Tempo.co – Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK mengatakan ketertinggalan ekonomi Indonesia dibanding negara lain bukan soal Pancasila atau bukan Pancasila. Ketertinggalan tersebut lebih disebabkan pada dua kesalahan kebijakan.
“Pertama, kita kehilangan banyak karena kebijakan yang tidak sesuai, karena mengikuti alur pikir yang saat itu dinilai paling benar,” kata JK dalam simposium nasional yang digelar Majelis Permusyawaratan Rakyat di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu, 12 Juli 2017.
Kalla mencontohkan pengalaman krisis yang terjadi pada 1997-1998. Menurut dia, dampak krisis yang menyebabkan kerugian sangat besar itu dimulai karena Indonesia menganut paham liberalisme. “Waktu itu paham itu terjadi, jadi kita ini terlalu mudah mengikuti paham,” kata Kalla.
Paham liberalisme ini membuat kebijakan ekonomi mengalami deregulasi, misalnya di sektor perbankan. Semua orang bisa membikin bank hanya dengan aset Rp 2,5 milir. Ini membuat jumlah perbankan melonjak menjadi 250 bank.
Jumlah itu membuat pemerintah merasa bangga. Di sisi lain, para bank saling bersaing dengan meningkatkan bunga yang tinggi sehingga mengalami kredit macet. Puncak kesalahan kebijakan terjadi saat pemerintah menjamin semua bank dengan blanked guarantee dan BLBI. Ini dilakukan saat pemerintah menuruti saran IMF saat mengucurkan pinjaman saat krisis terjadi.
Saat itu, pemerintah harus mengeluarkan Rp 600 triliun. “Kalau diukur dengan bunganya dan nilai saat ini, jumlah itu nilainya setara bisa sampai Rp 3.000 triliun,” kata Kalla.
Kedua, adalah kesalahan kebijakan subsidi energi dengan nilai yang sangat besar dengan tujuan membantu rakyat kecil. Pada 2013-2014 saja, nilai subsidi hampir mencapai Rp 400 triliun atau sekitar 25-30 persen dari seluruh anggaran pada waktu itu. Namun penikmat terbesar subsidi justru bukan rakyat kecil.
Dua kebijakan yang keliru itu telah menghabiskan ongkos Rp 6 ribu triliun. Jumlah uang itu, kata JK, sama dengan nilai uang untuk membangun infrastruktur selama 25 tahun. “Itu tidak jatuh ke rakyat, tapi ke orang yang punya uang, sehingga terjadilah gini ratio yang tinggi. Orang mampu makin mampu, orang miskin tidak naik pangkatnya,” kata Kalla.
Kongres Advokat Indonesia