Kai.or.id – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 dinilai bisa menghambat kebebasan dalam berserikat, khusunya dalam pengembangan agama Islam, Kamis (10/8).
Banyak kalangan yang beranggapan bahwa Perppu tersebut berpengaruh pada citra Indonesia di mata Internasional. “ Perppu tentang ormas tersebut tidak ada hubungannya dengan masalah internasional,” ujar Ketua Bidang Hubungan dan Kerja Sama Luar Negeri, Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bahtiar Effendy.
Bachtiar mengatakan Perppu adalah masalah dalam negeri, mungkin saja Perppu Nomor 2 Tahun 2017 dilihat sebagai kebijakan yang berlawanan dengan nilai demokrasi. Bukan hanya itu, Perppu tersebut akan dipandang sebagai sikap tidak ramahnya pemerintah terhadap sebagian umat Islam, khusunya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Pemerintah bisa membubarkan HTI melalui instrument UU tentang ormas yang sudah ada, apabila HTI dinilai sebagai organisasi yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan Demokrasi. Tentu melalui Pengadilan dengan memberikan kesempatan pembelaan kepada HTI.
Bahtiar menuturkan, sebagian ormas dan partai politik yang mendukung Perppu Nomor 2 Tahun 2017 menyetujui pembubaran HTI. Kemudian setelah pembubaran HTI, ormas dan partai politik mengajukan minat menghimpun mantan anggota HTI untuk bergabung bersama mereka. Hal ini dinilai ironis.
“Saya tidak tahu atas nama politik atau pembinaan. Sikap seperti itu kurang etis. Apalagi secara substantive ideologis dan pemikiran juga aneh, seolah-olah pandangan dunia pimpinan dan anggota HTI akan hilang bersamaan dengan dilarangnya organisasi mereka,” Kata Bahtiar.
Bahtiar menambahkan Dewan Pemikiran Rakyat (DPR) diharap bisa berfikir jernih dan mempertimbangkan untuk disempurnakannya UU tentang ormas.
“Kesetiaan dan Komitmen terhadap Pancasila, UUD 1945 dan keinginan kita untuk hidup secara demokratis tidak boleh kita wujudkan dengan cara melanggar prinsip dan filosofi dasar yang ada pada Pancasila, UUD 1945 dan Demokrasi,” tegasnya
Perppu Nomor 2 Tahun 2017 pun tidak didasarkan kepada satu perumusan yang menggambarkan Pancasila saat itu sedang dalam posisi terancam oleh kehadiran ormas-ormas. Penjelasan pemerintah dirasa tidak membacakan ukuran yang digunakan sampai mengatakan Pancasila dianggap terancam.