Sunyi dan gelap di sebuah dusun pada Kalurahan Banyuroto, Kapanewon Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, mendekati pukul 24.00 WIB. Seharusnya orang-orang sudah kembali ke peraduan untuk istirahat.
Tidak dengan Nurohman (33). Ia masih menatap layar monitor 15 inci dalam kamar 3×3 meter. Dahinya mengernyit, matanya menyipit lelah melawan sinar lembut layar monitor sekian lama.
Nur, panggilannya, duduk di kursi dengan sandaran lentur sejak tiga jam lalu. Berawal dari pesan dalam aplikasi Slack pada laptop 14 inci, samping monitor. Pesan itu muncul pukul 07.30 PM dan tertulis “Alert!”.
Slack aplikasi pengiriman pesan instan yang banyak dipakai pekerja kantoran. Nur membaca cepat pesan dalam aplikasi itu. Ia lalu mengarahkan panah kursor ke layar 15 inci. Sekelebat kemudian ia memilih aplikasi Grafana, klik, muncul software analis data dan monitoring, yang bisa membaca data metrics untuk kemudian mengubahnya jadi grafik atau data tertulis.
Di Grafana, Nur membaca grafik sebuah hard disk komputer yang berada sangat jauh dari tempat ia duduk. Grafik menunjukkan hard disk itu terpakai hingga 95 persen. “Saya harus memperbaikinya menjadi di bawah 90 persen,” kata Nur. Pemuda ini terlebih dulu memeriksa fluktuasi grafik pemakaian hard disk di monitor laptop.
Ia merasa grafik tidak bergerak kencang menandakan aplikasi sedang tidak ada yang menggunakan. Sesaat kemudian, ia kembali ke grafik hard disk dan menekan kursor. Singkat waktu hard disk pun di bawah 90 persen.
Menyusul kemudian masuk notifikasi Slack tertulis OK. Aplikasi akan berjalan mulus kembali. “Kalau tidak di-maintenance maka bisa berdampak pada aplikasi lain,” kata Nur.
Nur menceritakan, apa yang baru saja dikerjakan adalah terkait aplikasi usaha pada sebuah kafe di Singapura. Bisnis kuliner itu terhubung pada server sebagai penyimpan data.
Bila akan ada persoalan operasional pada aplikasi usaha kafe itu, otomatis komputer milik Nur menerima notifikasi untuk segera mengatasinya. Nur dimungkinkan membuka logs server. Ia lalu mencari masalah apa yang terjadi pada aplikasi.
Biasanya persoalan server overload. Akibatnya, perusahaan pengguna aplikasi merasa terhambat bekerja sehingga berujung komplain. Hal ini pernah terjadi dulu, di mana aplikasi kasir sebuah kafe Singapura tidak muncul di aplikasi manajer. Penggunaan CPU di kafe itu terlalu besar atau sistem otomatis tidak berjalan.
Aplikasi dalam kafe Singapura ini dikelola oleh perusahaan di mana Nur bekerja. Perusahaan itu bernama Consap Pte Ltd dan berkantor di Singapura. Nur mengungkapkan, ia mengerjakan setiap hari persoalan seperti ini. Nyaris tidak tidur karena pekerjaan menyita waktu. Tapi, yang dihadapi hari ini bukan masalah besar.
Ia bisa menyelesaikan hanya dengan mempertahankan kapasitas pemakaian hard disk di bawah 90 persen. Nur merupakan teknisi infrastruktur alias infrastructure engineer di perusahaan yang berkutat dalam internet of things (IoT). Perusahaan tempatnya bekerja merupakan perusahaan IT yang fokus pada engineering robotik dan otomatisasi.
Perusahaan yang berkantor pusat di Singapura itu menangani IoT, di antaranya smart home, smart hotel, dan smart airport. IoT merupakan jaringan antarperangkat dan peralatan yang terhubung satu dengan lain dan beroperasi secara otomatis tanpa campur tangan manusia secara langsung.
IoT memerlukan banyak data agar semua berjalan normal, seperti perubahan temperatur, suara, sentuhan, dan lain sebagainya. Data tersebut tersimpan pada cloud data center. Sensor dalam perangkat IoT bisa mengenali semua data itu. Manusia mengontrol beberapa perangkat dari jarak jauh melalui koneksi internet sesuai kebutuhan manusia itu sendiri.
“Misal lampu ini bisa berubah warna tanpa sentuhan manusia. Kita memberi perintah maka lampu berubah warna. Data suara, data warna, banyak data lain itu tersimpan dalam server. Melalui koneksi internet maka bisa beroperasi,” kata Nur.
