Kebangkrutan bank terbesar kedua di Amerika Serikat sejak krisis keuangan 2008 baru saja terjadi. Pada Jumat lalu (10/3/2023), otoritas keuangan Amerika serikat (AS) menutup Silicon Valley Bank (SVB). Silicon Valley Bank yang merupakan salah satu bank terbesar di AS itu mengalami kebangkrutan usai terjadi aksi bank run dari nasabahnya. Setelah aksi tersebut, Silicon Valley Bank kolaps hanya dalam rentang 48 jam.
Namun, aksi bank run bukan jadi satu-satunya penyebab bank yang bermarkas di Santa Clara, California itu mengalami kejatuhan. Terdapat serangkaian penyebab Silicon Valley Bank bankrut. Selengkapnya, berikut adalah penyebab Silicon Valley Bank bangkrut.
Penyebab Silicon Valley Bank bangkrut
Sejak didirikan pada 1983, SVB memiliki spesialisasi layanan keuangan seperti deposito, pendanaan, serta pinjaman untuk perusahaan rintisan dan yang sudah mapan. SVB juga menyediakan layanan pengelolaan modal dari investor atau pemodal ventura.
Dalam hal penyebab Silicon Valley Bank bankrut, secara umum berkaitan dengan tiga peristiwa, yaitu kebijakan The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat) dalam menaikkan suku bunga secara agresif, krisis modal yang dialami SVB, dan aksi bank run. Penyebab Silicon Valley Bank kolaps bermula saat The Fed menaikkan suku bunga secara agresif untuk menanggulangi laju inflasi.
Perlu diketahui, selama masa pandemi kemarin (sekitar 2020), The Fed sempat memberlakukan kebijakan suku bunga nol persen. Kebijakan tersebut dapat membuat aktivitas belanja masyarakat meningkat yang menguntungkan para perusahaan, termasuk perusahaan teknologi. Banyak perusahaan teknologi yang akhirnya menyimpan uang di SVB. Aksi tersebut membuat nilai deposito atau simpanan di SVB ikut meningkat.
Lantaran punya simpanan yang melimpah, seperti bank-bank lain, SVB akhirnya melakukan investasi besar-besaran, terutama dalam obligasi jangka panjang. Dikutip dari The Guardian, investasi dalam obligasi jangka panjang itu turut menjadi pemicu kebankrutan Silicon Valley Bank.
Setahun belakangan, karena inflasi meningkat, The Fed akhirnya menaikkan suku bunga secara bertahap untuk menanggulangi laju inflasi. Kenaikan suku bunga itu mengikis harga atau nilai obligasi SVB dan juga bank-bank lain. Pada saat yang sama, ketika suku bunga naik dan membuat aktivitas belanja turun, banyak pemodal ventura mulai berhenti memberikan pendanaan ke perusahaan teknologi.
Akibat dana seret itu, para perusahaan teknologi pun berbondong-bondong menarik deposito yang tersimpan di SVB untuk membayar biaya operasional. Untuk memenuhi kebutuhan itu, SVB idealnya harus memiliki uang tunai. Lantaran telah digunakan untuk investasi dalam obligasi jangka panjang, SVB tak memiliki cukup banyak uang tunai. Akhirnya, mereka mulai menjual obligasi yang dimiliki senilai 21 miliar dollar AS atau setara Rp 323,9 triliun untuk mengatasi krisis modal.
Penjualan obligasi itu mengakibatkan kerugian setelah pajak sebesar 1,8 miliar dollar AS atau kira-kira Rp 27,7 triliun. Untuk menanggulangi kerugian itu, SVB berencana menjual saham baru senilai 2,25 miliar dollar AS atau sekitar Rp 34,7 triliun.
Pada 8 Maret lalu, SVB mengumumkan menjual saham senilai 1,75 miliar dollar AS (sekitar Rp 27 triliun). Sehari berikutnya, di 9 Maret, SVB mengumumkan bahwa uang nasabah aman setelah aksi jual obligasi dan saham untuk meningkatkan modal.
Pengumuman dari SVB tersebut menimbulkan malah kepanikan dan memicu fenomena bank run, kondisi di mana nasabah menarik uangnya dari bank (dalam hal ini adalah SVB) dalam jumlah besar dan cepat. Dikutip dari The Verge, bank run pun akhirnya terjadi dalam kurung waktu 48 jam setelah penjualan saham diumumkan SVB di 8 Maret.
Perusahaan modal ventura Founders Fund milik Peter Thiel menjadi yang pertama yang menarik portofolio atau aset investasi bernilai jutaan dolar AS dari SVB. Selanjutnya, banyak pemodal ventura atau investor yang mengikuti jejak Founders Found untuk menarik portofolionya dari Silicon Valley Bank, seperti Union Square Ventures dan Coatue Management.
Penarikan dana oleh nasabah dari SVB tidak dilakukan dengan nominal yang kecil. Menurut laporan The Verge, terdapat nasabah SVB yang melakukan penarikan deposito dengan nominal 42 miliar dollar AS deposito pada tanggal 9 Maret saja. Selang dua hari setelah pengumuman tersebut dan rentetan aksi bank run, bank yang sempat berjaya itu akhirnya harus menelan “pil pahit”.
Pada 10 Maret 2023, California Department of Financial Protection and Innovation memutuskan untuk menutup operasi SVB. Lalu, mereka menunjuk Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) untuk mengelola aset-aset SVB yang kolaps. Dikutip dari laman resmi FDIC, dalam rangka mengembalikan deposito yang diasuransikan ke nasabah, FDIC telah membuat badan khusus bernama Deposit Insurance National Bank of Santa Clara (DINB).
Pada saat penutupan, FDIC mentransfer semua deposito yang diasuransikan ke DINB. Lewat DINB, nasabah sudah bisa mengakses deposito yang diasuransikan paling lambat pada 13 Maret 2023. Sementara itu, deposito nasabah yang diasuransikan SVB ke FDIC nominalnya terbatas, yaitu hanya sampai 250.000 dollar AS (sekitar Rp 3,8 triliun).
Berdasarkan laporan lain, terdapat sekitar 90 persen deposito yang tidak diasuransikan ke FDIC pada Desember 2022. Namun, FDIC sendiri mengatakan bahwa jumlah deposito yang tidak diasuransikan masih belum ditentukan secara pasti. Untuk deposito yang tidak diasuransikan, FDIC akan membayar dividen di muka mulai minggu depan.
Nasabah dengan deposito yang tidak diasuransikan juga akan mendapatkan sertifikat penerima jumlah sisa deposito yang tidak diasuransikan. Ke depannya, FDIC bakal menjual aset SVB untuk membayar dividen ke nasabah dengan deposito yang tidak diasuransikan.
Sebagai informasi, menurut FDIC, per akhir Desember 2022, Silicon Valley Bank memiliki total aset sekitar 209 miliar dollar AS (sekitar Rp 3.210,4 triliun) dan total simpanan 175 miliar dollar AS (setara Rp 2.688,1 triliun).
Jalan panjang pengembalian deposito ini, terutama deposito yang tidak diasuransikan, disebut dapat mengganggu operasional perusahaan-perusahaan rintisan nasabah SVB. Dana perusahaan yang kadung tersimpan di SVB jadi sulit ditarik. Imbasnya, perusahaan rintisan nasabah SVB bisa terlambat membayar gaji karyawan, membayar sewa gedung, dan biaya operasional lain. KOMPAS