Adv. Agung Pramono: Advokat Dengan Bahasa Hukum Yang Baik - Kongres Advokat Indonesia
agung pramono fadli nasution ibrahim massidenreng tjoetjoe sandjaja hernanto

Adv. Agung Pramono: Advokat Dengan Bahasa Hukum Yang Baik

Laras Bahasa Hukum

Simposium Bahasa dan Hukum pada 25-27 Oktober 1974 menyepakati bahwa bahasa hukum adalah bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam bidang hukum, dan karena fungsinya mempunyai karakter tersendiri. Karakter bahasa hukum terlepat pada kekhususan istilah, komposisi, dan gaya bahasanya.

Dalam perspektif ini, kita bisa memahami mengapa kalimat-kalimat dalam putusan selalu diawali dengan kata ‘bahwa’, atau rumusan pidana yang banya diawali kata ‘barangsiapa’. Model bahasa demikian, yang lazim dipakai dalam bidang tertentu seperti hukum, disebut laras bahasa.

Albert Wilhelmus Hendrik Massier mengatakan, bahasa Indonesia belum mencapai tingkat kematangan yang memadai untuk menampung berbagai ilmu pengetahuan hukum berbahasa Belanda sebelum masa kemerdekaan, terutama disebabkan kesadaran yang rendah mengenai persoalan bahasa hukum.

Akibatnya sering terjadi perdebatan panjang dan melelahkan di ruang sidang antara hakim, jaksa dan Advokat. Konsekuensi lain, ada sejumlah putusan pengadilan yang tidak konsisten menerapkan pasal-pasal KUHP karena perbedaan pandangan hakim yang satu dengan hakim lain untuk norma yang sama yang pada akhirnya membuka peluang ketidakpastian hukum.

Bahasa Dan Fiksi Hukum

Mengutip pernyataan Sutan Takdir Alisjahbana dalam Simposium Bahasa dan Hukum tahun 1974, bahasa bukan hanya pakaian hukum, namun badan yang sesungguhnya dari hukum itu, bahasa yang dipergunakan untuk hukum adalah bahasa Indonesia yang sublim, yaitu jernih dan murni, beliau adalah seorang sastrawan dan ahli tata bahasa Indonesia yang bergelar Meester in de rechten (Sarjana Hukum) pula.

Menurut Adriaan Willem Bedner, Professor of Law and Society in Indonesia di Universiteit Leiden, sistem hukum Indonesia sudah khas sejak awal. Pluralisme hukum jauh lebih luas dibandingkan Negara-negara lainnya.

Makna yang akan disampaikan melalui suatu norma itu berada dalam pikiran perancang peraturan perundang-undangan bukan dalam kata atau simbol yang akan digunakannya, dan harusnya diterima dengan baik oleh Advokat, karena bagaimanapun juga pada tataran masyarakat yang secara langsung berada dalam lingkungan awam adalah Advokat, sehingga mau tidak mau pembentuk hukum mestinya dapat bekerjasama dengan Advokat untuk mensosialisasikan maksudnya, menyampaikan berdasarkan rumusan pembahasan ketika membentuk peraturan perundang-undangan, terutama normanya.

Advokat menjadi penyangga hulu – authorized adjudicator, penilai resmi – yang harus mampu menyampaikan maksud apa yang ada dalam suatu norma positif kepada kelompok-kelompok masyarakat agar memahami apa yang akan dijalani dalam proses penyelesaian suatu permasalahan hukum yang sedang dialami atau diterima oleh awam.

Bahasa hukum mempunyai laras bahasa tersendiri, patron yang harus diikuti bukan dalam tujuan untuk mempersulit melainkan untuk meringkas sesuai kaidah hukum.

Terdapat sebuah fiksi hukum bahwa setiap orang dianggap tahu hukum. Tidak peduli apakah orang tersebut tinggal di jantung kota atau di pelosok desa. Ketika orang yang sama berhadapan dengan hukum, maka ia tak bisa menggunakan dalil bahwa ia tidak mengetahui adanya peraturan tertentu.

Kenyataannya tidak mungkin semua orang tahu hukum, bahkan orang yang sudah puluhan tahun menggeluti dunia hukum pun pasti tidak mengetahui semua isi peraturan perundang-undangan yang masih berlaku.

Ini tentu berbeda dengan asas ius curia novit, Rudolf von Jhering berpendapat bahwa hukum adalah sejumlah kondisi kehidupan sosial dalam arti luas, yang dijamin oleh kekuasaan negara melalui cara paksaan yang bersifat eksternal.

