Meeting of Mind hari ke-3 ditutup dengan tema RUU Advokat: Menuju Advokat Indonesia Berstandar Internasional pada Pukul 15.30 WIB – 17.30 WIB dengan narasumber Dr. Luhut MP Pangaribuan, S.H.,LL.M., Dr. Juniver Girsang, S.H.,M.H, Dr. Maqdir Ismail, Dr. Teguh Samudera, S.H.,M.H dan Dr. Ricardo Simanjuntak, S.H.,LL.M. yang dimoderasi oleh Ibu Rasida Siregar, S.H.
Gagasan-gagasan mengalir secara apik dan rapih tanpa perdebatan sama sekali, bahkan para senior tampak sekali dengan cantik saling mengisi, hal ini bagi penulis merupakan hal yang sangat dirindukan, dan ini terjadi dalam suasana yang heterogen, semua berada ditempatnya masing-masing akan tetapi mampu berbuat jauh lebih banyak dan maju dalam banyak langkah yang tidak hanya sekedar diskursus belaka, citra Advokat sebagai profesi yang mulia officium nobile sangat tampak dalam karakter multi-bar ini.
Penulis sengaja tidak mencatatkan secara runtut mengenai siapa saja yang mengawali sebagai pembicara sebab akan terkesan kaku dalam paparan tulisan ini.
Pandangan Atas RUU Advokat
Maqdir Ismail mereview tentang bagaimana apiknya pembatasan kepemimpinan organisasi Advokat di Jepang dan Amerika yang hanya 1 tahun dan di Filipina bahkan hanya dapat menjabat sebanyak 1 kali saja
Selanjutnya juga mengingatkan tentang belum ada parameter baik mengenai sanksi maupun pelanggaran yang dilakukan oleh seorang Advokat terutama dalam praktek yang tidak professional dan pelanggaran terhadap jabatan sehingga konsekuensi logisnya adalah urgensi keberadaan DAN (dewan Advokat Nasional) terutama dalam hal pengawasan terhadap Advokat dan sebagai lembaga yang menyusun standar pendidikan dengan kenyataan yang mesti kita terima atas berjalannya multi-bar ini.
Pemberhentian Advokat mestinya karena kejahatan profesi dan bukan didasarkan kepada kejahatan atau pidana umum, lebih lanjut diperlukan adanya akreditasi terhadap organisasi Advokat yang bilamana tidak dapat terpenuhi maka sebaiknya bergabung dulu dengan organisasi lainnya serta batasan usia atau batas atas seseorang untuk menjadi Advokat yang belum diatur.
Menurut Maqdir kita bisa benahi bersama poin-poin tersebut sambil menunggu RUU Advokat.
Selain itu, Maqdir Ismail, Juniver Girsang, Ricardo Simanjuntak dan Teguh Samudera pada intinya menyuarakan beberapa poin yang identik serupa yaitu soal kedudukan Advokat sebagai penegak hukum, mengenai pembatasan organisasi demi menjaga kualitas anggotanya, Advokat asing dapat melakukan praktek di Indonesia namun dengan pembatasan dan syarat mengenai area prakteknya, terciptanya Advokat Indonesia yang berstandar internasional, peningkatan kualitas Advokat, daya saing Advokat dengan rekan-rekan asing di dunia internasional dan permasalahan etika.
Luhut MP Pangaribuan memberikan pandangan umum terhadap kegiatan ini akan dibuat proceeding dan summary agar dapat menjadi diskusi bersama untuk menentukan tindak lanjut
Bahwa Mahkamah Konstitusi secara ekplisit mengatakan yang mana soal single atau multi bar merupakan suatu open legal policy yang artinya adalah menjadi kewenangan dari kita Advokat untuk bisa mengisi sesuai dengan apa yang kita inginkan
Single bar bukanlah pada kekuasaan akan tetapi terhadap standar profesi yang lebih banyak berjalan pada area pendidikan, pengawasan dan etika
Kode Etik Advokat Indonesia sudah menjadi standar kita bersama dan hanya 1 maka jika Dewan Kehormatan juga dibentuk bersama selesai lah masalah kita itu
Melanjutkan semangat deklarasi warung daun yang diinisiasi oleh (alm.) Fred Tumbuan yang mempertemukan 9 organisasi Advokat
Contoh Pembanding
Pembanding eksisitensi dan kinerja organisasi juga disampaikan Luhut dengan karakteristik legislatif yang merupakan kumpulan dari banyak fraksi yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur undang-undang, banyak wakil partai berkumpul disana sementara partai-partai tetap eksis diluar gedung parlemen dengan pola rekruitmen, keuangan, konstitusi dan pendidikannya masing-masing.