Skill diutamakan
Nur mengungkapkan, bekerja di perusahaan asing tidak terbelenggu persyaratan bertele-tele. Perusahaan asing melihat skill atau kemampuan karyawan. Keahlian memiliki nilai tawar.
Perusahaan di mana ia bekerja memiliki sekitar 20-30 karyawan, beberapa di antaranya tersebar di berbagai negara. Klien perusahaannya dari berbagai negara, terbanyak di Singapura. Termasuk juga apartemen di Singapura hingga kafe.
Layanan mereka kompleks sesuai keinginan pelanggannya. Proyek IoT yang begitu banyak, tentu memerlukan penyimpanan data yang besar dan stabil. Nur bekerja menjaga keandalan semua server sebagai tempat menyimpan data itu.
Perusahaan menyewa server yang berada di beberapa data center atau pusat data di beberapa negara, utamanya Singapura. Nur mengontrol server itu dari desa pinggiran Kulon Progo. Ia mengendali dari dalam kamarnya. Tidak mengenal waktu, bahkan hingga malam selarut ini. Tempat dirinya bekerja adalah kamar mungil 3×3 meter dengan dinding plester kasar, tidak dihaluskan. Langit-langit terbuka.
Bila mendongak ke atas langsung menatap genting yang kisi-kisinya bisa jadi celah sinar dari luar masuk ke kamar. Langit-langit kamar itu ditutup seadanya dengan plastik. Karenanya, jelaga dan debu dari genting jatuh ke plastik dan menyisakan tampilan tembus pandang langit-langit yang kotor.
Ruangan kamar ini memang belum sempurna selesai, namun kondisinya lebih bagus daripada kondisi keseluruhan rumah. Rumah Nur sekitar 48 meter persegi. Separuh rumah, mulai dari kamar tidur hingga ke kamar tamu dan teras, berdiri dari batako yang belum diplester. Sebagian lagi, yakni bagian dapur, masih berdinding anyaman bambu lusuh dan lapuk.
Hanya kamar yang ditempati Nur yang berlantai keramik putih sehingga terkesan bersih. Sementara yang lain lantai semen kasar. Dalam kamar Nur ini terdapat meja dengan satu monitor dan satu laptop. Dinding di dekat meja menggantung instalasi WiFi dan hub sentral yang membagi Wifi ke beberapa rumah tetangga. Tidak ada kasur apalagi dipan dalam kamar. Hanya tikar plastik menghampar di lantai keramik putih.
“Di sini (tikar) saya tidur atau di kursi. Di meja ini saya lebih banyak aktivitas,” kata Nur. Nur mengendalikan secara remote atau dari jarak jauh. Ia mengendalikan server dalam beberapa data center agar tetap aman dan lancar dimanfaatkan.
Perusahaan IT tempat ia bekerja bahkan menyewa sekitar 50 – 70 server yang ada di Singapura. Sebelumnya, ada di berbagai negara di Eropa hingga Amerika. Karena persoalan kestabilan dan keamanan data center, maka mereka memindahkannya ke Singapura. Pekerjaan mengendalikan server itu rupanya menyita waktu hidupnya. Tidak seperti orang kebanyakan. Nur baru bisa tidur saat siang, malam begadang. “Tidur enam jam itu sudah luar biasa,” kata Nur.
Pemuda ini mengakui, pekerjaan seperti ini sedikit banyak mempengaruhi kesehatannya. Selain itu, ia jadi hampir tidak keluar kamar. Tidak bersosialisasi dengan tetangga. Warga Kulon Progo menjunjung tinggi adat kerukunan dengan saling silaturahmi dalam banyak kegiatan, Nur mengaku tidak sempat melakoni hal serupa.
“Keluar kamar atau rumah karena menghilangkan lelah saja,” kata Nur. Paling tidak ia baru bertemu warga ketika shalat Jumat. Kebetulan masjid ada di ujung jalan rumahnya.
Pergunjingan
Pekerjaan yang tidak biasa ini membuat Nur sering jadi pergunjingan. Mulai dari disebut pegangguran, tukang begadang bahkan disebut asosial karena tidak pernah ikut kerja bakti dan gotong royong kampung. Gunjingan itu ia rasakan karena dari keluarga miskin.
Dikiranya, anak miskin seperti dia hanya berkurung diri dalam rumah, tidak cekatan bekerja keras, tidak berpeluh dan berbau matahari, lebih kelihatan sebagai penganggur, dan tidak membantu orangtua yang berat menjalani hidup. Untuk mengurangi gunjingan, Nur sesekali ikut pertemuan para pemuda belakangan ini. “Sampai dikira kerja ghaib,” katanya.
