Wakil Ketua KPK Ladoe Muhammad Syarif mengatakan penetapan PT Duta Graha Indah (DGI) yang berganti nama jadi PT Nusa Kontruksi Enjiniring, Tbk, sebagai tersangka tindak pidana korupsi, merupakan titik awal lembaganya bergerak lebih jauh dalam menjerat korupsi.
Apalagi, hal ini diperkuat Mahkamah Agung yang telah menerbitkan peraturan nomor 13 Tahun 2016 soal tata cara penanganan tindak pidana korporasi.
“Apakah ini momennya? Saya pikir, iya. KPK sekarang sudah saatnya bergerak dari hanya menghukum orang saja. Padahal UU Tipikor jelas, UU TPPU jelas, bukan cuma orang, tetapi juga badan hukum,” kata Laode, Selasa 25 Juli 2017.
Laode menjelaskan, berdasar statistik terpidana korupsi yang ditangani instansinya, tercatat pihak swasta yang paling banyak terjerat di bandingkan penyelenggara negara sebagai pemberi suap. Karena itu, perlu pendalaman lagi apakah orang swasta itu bertindak atas inisiatifnya sendiri atau sebagai implementasi keputusan perusahaannya.
Dikatakan dia, mengacu pengalaman dari negara lain dalam memberantas korupsi maka mengejar korporasi harus menjadi perhatian. Alasannya, karena korporasi punya dampak besar dari perilaku korupsi.
“Kami lihat apa benar inisiatif diri sendiri atau bagian dari usaha atau upaya perusahaan atau korporasinya. Karena selama ini tidak pernah menjangkau korporasinya, maka KPK yang juga berdasarkan para ahli antikorupsi negara-negara maju, mengejar orang itu enggak terlalu memiliki dampak yang besar, tapi mengejar perusahaannya itulah yang paling besar dampaknya,” jelas Laode.
Contohnya, kata dia, mengenai penanganan kasus Rolls Royce, Alston dan Siemens. Menurut Laode, dampak yang dihasilkan dari penanganan kasus itu bermanfaat tak cuma untuk di negara perusahaan itu berpusat, melainkan juga ke negara lainnya. “Akhirnya sejak itu mereka melakukan perbaikan besar,” kata Laode. Sumber
Kongres Advokat Indonesia