yang terlalu transendental-rasional.
John Horgan dalam The End of Science tegas mengatakan bahwa ilmu filsafat akan mati karena sikap skeptis para filosof yang mengandaikan jika ada teori baru yang membatalkan teori lama menimbulkan sebuah pertanyaan kritis, bagaimana bisa ada teori yang benar? Karl Popper, Imre Lakatos, Thomas Kuhn dan Paul Feyerabend mendukung bahwa ilmu pengetahuan tidak akan pernah mampu memperoleh kebenaran obyektif.
Di Dunia Hukum
Berbicara tentang filsafat maka juga mengaktifkan tradisi berpikir, disini Heidegger mengatakan bahwa manusia mempersepsikan dunianya dan bertingkah laku berdasarkan persepsi tersebut.
Sepanjang sejarah manusia cenderung mengasah kemampuan berbohong, mengarang mitos atau membual untuk menggalang dukungan, manusia adalah spesies yang secara insting lebih menyukai kekuasaan dan/atau kekayaan bersama kenyataan sebatas yang dibicarakan dengan pembuktian-pembuktian tertentu agar lebih meyakinkan untuk disepakati sebagai kebenaran.
Disini sains bermain kompetensi dalam mengumpulkan bukti-bukti untuk mempengaruhi nalar manusia apalagi dapat melanggar wilayah etik dengan perbuatan dan produk yang nyata.
Heidegger menyebut ilmu-ilmu eksakta mengalami krisis, bermula pada kekacauan para matematikus dalam menyatakan objek penelitiannya. Matematika itu sebuah ilmu yang mempelajari apa, angka-angka, atau realitas? Apa makna matematika sebagai sebuah ilmu dengan peran humanismenya?
Sementara dalam biologi, pokok kehidupan direduksi hanya pada DNA yang terasa sempit dan sekaligus misterius padahal saat ini dinyatakan bahwa DNA bukan segala-galanya, dalam hukum ini akan berkaitan dengan watak manusia.
Filsafat dimaknai oleh Daniel Dennett sebagai pondasi dalam membuat pertanyaan, saintis atau ilmuwan membutuhkan sebuah keraguan agar menemukan jawaban, sehingga tidak mungkin filsafat mengalami kematian hanya saja memang tidak diakui.
Sains dan teknologi hanya akan membuktikan apa yang sudah terjadi, bukan sesuatu yang baru. Dalam dunia hukum ada diskursus bahwa suatu saat artifficial intelligence akan menjadi subjek hukum yang dapat mendaftarkan hak atas kekayaan intelektual, dia mendaftarkan dirinya sendiri.
Maka bisa jadi AI akan mendaftarkan dirinya sebagai kekayaan intelektual dengan menolak penciptanya sendiri, hal ini seperti suatu simulasi terhadap keyakinan beragama dengan penciptanya. Disisi lain penafian dari si pencipta dapat menjadi alat bukti bagi manusia lainnya untuk meyakini kebenaran yang dibentuk oleh sains dan teknologi melalui bahasanya.
Filsafat Sebagai Pondasi
Heidegger meletakkan Manusia sebagai pusat cakrawala filsafatnya. Emmanuel Levinas, salah satu murid Heidegger, kemudian mengemas lebih baik dalam perspektif etis-transendental. Kontribusi etisnya tentang makna “the other” (liyan: konsep Jawa) menjadi rujukan etika tata hidup bersama tentang kehadiran yang memproduksi nilai. Being-with-things yang bukan sekedar barang atau benda, tetapi juga kultur (budaya), hukum, peraturan, dan segala hal yang berkaitan dengan hidup manusia.
Perjumpaan dengan manusia siapa saja (das sein) identik dengan perjumpaan dengan diri sendiri. Dia menjadi diriku, dan aku ambil bagian dalam keberadaannya. Konsep ini identik dengan kepercayaan di Bali mengenai ta twam asih (aku adalah aku dan kamu adalah aku) dan bute kale (ruang-waktu) yang saling mengambil bagian dalam rahasia ruang dan waktu.
Filsafat Husserlian-Heideggerian-Schutzian akan sangat baik dalam implementasi hukum. Misalnya, jika ingin mengenal tentang kebenaran “apakah tsunami”, pergilah dengarkanlah mereka yang telah mengalaminya, jangan sekedar mendengarkannya dari para ahli cuaca atau geolog atau relawan; atau “apakah keadilan hukum” dan seterusnya.
Edmund Husserl mengajarkan baik buruk itu tidak berasal dari hukum (agama/sipil), fatwa, dogma, doktrin, instruksi. Melainkan buah kesadaran moralitas pengalaman keseharian manusia.
Sains seharusnya tidak berangkat dari kalkulasi matematis murni yang jauh dari dunia manusia secara konkrit, tetapi juga untuk pengalaman langsung manusia dalam dunia kehidupannya.
Dalam The Logic of Scientific Discovery, Popper menyebut, sains tidak menawarkan kepastian absolut, selalu terbuka untuk dikoreksi dan diperbaiki. Harus diakui masih ada kerendah-hatian dalam etos saintifik tapi itu bukan segalanya bagi manusia.