Sebaliknya, pekerjaan Nur dimaklumi Sanikem, ibunya. Ia tahu kalau sehari-hari anaknya hanya main komputer, tidak keluar rumah. Menurut dia, itu hal biasa, yang penting main komputer tetap bisa menghasilkan uang. “Tahunya Nur itu ya main-main internet gitu saja,” kata Sanikem. Ia bersyukur anaknya bisa menghasilkan uang sendiri. Bahkan, dengan kemampuannya bisa membantu merenovasi rumah.
Uang dari Nur dan bantuan pemerintah dipakai untuk membangun rumah mereka. Dulunya, rumah itu gedhek dan kayu lapuk. Mereka masih sempat merasakan lingkungan rumah yang lembap. Rumah renovasi berdiri meski baru separuhnya dari batako pada 2021. Namun, sebagian rumah bambunya masih dipertahankan sebagai dapur. “Rumah ini usaha Nur juga. Dapat bantuan pemerintah untuk bedah rumah, tapi tidak bisa seperti ini kalau tidak ditambahi Nur,” kata Sanikem.
Luka itu masih menganga dalam hati suami istri Sunardi (66) dan Sanikem (56) yang hidup di sebuah dusun pada Kalurahan Banyuroto, Kapanewon Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak terobati sejak anak kedua mereka ditemukan meninggal diselimuti misteri pada 2014.
Sunardi yang patah hati lebih banyak diam. Ia sering ditemukan melamun di lahan tempat mencari pakan sapi sejak kematian Nurohim, anak keduanya. Sanikem tampak lebih tegar, sekokoh tangannya yang besar layaknya buruh serabutan. Ia tetap jualan tempe benguk dua kali dalam satu pekan demi menghasilkan Rp 50.000 – 100.000 sekali turun jualan di pasar.
Sanikem juga masih buruh lepas usaha produk kerajinan serat alam dengan upah Rp 800 per satu set keranjang yang dirapikan olehnya. Begitu sulit melupakan kenangan pahit itu. Terlebih, demi mengungkap kepastian kematian Nurohim, anak kedua mereka. Mereka rela utang dengan jaminan tanah dan rumah.
“Sekitar Rp 60 juta. Tanah ini dijaminkan,” kata Nurohman (33), anak pertama Sunardi – Sanikem. Nur, panggilannya, memperbaiki posisi kakinya yang bersila, sebelum melanjutkan cerita. Ia menegakkan dada, mencoba menata suara agar hilang serak, lalu cukup berhasil menceritakan dengan runtut di tiap hela nafasnya.
Uang pinjaman banyak tersedot terkait kematian Nurohim di 2014. Media saat itu memberitakan, adiknya mati dengan luka berat, jauh dari rumah. Sayang, kasus itu tidak berujung, menyisakan utang yang sulit dilunasi. Sunardi-Sanikem menelan pil pahit kasus itu tanpa kejelasan.
Ketika itu, Nur belum punya penghasilan tetap.
Kerja keras
Ia sambil mengingat kembali jasa orangtua. Meski dari keluarga miskin, suami istri itu susah payah mencari uang demi sekolah ketiga anaknya. Terutama Nur yang membutuhkan biaya cukup banyak untuk sekolah di jurusan Teknologi Informasi pada Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Pengasih. Pemuda ini haus pada keingintahuan terkait dunia jaringan dan pemrograman.
Di kelas satu, Nur sudah menarik kabel dan membuat jaringan komputer dari ruang guru. Sementara teman sebayanya masih berkutat belajar install software dan merakit komputer. Kelas dua, ia mendalami bahasa Inggris dari seorang native speaker asal Lithuania. Nur pula yang memperbaiki komputer si bule.
Sepanjang tiga tahun sekolah membutuhkan biaya banyak. Mulai dari ongkos pulang pergi sekolah, belajar program, beli disket, flashdisk, bahkan membuat program untuk tugas akhir. Nyaris setiap hari nongkrong di warung internet (warnet) untuk belajar dari pengelola warnet, baik belajar jaringan kabel, berselancar berjam-jam di dunia maya untuk mengisi rasa haus dunia jaringan IT hingga belajar hacker. Karena semua itu, kebutuhan biaya jadi bengkak.
“Simbok berutang. Sekolah kejuruan itu butuh biaya besar. Sementara orangtua tidak punya pekerjaan tetap. Saya kadang minta (untuk kebutuhan sekolah), biaya itu konsekuensi kesasar ke dunia komputer,” kata Nur.
