Detik.com – Presiden Joko Widodo mendesak DPR segera merampungkan pembahasan RUU Antiterorisme agar kejadian seperti teror bom Kampung Melayu dapat dicegah. Pembahasan UU Terorisme ini mandek karena ada beberapa isu yang menjadi kontroversi.
Sejak dibahas di DPR pada 2016, ada sejumlah pasal dalam RUU Terorisme ini yang menjadi kontroversi. Kontroversi tak hanya di lingkup internal DPR, tapi juga di kalangan masyarakat dan stakeholders terkait.
Pembahasan juga sempat mandek karena pembahasan definisi terorisme sendiri. Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Antiterorisme, Arsul Sani, berkata, untuk definisi ‘terorisme’, Panja DPR telah meminta pemerintah merumuskannya. Selain itu, dia berkata ‘Pasal Guantanamo’ dan soal pelibatan TNI belum dibahas sampai akhir masa sidang lalu.
“Soal definisi, kami yang di Panja memang sepakat meminta tim pemerintah untuk merumuskannya. Sedang soal pasal ‘Guantanamo’ serta peran serta TNI, belum dibahas sampai dengan akhir masa sidang lalu karena masih fokus dengan soal perpanjangan waktu penangkapan dan penahanan,” ucap Arsul, Jumat (26/5/2017) malam.
Berikut ini isu-isu RUU Antiterorisme yang menjadi kontroversi:
Definisi Terorisme
Salah satu yang membuat pembahasan RUU Antiterorisme ini tak kunjung selesai ialah soal definisi teroris. Perdebatan terkait dengan makna utuh teroris masih menjadi persoalan sendiri. Anggota Panja RUU Antiterorisme, Arsul Sani, menyebut DPR telah meminta pemerintah merumuskan definisi tersebut. Perihal definisi terorisme sendiri ada di Pasal 1 UU Terorisme.
“Soal definisi, kami yang di Panja memang sepakat meminta tim pemerintah untuk merumuskannya,” kata Arsul saat dihubungi, Jumat (26/5) malam.
Pelibatan TNI
Pelibatan TNI dalam menanggulangi teroris juga menjadi penyebab lamanya perampungan RUU Antiterorisme. Poin pelibatan TNI ini tercantum pada draf RUU Antiterorisme yang diusulkan pemerintah pada Pasal 43B yang berbunyi:
Ayat 1
Kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme
Ayat 2
Peran Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pasal ini kemudian mendapat penolakan dari kalangan masyarakat. LSM Koalisi Masyarakat Sipil tidak setuju apabila RUU yang tengah dibahas mengatur pelibatan TNI secara aktif dalam pemberantasan terorisme.
Koalisi yang terdiri dari Imparsial, ICW, Elsam, Kontras, LBH Pers, YLBHI, LBH Jakarta, Setara Institut, Lingkar Madani Indonesia, dan lainnya ini menyebut pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme dapat diatur dalam undang-undang lain.
“Sebaiknya militer diatur dalam UU perbantuan. Untuk itu, kami berharap DPR membentuk UU perbantuan,” ujar perwakilan koalisi, Al Araf, saat menyampaikan aspirasi di Ruang F-Golkar, gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (9/2) lalu.
Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo berkata, jika TNI dilibatkan dalam pemberantasan terorisme secara utuh, itu akan lebih baik. Pemberantasan terorisme akan lebih optimal.
“Saya optimis teroris bisa diatasi apabila undang-undangnya (seperti itu),” ungkap Gatot di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (21/10/2016) lampau.
‘Pasal Guantanamo’
Pasal 43A dalam RUU Antiterorisme, yang mengatur masa penahanan seseorang yang diduga terlibat jaringan teroris selama 6 bulan, juga menjadi perdebatan. Pasal ini disebut juga sebagai ‘Pasal Guantanamo’.
Disebut ‘Pasal Guantanamo’ karena merujuk pada nama penjara milik Amerika Serikat di wilayah Kuba, di mana ratusan orang ditangkap dan disembunyikan karena diduga terlibat dalam jaringan teroris. Pasal ini mengatur kewenangan penyidik ataupun penuntut untuk menahan seseorang yang diduga terkait dengan kelompok teroris selama 6 bulan.
Pasal itu berbunyi:
Dalam rangka penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, penyidik atau penuntut umum dapat melakukan pencegahan terhadap setiap orang tertentu yang diduga akan melakukan Tindak Pidana Terorisme untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu yang menjadi wilayah hukum penyidik atau penuntut umum dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan.
Salah satu pihak yang mempermasalahkan pasal tersebut ialah hakim agung Salman Luthan. Menurutnya, pasal 43A itu sebaiknya dihapus karena tak relevan dengan kaidah hukum yang ada.
“Pasal 43A ini harusnya dibuang saja karena tidak sesuai dengan kaidah hukum yang adil, yakni terkait penahanan dan penangkapan. Ini tidak relevan,” kata Salman di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (13/10/2016) malam.
Kembali ke arahan Presiden Jokowi yang meminta RUU Antiterorisme ini segera dirampungkan, DPR berjanji segera merealisasinya. Janji mereka adalah RUU ini akan segera selesai tahun ini. Arsul menyebut DPR akan menggelar rapat maraton guna mewujudkan keinginan Jokowi.
“Pansus RUU Terorisme memang telah menyepakati untuk mengintensifkan pembahasan DIM-DIM yang belum dibahas di masa-masa sidang sebelumnya. Insyaallah mulai minggu depan kita rapat-rapat lagi. Ya strateginya mengintensifkan rapat pembahasan,” ucap Arsul.
Kongres Advokat Indonesia