Lain lagi dengan aliran realis Holmes, hukum adalah apa yang diputuskan oleh peradilan, itulah yang diartikan sebagai hukum. Karl Llewellyn mengungkapkan apa yang diputuskan oleh seorang hakim tentang suatu persengketaan, adalah hukum itu sendiri. Hal yang sama diungkapkan oleh Salmond bahwa hukum dimungkinkan untuk didefinisikan sebagai kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh negara di dalam peradilan.

Seringkali pendapat yang beredar mengenai suatu peristiwa hukum maupun peristiwa konkret diperoleh dari analisa hukum yang tidak kuat, atau kerangka pikir yang dikembangkan kurang tepat bahkan menyesatkan. Terlebih lagi kalau perdebatannya terjadi di dalam penegakan hukum maka akan berdampak pada tidak adanya kepastian hukum.

Pemahaman bahasa hukum atau istilah-istilah hukum tertentu dan khas menjadi sebuah tugas khusus bagi manusia hukum terutama untuk menguraikan peristiwa hukum yang menjadi perhatian publik melalui produk jurnalistik, tidak  menyulitkan pembaca awam untuk memahami apa maksud sebenarnya, bahkan bisa jadi secara pragmatis mencerna dengan keliru.

Bahasa hukum itu berkorelasi dengan pemberitaan yang logis. Keliru memahami dan menggunakan istilah hukum yang tepat bisa berdampak baik kepada si jurnalis maupun kepada masyarakat. Contohnya, ketika jurnalis menulis ‘majelis hakim praperadilan memutuskan permohonan praperadilan ditolak’ hampir pasti kalimat itu tidak logis, karena pada dasarnya hakim praperadilan bukan majelis.

Suatu pemberitaan yang tidak sesuai dengan makna sesungguhnya dalam bahasa hukum tidak hanya dapat memberikan citra yang tidak baik bagi peradilan, lebih jauh lagi dapat menciderai martabat peradilan dan hukum.

Dengan adanya panduan istilah hukum dan penjelasannya, diharapkan penulis yang bukan orang hukum tidak menjerumuskan makna dan kepahaman atas suatu istilah hukum, perlu ada standarisasi dalam penulisan dan menjadi “pakem” yang harus diikuti dalam penulisan yang berkaitan dengan bahasa hukum.

Namun, apakah dengan adanya kamus hukum lalu bisa memudahkan pemberitaan dan secara kontekstual akan relevan?

Kekhususan Bahasa Hukum

Ilmu hukum (science of law/rechtswetenschap) adalah disiplin ilmu yang berdiri di atas kepribadian ilmunya sendiri (sui generis), oleh karenanya, ilmu hukum memiliki logikanya sendiri, yaitu logika hukum (logic of law/legal reasoning) dan untuk kebutuhan, kepentingan keberfungsian keilmuannya, maka ilmu hukum mempunyai bahasanya sendiri (language), yaitu bahasa hukum (law of language).

Bahasa hukum yang dipergunakan di Indonesia adalah bahasa Indonesia yang mengandung makna-makna dan simbol-simbol hukum baik dalam lalu-lintas bahasa ilmiah (wetenschappelijke taal), maupun dalam bahasa pergaulan (omgangastaal).

Bahasa hukum tidak boleh meninggalkan gramatikal tata bahasa, etimologi (ilmu asal-usul kata), semantik (ilmu arti kata) maupun sintaksis (ilmu tata kata) bahasa umum di Indonesia. Walaupun demikian tidak dimaksudkan agar Sarjana Hukum harus menjadi Sarjana Bahasa Sastra sekaligus, tetapi ia wajib mempergunakan segala sarana hardware (terutama kamus), maupun software (saran ahli) bahasa yang ada. [Purnadi Purbacaraka, Penerapan Disiplin Hukum dan Filsafat Hukum bagiPendidikan Hukum, Cet. Pertama, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), hal. 9.]