Demikian pula halnya terhadap terminologi single-bar, para Advokar senior yang menjadi narasumber dari beberapa organisasi Advokat ini saling bersepakat dan memahami bahwa konsepsi penyatuan tersebut tidak seharusnya pada domain kekuasaan melainkan terhadap standar profesi dan etik, menyangkut bidang pendidikan, pengawasan dan etika.
Tentunya ada hal yang penulis yakin sangat dapat dierima oleh kita ketika Yasona selaku Menkumham dalam dengar pendapat di DPR-RI juga menyampaikan wacana dan keinginannya mengenai kepentingan penyatuan atas standar profesi.
Konsepsi itu juga yang sering disebutkan dalam berbagai pertemuan sebagai gagasan Presiden Kongers Advokat Indonesia yaitu Tjoetjoe Sandjaja Hernanto dengan istilah single regulator.
Menanggapi Maqdir atas pernyataan konsep RUU Advokat, Luhut mengajak organisasi-organisasi Advokat untuk juga membuat naskah akademis tentang RUU Advokat yang akan diajukan bersama ke Badan Keahlian DPR-RI, yang mana selain Ikadin bahkan Kongres Advokat Indonesia pun sudah menyusun draft serupa.
Ketidakterbukaan
Luhut mengatakan bahwa amat disayangkan ketika Otto Hasibuan menyampaikan keinginan dan undangannya agar Luhut dan Juniver Girsang untuk hadir dalam Munas bersama namun dilain pihak Otto tidak memenuhi undangan meeting of mind ini yang dilayangkan baik melalui nomor pribadi, email bahkan hard-copy, menurutnya, bagaimana mungkin bisa saling berbicara di forum besar jika forum seperti ini saja tidak hadir, demikian kira-kira pendapatnya.
Sama dengan Mahkamah Konstitusi yang beberapa kali secara eksplisit mengingatkan kepada kita tentang ironi bagaimana para Advokat ini mampu menyelesaikan masalah orang lain atau klien akan tetapi tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.
Dalam sesi akhir ini terungkap bagaimana proses perdamaian antara beberapa organisasi Peradi ternyata dimulai lagi-lagi dengan tidak terbukanya pihak pemerintah sebagai fasilitator yang pada saat itu adalah Menkumham dan Menkopolhukam.
Bang Luhut Pangaribuan menceritakan bahwa sebenarnya saat itu Menkopolhukam memang menginisiasi perdamaian yang ditanggapi oleh Luhut dengan mengatakan bahwa beliau (Menko) tentunya sebagai menteri dari semua Advokat jadi menurut Luhut diluar Peradi ada beberapa organisasi Advokat lainnya maka alangkah baiknya bila turut mengundang semuanya.
Sayangnya Menko menjawab “iya, tapi ini saja dulu, kalo lainnya itu urusan nanti”, dalam kutipan bebas penulis yang pada intinya demikian.
Sebuah Cerita Lama
Diantara rangkaian pandangan penutup, Luhut Pangaribuan menyampaikan cerita yang kurang lebih sama dengan yang pernah penulis dengar secara langsung dari Presiden KAI, Tjoetjoe Sandjaja Hernanto (TSH) saat liburan di Bali akhir tahun lalu, beliau menceritakan bahwa dulu pada era sebelum tahun 1950-an di Jepang seseorang ditanya tentang apa pekerjaannya yang dijawab bahwa dia adalah seorang Advokat, dan si penanya kembali bertanya kepada Advokat tersebut, “apakah tidak ada pekerjaan lain yang lebih baik?”.
Bisa kita lihat sekarang bagaimana perkembangan Advokat di Jepang yang begitu dihormati, malah di Amerika seorang mahasiswa Hukum pun sudah dihormati bahkan ditakuti.
Memang cerita tersebut adalah sebuah anekdot sama halnya dengan pendapat Mahkamah Konstitusi tentang masalah Advokat di atas yang mestinya membuat kita Advokat berjuang bersama untuk kembali kepada marwahnya, menemukan rumusan kewenangan yang sebenarnya didalam kalimat officium nobile.