Kai.or.id – 13 tahun lalu aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib tewas saat menumpangi pesawat Garuda Indonesia nomor penerbangan GA974, dalam perjalananya menuju Amsterdam, Belanda
Ia diduga tewas setelah menenggak minuman yang telah diberi racun arsenic pada tanggal 7 September 2004.
Hingga saat ini belum diketahui fakta yang mengungkap secara pasti mengenai kronologi kematian Cak Munir. Namun, sejumlah dugaan menyebut bahwa Munir diracun dalam perjalanan Jakarta – Singapura atau bahkan saat berada di Singapura.
Dilansir dari dokumen Harian Kompas yang terbit pada 8 September 2004, Indikasi bahwa Munir diracun memang terlihat setelah pesawat lepas landas meninggalkan Bandara Changi yang menjadi tempat transitnya.
Tidak lama setelah hasil autopsy keluar, pengusutan terhadap kasus pembunuhan Munir pun dilakukan. Dalam perjalanannya, kemudian muncul nama pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto, sebagai orang yang dianggap sebagai pelaku pembunuh Munir.
Pengadilan sudah menjatuhkan vonis 14 tahun penjara terhadap Pollycarpus yang saat peristiwa terjadi disbut sedang cuti.
Namun, sejumlah fakta yang terungkap memperlihatkan sejumlah kejanggalan yang belum terungkap, termasuk yang diperlihatkan dalam film documenter Garuda’s Deadlly Upgrade (2005) yang diproduksi jurnalis Australia David O’Shea dan Jurnalis Indonesia Lexy Rambadeta.
Dikutip dari putusan Mahkamah Agung (MA) nomor 133 PK/Pid/2011 yang membebaskan Pollycarpus, diketahui laki-laki kelahiran Solo tahun 1961 itu memang sudah mengincar Munir. Ia bahkan sempat menelpon istri Munir, Suciwati, untuk memastikan jadwal penerbanagn Munir. Lalu mengubah jadwal pribadinya, agar bisa satu penerbangan dengan korban.
Pertama kali Pollycarpus menyapa Munir saat di koridor yang menghubungkan ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta, dengan pintu pesawat, saat keduanya hendak masuk ke dalam pesawat. Ia bertanya ke Munir, dimana ia duduk dan dijawab oleh Munir kursinya ada dikelas ekonomi nomor 40 G.
Dalam perjalanan menuju pesawat, Pollycarpus menjelaskan bahwa kursi 40 G ada dibagain belakang pesawat. Ia kemudian menawarkan ke Munir duduk di kursinya, di kelas bisnis nomor 3 K dan tawaran tersebut disambut baik oleh Munir. Keduanya alu berangkat ke kelas bisnis.
Di dalam pesawat Pollycarpus memberitahukan perubahan nomor kursi Munir ke kepala kru kabin atau purser, Brahmanie Hastawati, perempuan tersebut lalu menyambangi Munir dan menyapanya, lalu mempersilahkan Munir duduk.
Sebelum pesawat tinggal landas, setiap penumpang kelas premium disuguhi minuman selamat datang. Pramugara bernama Oedi Irianto yang menyiapkan minuman berupa anggur dan orange juice di pantry pesawat. Saat sang pramugara tengah menyiapkan minuman, Pollycarpus datang dan menaburi racun ke gelas yang berisi jus dengan asumsi Munir tidak akan menenggak Anggur.
Dari pantry, minuman yang telah ditaburi racun dibawa oleh pramugari bernama Yeti Susmiarti.perempuan itu membawa dua gelas anggur dan dua gelas orange juice yang dua-duang sudah ditaburi racun, dengan sebuah baki. Ia kemudian menyambangi tempat duduk Munir di kursi bernomor 3 K. dugaan Pollycarpus akhirnya terbukti, bahwa Munir memilih orange juice.
Saat peristiwa itu terjadi, Pollycarpus tidak berada di dekat Munir, melainkan berada di depan pantry, tidak jauh dari bar untuk kelas bisnis. Ia mengawasi dari jauh apa yang dilakukan Yety Susmiarti dan menyaksikan langsung bagaimana Munir menenggak habis jus yang telah ditaburi racun itu.
Dosis yang ditaburi oleh pelaku tidak langsung membuat Munir mati. Ia masih bernyawa saat pesawat singgah di Bandara Changi Singapura dan sempat turun pesawat saat transit selama 1 jam 13 menit. Pollycarpus dan sejumlah kru juga ikut turun dan tidk ikut melanjutkan perjalanan ke Belanda.
Penerbangan dilanjutkan pada dini hari, sekitar pukul 00.45 WIB. Sekitar 15 menit setelah pesawat tinggal landas, racun yang diataburi oleh Pollycarpus mulai bereaksi.
Gejala awal yang dialami Munir adalah sakit perut layaknya seorang yang hendak buang air besar dan muntah. Sekitar dua jam sebelum mendarat di Amsterdam, Munir menghembuskan nafas terakhirnya di usianya yang ke 38.
Jenazah sang aktivis itu kemudian di visum oleh Kementrian Kehakiman pemerintah Belanda. Diketahui bahwa ada konsentrasi arisen yang meningkat di air seni dan lambung almarhum dan mereja akhirnya menyimpulkan Munir tewas karena menenggak racun.