Soetandyo Wignjosoebroto, seorang sosiolog yang sangat disukai para ahli hukum karena perhatiannya dengan hukum dan HAM di Indonesia mengatakan, yang dimaksud dengan bahasa, bisa saja meluas sampai meliputi segala bentuk tanda-tanda atau isyarat. Pada akhimya set simbolisme bahasa (hukum) tersebut menjadi berarti melalui interpretasi para subyek (ahli) hukum. [Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalabnya, Cet. Pertama, (Jakarta: Penerbit ELSAM dan HUMA, 2002), hal. 225]

Oleh karena itu tampilah dalam proses ini peranan penting dari bahasa hukum, sebab tanpa bahasa makna hukum (yang terdapat didalam perundang-undangan) akan mustahil dapat dimengerti oleh masyarakat. [J.J. Bruggink, “Refleksi Tentang Hukum”, alih bahasa Arief Sidharta, Cet.Kedua, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 4]

Bahasa Hukum Untuk Peristiwa Hukum

Prof. Siti Chamamah saat memberikan keterangan sebagai ahli Bahasa dalam sidang pengujian UU Praktik Kedokteran di Gedung Mahkamah Konstitusi menyampaikan, hukum melalui undang-undang harus menunjukkan watak aslinya yaitu jelas, tegas, teratur dan terukur. Jangan sampai menggunakan bahasa yang rentan ditafsirkan berbeda oleh pembacanya.

Suatu bahasa peraturan perundang-undangan seharusnya menunjukkan alur pikiran yang beruntun. Di bagian kesimpulannya, Chamamah mengatakan meski tidak mungkin terhindar dari penerapannya namun potensi multitafsir harusnya diminimalkan dari memunculkan ketidakpastian, peraturan perundang-undangan harus mempertimbangkan kaidah bahasa, ragam bahasa resmi. Orang tidak bisa menafsirkan suatu istilah begitu saja menurut selera jika berhadapan dengan hukum.

Apalagi para orang terhormat di gedung parlemen yang secara utuh membuat perubahan karakter hukum yang tak ramah dan asing bagi bangsa yang diangkat dari wawasan keilmuan yang diperoleh bukan dari jiwa bangsanya.

Saat menjadi Ketua Komisi Yudisial, Busyro Muqoddas mengajukan satu pertanyaan kepada para calon hakim agung yang mengikuti seleksi. ‘Apa perbedaan peristiwa konkret dan peristiwa hukum? Dalam versi lain, pertanyaannya berubah menjadi, ‘lebih duluan mana peristiwa hukum atau peristiwa konkrit?’

Banyak kandidat hakim agung yang tak bisa langsung menjawab pertanyaannya. Istilah ‘peristiwa konkret’ dan peristiwa ‘hukum’ memang tak ditemukan dalam kamus-kamus hukum.

“Suatu istilah hukum memiliki makna tertentu dan terkadang membawa akibat hukum tertentu.”

Apakah dengan penyesuaian atau pembaruan UU kedalam bahasa Indonesia kemudian masalah selesai begitu saja? Tidak, karena bagaimanapun juga dasar daripada peristiwa hukum adalah peristiwa konkret, dan peristiwa konkret untuk dirumuskan kepada hukum membutuhkan kajian doktrinal serta teori dari banyak pendapat ahli dengan ragam asal bahasa teori hukumnya, banyak maxim hukum.

Pepatah hukum mengatakan, index animi sermo (speech is the index of the mind), artinya cara seorang berbicara menunjukkan jalan pikirannya.

Dalam dunia hukum, seorang Advokat hampir seperti halnya Hermes, menjembatani adanya kesenjangan antara bahasa dewa dengan bahasa manusia agar manusia dapat memahami apa yang dimaksudkan dewa, Hermes menterjemahkan kedalam bahasa yang dipahami oleh manusia di bumi. Hermes kemudian menjadi simbol seorang utusan untuk menterjemahkan dan memberikan pemahaman tentang sesuatu kepada manusia.

*Adv. Agung Pramono, SH., CIL.

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Presiden KAI: Mempertanyakan BAS Lawan di Pengadilan itu Tidak Sopan!
March 21, 2024
Gerak Cepat Pembentukan Dewan Kehormatan Pusat Organisasi Advokat
March 13, 2024
Solid! Presiden Kongres Advokat Indonesia Sambut Hangat Pimpinan-Pimpinan Nasional Organisasi Advokat di Menara Sampoerna
March 6, 2024
KAI Makin Mengukuhkan Diri Sebagai Organisasi Advokat Modern Berbasis Digital & Artificial Intelligence
January 30, 2024
tjoetjoe-sandjaja-hernanto-pengangkatan-dki-jakarta
Presiden KAI: Pilpres Sebentar Lagi, Ini Pilihan Saya!
January 30, 2024