Setamat kuliah hukum di Belanda pada 1920-an, pengacara Mr Besar memilih pulang ke Indonesia. Membela masyarakat pribumi yang miskin dan lemah.
Melihat orang-orang pribumi yang menjalani persidangan Landraad (Pengadilan Negeri), hati Besar bergemuruh dan marah. Bagaimana tidak. Orang-orang pribumi yang menjadi terdakwa harus duduk di lantai, membungkuk dalam-dalam dan sangat ketakutan.
Besar menilai perlakuan kepada para terdakwa pribumi seperti itu sebagai bentuk penghinaan pengadilan terhadap orang Indonesia. Apalagi ketika itu banyak hakim dan jaksa banyak menggunakan Bahasa Belanda saat bersidang. Dengan kondisi seperti itu, membuat para terdakwa sulit menerima keadilan saat bersidang.
Ya, itulah Besar yang memiliki nama lengkap Besar Mertokoesoemo atau Mas Besar Martokoesoemo, geram dengan kondisi seperti itu ketika menjadi ambtenaar ter beschikking (pegawai yang diperbantukan) pada Ketua Pengadilan Negeri (Landraad) Pekalongan dan Semarang, Jawa Tengah, antara tahun 1915-1920. Sebelum bekerja di dua pengadilan itu, Besar memang lulusan Recht School (Sekolah Kehakiman) di Batavia tahun 1915.
Dalam buku Merajut Sistem Keorganisasian Advokat di Indonesia tulisan Lusia Sulastri dan Kurniawan Tri Wibowo (2020), disebutkan bahwa Besar merupakan seorang pengacara atau advokat pertama di Indonesia. Bahkan dalam bukunya Legal Evolution and Political Authority in Indonesia: Selected Essays (2000), Daniel S. Lev menggambarkan sosok Besar sebagai advokat yang sering membela terdakwa miskin dalam persidangan.
Selain itu, pakar politik asal Universitas Washington, Amerika Serikat, itu menyebut reputasi Besar cukup cemerlang, baik di dalam maupun luar negeri. Besar dianggap sebagai ahli hukum yang pertama kali ikut menyusun konsep sistem peradilan di Indonesia. Bahkan Lev mensejajarkan reputasi Besar dengan pengacara (advokat) peduli masalah Hak Asasi Manusia (HAM) Yap Thiam Hien.
Besar, yang lahir di Brebes, Jawa Tengah, 8 Juli 1894, merupakan putra Mas Soemoprawiro Soemowidjojo, seorang mantri gudang garam di Pemalang. Dilahirkan dari keluarga seorang priyayi, Besar bisa sekolah di Europeesche Lagere School (ELS setingkat SD sekarang) di Pekalongan. Lalu ia melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah ke Hogere Burger School (HBS) di Semarang. Di sini ia tak menamatkan sekolahnya, karena memilih masuk ke Recht School di Batavia.
Setamat sekolah di Batavia, Besar langsung bekerja sebagai pegawai di bagian kepaniteraan di Pengadilan Negeri Pekalongan. Lalu ia dipindahkan ke pengadilan di Semarang. Karena sering melihat kesewenang-wenangan pengadilan kepada para pesakitan asli bumi putera oleh hakim dan jaksa Belanda, Besar tergerak hatinya untuk melanjutkan studi sarjana hukum yang di masa kolonial bergelar Meester in Rechten (Mr). Ia ingin menjadi pengacara, dan tentunya dengan bergelar Mr.
Berangkatlah Besar ke Negeri Kincir Angin itu sekitar tahun 1919-1920. Ia berangkat menuju Universitas Leiden, Belanda, dengan bermodalkan biaya sendiri. Di sana Besar studi hampir empat tahun di Fakultas Hukum. Setelah lulus, Besar diberi dua pilihan, yaitu menerapkan ilmunya dan bekerja di Belanda, atau pulang ke Indonesia.
Besar memilih pulang ke Indonesia, apalagi sudah mengantongi gelar Mr-nya. Mereka yang memilih pulang rata-rata langsung bekerja di pengadilan. Tapi, Besar memilih membuka kantor firma hukum (advokat) di Tegal tahun 1923. Kala itu berprofesi sebagai advokat sering mendapatkan kecaman dan dianggap tak mentereng seperti jabatan di pemerintahan. Hal serupa dialami Besar, ayahnya yang seorang priyayi dan memiliki jabatan di pemerintah berupaya melarangnya menjadi pengacara.
Besar bergeming pada pendiriannya. Ia tetap bertekad untuk mengabdi membela masyarakat miskin dan lemah di pengadilan. “Kemungkinan Tegal dipilih, karena disitulah keluarga dan teman-temannya berada. Beberapa kantor advokat orang Belanda saat itu juga sudah berdiri di Tegal,” tulis Lev dalam bukunya itu.
Setalah kantor advokatnya di Tegal sukses, Besar membuka kantor baru di Semarang. Bahkan, di kota yang dijuluki ‘Kota Lunpia’ atau ‘Venesia dari Jawa’ itu, Besar merekrut sejumlah pemuda lulusan sarjana hukum untuk bekerja bersamanya. Di antara yang bergabung seperti Sastromulyono, Suyudi, dan lain-lain.
Dari catatan yang ada, Besar selain menjadi advokat juga terjun ke urusan politik. Ia pernah tercatat sebagai Ketua Boedi Oetomo cabang Tegal dari 1934 hingga 1939 dan Ketua Partai Indonesia Raya (Parindra) dari 1939 hingga 1940. Walau enggan bekerja di pemerintahan, namun karena keadaan mendesak, yaitu banyak jabatan di daerah yang kosong daat pendudukan Jepang, Besar mengambil jalur lain.
Awalnya Besar diangkat menjadi Walikota Tegal, Bupati Tegal lalu menjadi Wakil Residen Pekalongan. Saat perjuangan revolusi, bersama Residen Banyumas Iskaq Tjokroadisurjo, Besar berhasil mendapatakan banyak senjata dari militer Jepang dengan cara diplomatis. Senjata itulah yang digunakan oleh tentara Republik Indonesia saat itu.
Nasib apes pernah menghampiri Besar. Di masa Peritsiwa Tiga Daerah di akhir Agustus hingga Desember 1945, banyak priyayi dan keluarganya yang dianggap antek Belanda menjadi sasaran penculikan, penganiayaan dan pelecehan. Besar pun sempat menjadi sasaran penculikan kelompok pemuda berhaluan kiri bernama ‘Kutil’.
Tapi Besar selamat karena disembunyikan oleh pasukan Panglima Besar Sudirman. Setelah tiga bulan berada di dalam persembunyian, Besar baru berani menampakan diri. Besar juga dilibatkan dalam perundingan Roem-Royen di Jakarta pada 14 April 1949 dan Konferensi Meja Bundar di Den Haag mulai Agustus-November 1949. Besar saat itu menjadi tenaga ahli untuk delegasi Indonesia.
Setelah perang revolusi Indonesia usai, Besar diangkat menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Kehakiman oleh Presiden Soekarno. Pengangkatannnya dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 20 Tahun 1950 yang ditetapan dan diteken Soekarno pada 16 Januari 1950. Saat itu Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat dijabat oleh Soepomo.
Besar menjabat sebagai Sekjen Depkeh hingga akhir tahun 1958. Ia sempat menjadi Ketua Umum Persatuan Wredatama Republik Indonesia sejak 1965. Besar meninggal dunia pada 23 Februari 1980 dan dimakamkan di Taman Makam Giritama, Desa Tonjong, Kecamatan Kemang, Bogor. DETIK