Ritual Kendi Nusantara yang dilakukan Presiden Joko Widodo di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara ramai dibahas masyarakat. Beberapa orang mengatakan hal tersebut kental dengan hal-hal berbau klenik.
Berikut ini pendapat sejumlah budayawan hingga antropolog terkait Ritual Kendi Nusantara. Prosesi penggabungan tanah dan air di titik nol Ibu Kota Negara (IKN), Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur dilakukan pada Senin (14/3/2022).
Kumpulan tanah dan air dari Sabang hingga Merauke itu disatukan ke dalam Kendi Nusantara oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Gubernur se-Indonesia.
Perwujudan Ibu Pertiwi
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Jawa Tengah Prof. Dr. Wasino berpendapat bahwa tanah dan air merupakan perwujudan dari ibu pertiwi. “Sehingga secara simbolis tanah dan air dibawa oleh seluruh gubernur di IKN sebagai wujud persatuan dan kesatuan Indonesia,” jelas Wasino kepada Kompas.com, Senin (14/3/2022).
Wasino juga mengatakan, prosesi penyatuan tanah dan air mengandung makna nasionalisme sebagai rasa cinta terhadap bangsa. “Jadi IKN bukan milik orang Kalimantan, bukan milik orang Jawa saja tapi milik seluruh bangsa Indonesia,” ungkap Wakil Dekan Akademik Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu.
Pihaknya menjelaskan bahwa prosesi tersebut memang lekat dengan tradisi Jawa seperti pada saat ritual pindah rumah. “Ada simbol tanah, air, dan kendi itu kan tradisi Jawa kalau mau pindahan rumah. Karena yang dipindah itu adalah ibukota maka harus dibawakan tanah dan air yang disatukan dalam sebuah kendi. Secara simbolik didukung oleh gubernur seluruh wilayah Indonesia,” jelasnya.
Ritual Kendi Nusantara simbolisasi tekad kuat
Sementara itu, budayawan dan pendiri Yayasan Langgar Irfan Afifi menilai, ritual Kendi Nusantara adalah simbol perwujudan tekad kuat terhadap sesuatu yang sedang dilakukan dan bukan bentuk klenik. “Itu kayak nalar pengetahuan lama. Kayak krentek (hasrat/keinginan kuat) hati, doa, yang kemudian diwujudkan lewat simbol,” ujarnya, sebagaimana dilansir Kompas.com (14/3/2022).
Menurut Irfan, ritual Kendi Nusantara berupa air dan tanah memiliki makna sumber kehidupan. Namun pada intinya, menurut Irfan, ritual tersebut merupakan perwujudan doa atas harapan agar IKN sebagai ibu kota negara baru bisa sukses. Irfan kemudian menganalogikan ritual Kendi Nusantara seperti tradisi doa bersama yang masih terjadi di tengah masyarakat.
“Agar doa kenceng, doa saya wujudkan dengan misalnya undang tetangga-tetangga, kemudian saya minta doa. Kemudian saya simbolkan keinginan saya itu (melalui doa bersama),” katanya. Irfan menambahkan, karena kehendak doa diwujudkan melalui simbol-simbol seperti doa bersama yang akan memperkokoh niat dan keinginan di dalam hati. Perwujudan harmonisasi kehidupan.
Dihubungi terpisah, antropolog Argo Twikromo menilai bahwa ritual Kendi Nusantara mengandung harapan perwujudan keharmonisan kehidupan bersama di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari partisipasi dan keterlibatan daerah-daerah melalui simbol tanah dan air yang dibawa masing-masing gubernur.
Sayangnya, menurut Argo esensi budaya seperti ini kerap kali kurang dipahami oleh masyarakat Indonesia. Padahal, seharusnya simbol seperti Kendi Nusantara dapat dilihat dari esensinya. “Esensi ini seringkali kurang dirawat dan dijaga, dilupakan, dibelokkan, atau dihancurkan oleh kita sendiri yang menggunakan logika-logika dari luar bumi Nusantara,” ujarnya.
Argo juga menambahkan, ritual Kendi Nusantara seharusnya dilihat dari kaca kearifan lokal yang harus selalu dijaga. Sebab, kearifan lokal merupakan kekuatan yang dimiliki bangsa. “Karena simbol itu kan kekuatan doa. Itu (ritual Kendi Nusantara) kebersamaan, partisipasi. Ada ikatan, solidaritas, harapan. (Dengan harapan) karena ikut partisipasi, kalau ada bahaya apapun ya selamat. Itu kan doa,” urai Argo.
