Perppu 2/2017 tentang Pembubaran Ormas digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu alasannya adalah tidak ada ‘kegentingan yang memaksa’ yang menjadi alasan lahirnya Perppu. Apa itu kegentingan yang memaksa?
Berdasarkan penelusuran detikcom atas putusan-putusan MK, Selasa (18/7/2017), polemik tafsir ‘kegentingan yang memaksa’ telah usai. Seperti terlihat dalam putusan Nomor 003/PUU-III/2005. Perkara itu diajukan oleh penggiat lingkungan yang memohon UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah (Perppu) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutananan menjadi UU.
Salah satu alasan pemohon, Perppu Nomor 1/2014 tidak layak dikeluarkan karena tidak ada ‘kegentingan yang memaksa’. Tapi apa kata MK soal tafsir ‘kegentingan yang memaksa’ itu?
“Alasan dikeluarkannya sebuah Perppu oleh Presiden, termasuk Perppu No. 1 Tahun 2004, yaitu karena ‘hal ihwal kegentingan yang memaksa’ sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 merupakan penilaian subyektif Presiden,” ujar majelis yang diketuai Jimly Asshiddiqie.
Duduk sebagai anggota Laica Marzuki, HAS Natabaya, Mukthie Fadjar, Harjono, Achmad Roestandi, I Dewa Gede Palguna, Maruarar Siahaan serta Soedarsono.
“Sedangkan obyektivitasnya dinilai oleh DPR dalam persidangan yang berikutnya yang dapat menerima atau menolak penetapan Perpu menjadi undang-undang,” ujar majelis dengan suara bulat.
Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 menyatakan:
Dengan ditetapkannya perubahan UUUD ini, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.
Dengan demikian, berarti setelah Perubahan UUD 1945 tidak dikenal lagi adanya Penjelasan UUD 1945.
“Sehingga Penjelasan Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 yang dikutip oleh Pemohon hanya dapat dikategorikan sebagai sebuah dokumen historis yang sama nilainya dengan dokumen historis lainnya,” ucap majelis.
Dalam Pasal 139 Konstitusi RIS dan Pasal 96 UUDS 1950, juga menggunakan terminologi Undang-undang Darurat untuk istilah Perppu dengan alasan ‘keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera’ yang dapat digunakan sebagai rujukan interpretasi historis. Bunyi Pasal 139 Konsitusi RIS dan Pasal 96 UUDS 1950 selengkapnya adalah sebagai berikut:
Pasal 139 Konstitusi RIS:
(1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintah federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera.
(2) Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa undang-undang federal. Ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal yang berikut.
Pasal 96 UUDS 1950:
(1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera.
(2) Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan derajat undang-undang; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal yang berikut.
“Hal ihwal kegentingan yang memaksa yang dimaksud Pasal 22 ayat (1) tidak sama dengan ‘keadaan bahaya’ seperti yang dimaksud Pasal 12 UUD 1945 dan pengaturannya dalam UU (Prp) No 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang memang harus didasarkan atas kondisi obyektif sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang,” ujar majelis.
Hal ihwal kegentingan yang memaksa yang dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memang hak subyektif Presiden yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang. Dalam praktik ketatanegaraan selama ini, dari berbagai Perpu yang pernah dikeluarkan Presiden menunjukkan adanya kecenderungan penafsiran hal ihwal kegentingan yang memaksa itu sebagai keadaan mendesak yang perlu diatur dengan peraturan setingkat undang-undang.
MK mencontohkan alasan-alasan Perppu lain, yaitu:
- Perppu No 1 Tahun 1984 tentang Penangguhan Berlakunya Undang-undang Perpajakan Tahun 1983.
- Perppu No 1 Tahun 1992 tentang Penangguhan Berlakunya Undang-undang No 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
- Perppu No 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
- Perppu No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
- Perppu No 2 Tahun 2002.
- Dan juga Perpu-Perpu yang terkait dengan Pemilu, Pilkada, dan lain-lain.
“Yang kesemuanya tidak ada kaitannya dengan keadaan bahaya sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945 dan UU (Prp) No 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya,” cetus majelis.
Isu suap berkenaaan dengan penetapan Perpu No 1 Tahun 2004 menjadi UU No 19 Tahun 2004 tidak dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan oleh Para Pemohon. Alasan itu juga bukan bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk memeriksanya
“Meskipun hal ihwal kegentingan yang memaksa yang menjadi pertimbangan dikeluarkannya sebuah
Perppu alasannya bersifat subyektif, di masa datang, alasan-alasan yang menjadi pertimbangan Presiden untuk mengeluarkan sebuah Perppu agar lebih didasarkan pada kondisi obyektif bangsa dan negara yang tercermin dalam konsiderans ‘Menimbang’ dari Perppu yang bersangkutan,” ujar MK pada 7 Juli 2009.
Lima tahun setelahnya, MK mempertajam tafsir ‘kegentingan yang memaksa’. Yaitu:
- adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
- Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
- Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Sumber
Kongres Advokat Indonesia