Tribunnews.com – Penambahan pasal 32 ayat (1) Undang-undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa kasus dugaan pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Buni Yani disebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Hal tersbeut dikatakan langsung oleh pengacara penasihat hukum Buni Yani Aldwin Rahadian.
“Dalam KUHAP memang betul kita bisa menambahkan pasal tapi harus berdasar,” ujar Aldwin Rahadian kepada wartawan usai mendengarkan tanggapan JPU terhadap eksepsi yang diajukannya di Gedung Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Bandung, Selasa (4/7/2017).
Menurutnya, penambahan pasal tersebut harus sesuai dengan prosedur yang tepat. Ia menuding penambahan pasal tersebut hanya didasarkan penafsiran semata.
“Dasarnya kuat di BAP, setelah itu kemudian masuk ke kejaksaan, penuntut umum baru boleh mereka melakukan penambahan. Ini ngga ada, artinya hanya menafsirkan keseluruhan tanpa pemeriksaan,” kata Aldwin Rahadian.
Sebelumnya, Buni Yani juga menyampaikan keberatan atas penambahan pasal tersebut. Ia mengaku belum pernah diperiksa menggunakan pasal tersebut. Buni Yani juga mengaku heran, pasal tambahan tersebut ada dalam resume penyidikan.
“Tidak muncul di penyidikan tapi muncul di resume. Padahal saya belum pernah diperiksa untuk pasal 32,” ujar Buni Yani.
Usai mendengarkan tanggapan JPU terhadap eksepsi yang diajukan Buni Yani dan tim penasihat hukumnya, hakim ketua, M. Sapto menunda sidang hingga Selasa (11/7/2017).
Agenda sidang selanjutnya adalah mendengar putusan sela oleh majelis hakim.
Kongres Advokat Indonesia