Okezone.com – Pada akhir Oktober 2014, publik diramaikan pemberitaan mengenai ditangkapnya seorang pemuda bernama Muhamad Arsyad alias Imen (MA) oleh Bareskrim Mabes Polri terkait penghinaan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Penasihat hukum Muhamad Arsyad, Irfan Fahmi, mengatakan kasus ini menjadi perhatian publik dan dikenal di kalangan netizen, khususnya pengguna Twitter, dengan hastag #SaveTukangSate, karena terkait profil tersangka yang menjadi ‘juru kipas’ di warung makan sate di kawasan Kramat Jati, dan hanya lulusan SD.
Dalam menghadapi kasus ini, lanjut Fahmi, tersangka maupun sang ibu kandung Arsyad yakni Mursidah sejak semula bersikap mengedepankan pengakuan bersalah dan memohon maaf kepada Presiden Jokowi.
Kemudian pada Sabtu 1 November 2014, upaya keluarga tersangka memohon maaf kepada Presiden Jokowi terkabulkan. Pada hari itu, atas undangan Presiden Jokowi, kedua orangtua Arsyad menghadap dan bertemu di Istana Negara.
Fahmi menambahkan, telah diketahui publik bahwa pada hari itu Presiden Jokowi menyatakan memaafkan, serta menjamin Arsyad akan keluar dari tahanan Mabes Polri. Selanjutnya, penahanan Arsyad ditangguhkan pada Senin 3 November 2014 oleh Mabes Polri dan dibebankan ‘wajib lapor’ selama dua kali dalam seminggu ke Bareskrim Mabes Polri.
“Sekira pertengahan Januari 2015, kami tim penasihat hukum mendapatkan informasi bahwa berkas perkara yang dilimpahkan oleh Bareskrim telah dinyatakan lengkap (P-21) oleh Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Agung RI,” ungkap Fahmi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (19/2/2016).
Atas informasi itu, Fahmi pun sudah mengirim surat kepada Jaksa Agung HM Prasetyo pada 4 Februari 2015 untuk memohon agar penanganan perkara pidana terhadap Arsyad ‘diselaraskan’ dengan sikap Presiden Jokowi yang telah memberikan maaf.
Hingga April 2015, Fahmi mengaku belum ada tanggapan dari Jaksa Agung terkait kasus Arsyad dan proses perkara pidana tersebut juga belum ada ‘tanda-tanda’ akan dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.
“Tersangka tetap masih ‘bolak-balik’ ke Bareskrim untuk menjalani wajib lapor, oleh karena belum ada pelimpahan berkas perkara dan tersangka (tahap II) oleh penyidik kepada jaksa penuntut umum (JPU),” paparnya.
Fahmi menerangkan, pada Mei 2015 sempat kehilangan kontak dengan Arsyad dan keluarga, karena yang bersangkutan pindah rumah. Namun sebulan terakhir ini, kembali berkomunikasi dengan Arsyad dan mendapatkan informasi bahwa dirinya masih menjalani wajib lapor ke Bareskrim.
“Meskipun belakangan sudah tidak rutin seminggu dua kali, terkadang ibu kandungnya datang ke Bareskrim untuk mewakilinya hadir di Bareskrim,” tegasnya.
Kebijakan ‘wajib lapor’ yang ternyata terus diberlakukan kepada Arsyad serta belum ada kepastian pelimpahan perkara pengadilan ataupun perkara dihentikan atau dikesampingkan (deponeering), membuat nasib status tersangka “digantung” dan menjadi tidak jelas serta hanya membebani ketenangan hidupnya yang saat ini tengah mencari nafkah untuk membantu kehidupan orangtuanya.
“Kami sangat tidak memahami alasan yang mendasari sikap Jaksa Agung yang hingga hari ini menggantungkan nasib status tersangka Arsyad,” pungkasnya.
(Kongres Advokat Indonesia)