Simbol pemersatu 34 provinsi Mengenai ritual Kendi Nusantara, Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono mengatakan bahwa ritual tersebut merupakan simbol pemersatu 34 provinsi di Indonesia menjadi satu Tanah Air.
Simbol tersebut juga terwujud dengan prosesi penyatuan tanah dan air yang dibawa oleh masing-masing gubernur dari daerahnya masing-masing. “Kita adalah Nusantara yang dari ujung Aceh sampai Papua dan kearifan lokal yang berbeda-beda dituangkan di dalam simbolis tanah dan air. Dijadikan satu menjadi satu menjadi kalimat Tanah Air,” ujarnya, dalam keterangan pers secara virtual, Minggu (13/3/2022), dilansir dari Kompas.com (14/3/2022).
Mengada-ada
Antropolog dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Kalimantan Selatan, Nasrullah, menganggap ritual Kendi Nusantara yang digelar Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada Senin, 14 Maret 2022, di titik nol kilometer Ibu Kota Negara adalah hal yang mengada-ada. Dia menyayangkan sikap Jokowi yang memilih ritual di luar kebudayaan suku Kalimantan itu.
“Entah dari mana ritual seperti itu dilakukan. Padahal jika kita bicara ritual, akan sangat terikat dengan masyarakat tempatan,” ujar Nasrullah dalam keterangannya, Selasa, 15 Maret 2022.
Alih-alih menggunakan ritual yang dianggapnya asing tersebut, Nasrullah menyarankan Jokowi memilih ritual Dayak atau Melayu. Nasrullah mengaku khawatir peristiwa Kendi Nusantara akan menjadi momentum penyeragaman kebudayaan via ritual dan atau ritual yang diada-adakan dalam acara prosesi kenegaraan/pemerintahan.
“Saya khawatir dimulai dari bentuk desain IKN, hingga ritual ini, jika nantinya tidak memiliki akar dengan kebudayaan setempat, maka IKN baik dari bangunan dan sistem pemerintahannya seolah-olah benda asing yang berdiri di tanah Kalimantan,” kata Nasrullah.
Heru mengatakan, tanah dan air yang sudah tercampur itu selanjutnya dituai ke lahan Otorita IKN di Kalimantan Timur. Di atas tanah tersebut selanjutnya ditanami bibit pohon ciri khas 34 provinsi di Indonesia.
Bukan Sikap Beragama Sesuai Islam
Majelis Ulama Indonesia Sumatera Barat (MUI Sumbar) menyesalkan sikap Gubernur Mahyeldi Ansharullah yang ikut membawa tanah dan air untuk ritual kendi Nusantara di Kalimantan Timur.
Ketua Umum MUI Sumbar Gusrizal Gazahar tidak setuju dengan ritual tersebut.
“Saya menyesalkan sikap Mahyeldi yang patuh begitu saja saat diperintahkan membawah tanah dan air ke IKN untuk ritual,” kata Gusrizal seperti dikutip dari JPNN Sumbar, Selasa (15/3).
Menurut Gusrizal, dalam ritual kendi Nusantara tersebut terkandung keyakinan yang tidak sesuai dengan ajaran akidah tauhid. “Saya khawatir masyarakat awam akan meniru sikap seperti itu,” katanya.
Pria bergelar Datuak Palimo Basa ini menjelaskan, ritual kendi Nusantara tidak bisa dilokalisasi masuk ke dalam ranah budaya semata. “Seluruh tindakan dan perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawabannya,” ujarnya.
Buya kelahiran Kabupaten Solok itu menilai ritual kendi Nusantara tidak bisa diterima dengan dalih simbolis ataupun alasan rasional lainnya. “Jelas sekali bahwa ritual itu memiliki landasan keyakinan yang bukan dari Islam,” kata Gusrizal lagi.
Dia pun mengingatkan Mahyeldi tetap berkomitmen mengenakan aforisme pengamalan adat dan Islam dalam masyarakat Minangkabau, yakni Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Filosofi Minang itu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai adat dilandaskan pada syariat dan syariat berlandaskan pada kitab Allah.
“Tak pantas ikut-ikutan membawa bagian tertentu dari tanah dan air di Sumbar. Itu bukan sikap beragama yang sesuai menurut Islam,” tutur Gusrizal. KOMPAS TEMPO WARTAEKONOMI