Kai.or.id – Mahkamah konstitusi menegaskan bahwa pembatasan peninjauan kembali (PK) hanya dapat dilakukan satu kali dalam perkara selain pidana.
Pembatasan peninjauan kembali hanya satu kali dalam perkara selain pidana, termasuk perkara perdata, sebagaimana yang diatur Pasal 66 ayat 1 UU MA dan Pasal 24 ayat 2 UU Kekuasaan Kehakiman.
“Pembatasan ini adalah konstitusional,” ujar Hakim Konstiusi I Dewa Gede Palguna membacakan pendapat Mahkamah di Gedung MK Jakarta, Rabu (20/9) dilansir dari republika.co.id
Hal ini sesuai dengan Putusan MK Nomor 108/PUU-XIV/2016 yang menerangkan berbeda halnya dengan peninjauan kembali dalam perkara pidana yang tujuannya adalah untuk mencari kebenaran materiil serta perlindungan HAM dari kesewenang-wenangan negara, terutama yang menyangkut hak hidup dan hak-hak fundamental lainnya.
Sehingga Mahkamah melalui Putusan a quo menegaskan bahwa untuk perkara pidana harus ada perlakuan yang berbeda dengan peninjauan kembali bagi perkara lainnya.
Sementara itu, mengutip Putusan Mahkamah Nomor 108/PUU-XVI/2016, Hakim Konstitusi Palguna menyebutkan apabila dibuka keleluasaan untuk mengajukan PK lebih dari satu kali untuk perkara selain pidana, maka akan mengakibatkan penyelesaian perkara menjadi panjang bahkan tidak akan pernah selesai, sehingga pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Oleh karena ternyata Pasal 24 ayat 2 UU Kekuasaan Kehakiman yang dimohonkan a quo telah pernah diputus oleh Mahkamah, dengan demikian permohonan pemohon a quo adalah ne bis in idem,” ucap Hakim Konstitusi Palguna.
Perkara ini diajukan oleh I Gede Gatot Binawarata yang merupakan perseorangan warga Indonesia yang merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya untuk mendapatkan putusan yang adil dari Mahkamah Agung dengan berlakunya Pasal 23 ayat 2 UU Kekuasaan Kehakiman terkait batas pengajuan PK.
Atas permohnan pemohon, amar putusan Mahkamah menyatakan tidak dapat menerima Permohonan pemohon untuk seluruhnya, karena pengujian dalam permohonan pemohon pernah diputus sebelumnya.