Sebuah Pledooi
Popper dengan pemikiran critical rasionalism, kombinasi dari ontologi empiris dengan epistemologi rasionalis memberikan kritik atas paradigma positivisme Auguste Comte. “Karena pengetahuan kita terbatas, sedangkan ketidaktahuan kita tak terbatas.” Ia memastikan, tugas sains bukan memverifikasi kebenaran, melainkan mengeliminasi kesalahan, agar kebenaran bisa semakin didekati. Baginya, truth is beyond human authority.
Upaya mencari kebenaran perlu dimulai dengan memisahkan antara sikap subyektif dan obyektif secara tegas. Dengan metode demarkasi sains vs pseudo-sains dan falsifikasi dapat memilah antara yang epistemik (bagaimana kita tahu) dengan yang ontologis (realitas yang ada).
Sains tidak bertugas mencari dan menemukan kebenaran selain hanya membantu menjelaskan realitas dunia. Tapi sains lah yang terutama menyebut bahwa filsafat mengalami kematian.
Saya pikir ini bukan pernyataan serius kecuali sekedar keinsyafan akan kekhawatiran atas diri saintis sendiri yang rapuh hingga sewaktu-waktu menghentikan aktivitas saintifik yang seringkali melanggar batas etik, yang bisa menjadi masalah besar untuk impian dan konsep yang mereka bangun.
Lain halnya dengan sifat politik yang suka memecah diri, padahal sebenarnya justeru masyarakatlah yang dipecah, karena politik tidak pernah untuk masyarakat, tapi jelas politik bertujuan terhadap negara, bukan bernegara.
Saya dengan lancang berpikir dari sudut pandang Bertold Brecht bahwa bila politik bisa mengorbankan lawan maka sesungguhnya lawan terbesar bagi politik adalah rakyat, karena itulah rakyat selalu menjadi yang pertama kali merasakan dampak dari keputusan-keputusan politik.
Sejarah menjadi ilmu yang kerap beperkara pada tataran metodologis dan sering kehilangan jejak pembahasannya. Apalagi jika sejarah sudah dimasukkan dalam ranah kekuasaan.
Aristotelian berkata bahwa politik adalah sebuah cetusan aktivitas agung dari makhluk yang bernama manusia, kesempurnaan kodrat sosialitas, rasionalitas sekaligus moralitas manusia. Namun Machiavellian mengkritik bahwa politik adalah perkara di luar wilayah wajar etika, ia ada dalam ranah kekuasaan. Siapa menang, berkuasa. Siapa kalah, pecundang, titik.
Jika teori baru membatalkan yang lama atau jika politik mempengaruhi watak hukum, jika pengetahuan harus demikian, kebenaran pastilah jauh dari masyarakat biasa, kecil, terbatas dan miskin, menjadi monopoli para ahli ditangan penguasa. Dan, kita harus membelinya (dan seringkali tidak murah) jika ingin memegang kebenaran. Ini yang mengganggu benak Husserl (pakar matematika) dengan pertanyaan besar, benarkah demikian seharusnya?
Filsafat bukan mati tapi di non-aktifkan karena sains tidak berkompromi dengan kewajaran dan etika, tidak bisa merasakan keabadian kecuali koreksi demi koreksi yang artinya temuan sebelumnya disadari belum tepat, karena tidak ada nalar, naluri dan budi – lalu, dimana letak kebenarannya? Relativitas itulah yang disukai yang membuat setiap orang bebas untuk merasa pandai dan disifati berkuasa, minimal atas dirinya sendiri tanpa dibatasi adab.
Tidak hanya tentang sains, bahkan dalam dunia hukum ketika dilekati legal-postivisme maka manusia terasa mati, karena positivisme lahir tanpa kompromi dengan moral, sebab katanya “setiap yang mereka yang diadili pasti sudah menyalahi moral”.
Heidegger meski dari Barat namun tak silau dengan pesona sains dari filsafatnya yang berkata, “filsafat telah mati”, Heidegger menelanjangi cara berpikir (filsafat) Barat dengan berujar, “ada cacat mendasar dalam cara berpikir kita”.
Betapa dunia saat ini telah didominasi oleh kekacauan berpikir, sains yang dibesarkan sebagai cara berpikir, sesungguhnya sama sekali tidak berpikir. Yang terjadi, menurut Heidegger, hanya seolah-oleh berpikir.
Marcus Tullius Cicero dalam de Oficiis memuat semangat Stoa tentang etika katekontik, tindakan yang tepat dan terbaik dari nurani manusia atas tugas kebaikan yang melekat dalam menunaikan tanggung jawab diri demi kebaikan masyarakat.
Dalam peristiwa konik, Cicero menetapkan sebuah prosedur, “Alam dengan hukumnya menetapkan bahwa seorang manusia harus bersedia mempertimbangkan kepentingan orang lain, siapapun ia, dengan alasan mendasar yakni karena ia adalah manusia.”
Melalui Advokat, akar filsafat melalui hukum selalu hidup untuk kesadaran moralitas pengalaman keseharian manusia dalam dunia kehidupannya sebagai realitas dan fakta empiris yang berkaitan dengan batasan etik dan perbuatan fisik pada tatanan bermasyarakat agar teratur adil.
*Adv. Agung Pramono, SH., CIL.