“Biaya warnet empat lima jam. Sementara adik sekolah utang juga,” kata Nur. Semua berlangsung sampai Nur lulus dan mengawali mencari pekerjaan. “Sementara bekerja di perusahaan ISP (internet service provider) belum menghasilkan dan tidak bisa memberi (untuk orangtua dan keluarganya),” kata Nur. Nur terus mencoba peruntungan. Ia bekerja di beberapa perusahaan ISP. Naik turun tower telekomunikasi.
Bahkan demi memasang tower merantau ke Samarinda, Kalimantan Timur. Nur selepas remaja masih jiwa pemberontak. Karenanya ia tak betah lama bekerja di satu usaha dan sering tidak cocok dengan pemilik usaha. Suatu waktu cobaan berat datang. Adiknya tewas tanpa kejelasan sebab. Usaha kedua orangtuanya begitu hebat demi mencari tahu kenapa Nurohim mati, bahkan rela menggadai rumah.
Awalnya freelance
Perkenalan dengan seseorang bernama Samuel, orang Singapura berdarah Malaysia, mengubah masa depan. Awalnya Nur bekerja freelance pada Samuel. Pertemuan tahun 2014 itu terus berlanjut pada berbagai proyek Internet of Things (IoT) di beberapa negara, terutama Singapura.
Nur bekerja dari jauh, dipercaya mengontrol kebutuhan perangkat keras dan lunak, memastikan semua perangkat terpasang, lalu Nur mengendalikannya dari jauh. Ia mengendalikan secara remote.
Usaha Samuel maju. Nur bergabung dengan Samuel dalam perusahan Consap Pte Ltd dengan kantor pusat di Singapura. Usahanya terkait Internet of Things (IoT). Nur mendapat posisi sebagai engineering maintenance di perusahaan itu.
Kini, ia bekerja jarak jauh mengelola lebih 50 server di berbagai negara. Server itu untuk melayani perusahaan yang berlangganan pada perusahaan dan grupnya. Bekerja di perusahan asing, Nur mengaku gajinya tidak lebih besar dari gaji PNS golongan 3A. Namun, penghasilan itu masih mampu membiayai semuanya, termasuk membalas budi usaha kedua orangtua yang menyekolahkan dirinya.
Bayar utang
Ia juga mengambil alih semua utang Sanikem. Utang bank beralih padanya. Nur jadi tulang punggung untuk menebus utang keluarga. Semua untuk membuat Sunardi dan Sanikem lebih tenang, tidak kepikiran kasus yang mengiris hati mereka. “Sampai sekarang pun (utang itu) belum lunas,” kata Nur.
Tidak hanya itu. Nur mengubah suasana rumah, yang tadinya rumah suram karena berdinding gedhek atau anyaman bambu, kini berubah jadi rumah batako meski baru sebagian dan belum diplester dan cat. Salah satu kamar dijadikan kantor jarak jauh bagi Nur.
Rumah mereka luasnya 56 meter persegi. Seluas separuh sudah menjadi dinding batu batako. Pembangunan rumah merupakan bantuan pemerintah bagi keluarga miskin lewat program BPSP dari Kementerian Pekerjaan Umum pada 2020.
“Uangnya ditambahi Nur. Kalau saya tidak mampu,” kata Sanikem. Separuh dari rumah lama berupa kayu dan bambu masih tersisa seluas 30 meter persegi. “Kadang adik (ketiga) minta sesuatu, saya beri. Tapi sekolah masih yang menanggung Simbok,” kata Nur. Sambil berbicara, kadang Nur mengerjap atau sering berkedip tidak seperti biasa. Setiap kerjap tampak lebih keras sehingga menimbulkan kerut di ujung mata dan dahi.
Mereka semua hidup di rumah sederhana pada sebuah dusun di Kalurahan Banyuroto. Tidak jauh dari jalan tembus Wates – Magelang. Sementara, Sanikem tetap bekerja seperti sedia kala. Tangannya yang kekar tetap bekerja dan tidak menyerah meski situasi keluarga seperti ini.
Walau begitu, mereka menikmati hidup baru, semangat baru, melupakan pahit masa lalu, menatap masa depan. Nur masih berjuang sampai sekarang untuk kehidupan keluarganya. Sementara banyak anak muda berusaha keras untuk mewujudkan impiannya, sejauh itu pula sebagian usaha dipamerkan ke media sosial.
Sementara, segelintir orang berusaha keras dengan semangat menenangkan hati luka kedua orangtuanya. Menanggung bebannya lalu sambil berusaha untuk mewujudkan kehidupan lebih baik. Tidak menyerah dan berpikir positif, cukup baginya. KOMPAS