Kai.or.id – Jaksa Agung M Prasetyo mengatakan, pihaknya selalu bekerja sesuai koridor hukum dan peraturan perundang-undangan dalam memproses tindak pidana terutama yang melibatkan anggota DPR agar tidak menimbulkan kegaduhan.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU XII/2014, Mahkamah Konstitusi telah merekonstruksi mekanisme pemeriksaan Anggota DPR, MPR, DPD dan DPRD yang sebelumnya dimuat dalam UU MD3.
Semula, berdasarkan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Mahkamah Kontitusi kemudian membuat keputusan bahwasanya pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.
Menanggapi hal itu, pakar hukum pidana Prof. Syaiful Bakhri mengatakan, memang jika penegak hukum ingin melakukan pemeriksaan atau panggilan terhadap pejabat negara harus mendapat izin dari Presiden.
Selain sudah menjadi ketetapan MK, Syarat pemeriksaan ini juga tertuang dalam konstitusi negara pada pasal 1 ayat 3, Indonesia adalah negara hukum, bukan kekuasaan.
“Jadi ketika dugaan pidana korupsi yang dilakukan penyidikan, penyidikan itu ada ketentuan terhadap pejabat negara untuk minta proses perizinan yang sifatnya administratif,” kata Syaiful saat dihubungi, Selasa (17/10/2017).
Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta itu menambahkan, pasalnya jika seorang anggota DPR atau pejabat negara dipanggil untuk kepentingan proses hukum, hal itu dapat menganggu kinerjanya.
“Ketika dilakukan proses panggilan saksi kan dapat mengganggu posisinya dan kinerjanya sebagai pejabat negara, pejabat publik, maka gangguan itu minta ijin kepada presiden,” pungkasnya.