Keabsahan SP3 Sebagai Alat Bukti Pengaduan Fitnah

Keabsahan SP3 Sebagai Alat Bukti Pengaduan Fitnah

Hukumonline.com – Sebelumnya, perlu saya jelaskan terlebih dahulu mengenai dasar hukum diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (“SP3”) di tingkat penyidikan, yaitu Pasal 109 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):

“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.”

Selanjutnya, ada baiknya kita mengetahui definisi dari Penyidikan dan Tersangka menurut KUHAP, yaitu:

Pasal 1 angka 2 KUHAP:

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Pasal 1 angka 14 KUHAP:

Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”

Berdasarkan uraian dari Pasal 1 angka 2 KUHAP dan Pasal 1 angka 14 KUHAP tersebut di atas, maka penetapan seseorang sebagai tersangka dalam suatu dugaan tindak pidana oleh penyidik adalah harus dilakukan dengan cermat dan penuh kehati-hatian, yaitu harus adanya “bukti permulaan yang cukup”.

KUHAP sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas mengenai “bukti permulaan yang cukup”, namun jika kita mengacu pada ketentuan Pasal 183 KUHAP, maka “bukti permulaan yang cukup” tersebut dapat diartikan sebagai sekurang-kurangnya terdapat 2 (dua) alat bukti yang sah menurutPasal 184 ayat (1) KUHAP.

Dalam menghentikan suatu penyidikan, maka penyidik akan mengkaji syarat-syarat penghentian penyidikan yang sudah ditentukan dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu dalam hal:

1.    Tidak terdapat cukup bukti

2.    Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana

3.    Penyidikan dihentikan demi hukum:

a.    Terdakwa meninggal dunia (Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP)

b.    Perkaranya nebis in idem (Pasal 76 KUHP)

c.    Perkaranya kedaluwarsa/verjaring (Pasal 78 KUHP)

d.    Pencabutan perkara yang sifatnya delik aduan (Pasal 75 KUHP, Pasal 284 ayat 4 KUHP)

Produk hukum yang dikeluarkan Penyidik adalah Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diberitahukan kepada Penuntut Umum, tersangka/keluarganya dan pihak pelapor. Atas diterbitkannya SP3 tersebut, maka Pasal 80 KUHAP mengatur bahwa penyidik, penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan Praperadilan.

Menjawab pertanyaan Anda, maka suatu SP3 tidak serta merta dapat dijadikan alat bukti bagi yang dituduh/dilaporkan untuk melakukan tuntutan balik atas fitnah dan pemberitaan palsu sebagaimana dimaksud Pasal 317 KUHP. Adapun argumentasi hukum dari pendapat penjawab tersebut adalah karena adanya asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang sangat dijunjung tinggi dalam KUHAP (vide Penjelasan Umum KUHAP) dan sifat penyidikan (opsporing) yang tertutup dan seharusnya tidak terbuka untuk umum.

Jadi, sah-sah saja bagi seseorang untuk melaporkan adanya suatu “dugaan” tindak pidana yang belum tentu terbukti kebenarannya. Namun demikian, dalam hal ini peran dan tanggung jawab penyidik adalah sangat besar dalam melakukan penyidikan dan sekaligus untuk menentukan apakah sudah ada bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Sebagai contoh yang sering terjadi dalam masyarakat adalah sengketa utang piutang yang dilaporkan sebagai dugaan tindak pidana penggelapan atau penipuan. Mahkamah Agung sudah memberikan penegasan sikapnya melalui Yurisprudensi MA No. 93 K/KR/1969, tanggal 11 Maret 1970, dengan kaidah hukum, sebagai berikut: “Sengketa Hutang Piutang merupakan sengketa Perdata”. Hal ini merupakan salah satu alasan untuk menerbitkan SP3, yaitu Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana.

Di samping itu, KUHAP sebagai hukum formil untuk menegakkan KUHP (hukum materiil), sudah mengatur mengenai mekanisme ganti rugi dan rehabilitasibagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (vide Pasal 77 ayat [2] KUHAP Jo. Pasal 95 ayat [1] KUHAP.

Demikian jawaban saya. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan untuk Anda.

Dasar hukum:

1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2.    Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024