Kai.or.id – Mahkamah Agung (MA) telah menjawab permintaan fatwa dari Kejaksaan Agung terkait putusan mahkamah Kostitusi (MK) yang tak memberikan batas waktu pengajuan grasi.
Grasi ini menjadi patokan Kejaksaan Agung dalam mengeksekusi hukuman mati. Sebelum adanya putusan MK Nomor 1087/PUU-XIII/2015, pengajuan grasi dibatasi satu tahun setelah keputusan tetap. Namun setelah adanya putusan MK tersebut, pelaksanaan eksekusi mati menjadi tidak pasti.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah mengatakan, surat permintaan Fatwa MA terkait putusan MK dari Kejaksaan Agung sudah diterima 20 Februari 2017.
“MA sudah menjawab surat itu pada 29 Maret 2017. Jadi, sudah dijawab oleh MA dengan Nomor 7/WK.MAY/III/2017 yang ditandatangani Wakil Ketua MA RI Bidang Yudisial,’ ujar Abdullah di Jakarta, Kamis (31/8)
Adapun jawaban dari MA adalah secara teknis pelaksanaan putusan hakim sepenuhnya merupakan kewenangan jaksa sebagai eksekutor.
Namun, demi kepastian hukum tidak ada larangan bagi Jaksa selaku eksekutor untuk menanyakan kepada terpidana atau keluarganya perihal akan digunakan atau tidaknya hak mengajukan grasi tersebut.
“Pendapat MA, jika prose situ sudah dilakukan seluruhnya, maka Jaksa selaku eksekutor dapat melaksanakan putusan Hakim,” tambahnya.
Sementara itu, ketika ditanya bahwa putusan MK ini dapat mengulur-ulur pelaksanaan eksekusi mati, Abdullah mengatakan hal itu kembali pada kewenangan eksekutor.
“Kalau menunggu terus-menerus, kapan akan dilaksanakan putusan Hakim itu? Itu justru kalau tidak segera dilakukan, malah menimbulkan ketidakpastian. Ikuti regulasi yang sudah ada. mA kembalikan putusan MK itu, laksanakan saja,” katanya.
Permintaan Kejaksaan Agung terkait keputusan MK ini sempat dikritik oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Menurut Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono, permintaan tersebut menunjukan adanya keinginan kejaksaan agung untuk dapat melaksanakan hukuman mati terhadap terpidana mati yang mengajukan grasi.
Menurut Supriyadi, hukuman mati dapat diganti dengan jenis hukuman berat lain seperti hukuman seumur hidup. Hal itu senada dengan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang masih digarap oleh DPR.
Setelah mengeksekusi empat terpidana mati pada Jumat (29/60 lalu di Nusakambangan, tersisa sepuluh terpidana mati. Sepeuluh orang itu antara lain, Merri Utami (Indonesia), Zulfiqar Ali (Pakistan), Gurdip Singh (India), Onkonkwo Nonso Kingsley (Nigeria).
Kemudian Obina Nwangju (Nigeria), Ozias Sibanda (Zimbabwe), Federik Luttar (Zimbabwe), Eugene Ape (Nigeria), Pujo Lestari (Indonesia) dan Agus Hadi (Indonesia)
Source : Kompas