Detik.com – Nilai korupsi ratusan miliar rupiah terungkap beberapa hari terakhir, termasuk proyek e-KTP yang ditaksir mencapai Rp 2,4 triliun. Di era Orde Baru, salah satu mega korupsi yang mencuat adalah pembobolan Bank Duta yang dilakukan oleh Wakil Dirut-nya sendiri, Dicky Iskandar Dinata.
Di tingkat kasasi, hakim agung yang juga Ketua Muda MA bidang Pidana, Adi Andojo menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara kepada Dicky pada 26 Mei 1992. Yang membuat geger publik adalah keberanian Adi memerintahkan Dicky mengembalikan uang yang dikorupsinya sebesar Rp 811 miliar.
Dengan kurs dolar AS yang masih berkisar Rp 2.000, maka kasus itu menjadi kasus mega korupsi di zamannya.
“Bila terdakwa meninggal, ahli waris dan keluarga koruptor itu harus menanggung kerugian negara,” kutip detikcom dari buku biografi Adi Andojo ‘Menjadi Hakim yang Agung’, Selasa (21/3/2017).
Adi menyatakan uang pengganti itu diterapkan agar orang jera berbuat korupsi dan orang yang memiliki peluang korupsi berpikir ulang untuk korupsi. Jika ia tidak mampu membayar, maka tidak bisa diganti hukuman badan, tetapi keluarga dan ahli warisnya harus menanggung dan melunasi kerugian negara itu.
“Bila ditemukan ketidakberesan kekayaan yang dimiliki seseorang, penyidik bisa langsung meminta orang itu untuk memberikan penjelasan tentang asal-usul kekayannya,” cetus Adi di halaman 165.
Setelah keluar penjara, Dicky dan komplotannya kembali membobol bank yaitu BNI sebesar Rp 1,3 triliun pada 2005. Oleh Artidjo Alkostar, Dicky dihukum 20 tahun penjara, jauh dari tuntutan jaksa yang menuntut hukuman mati. Dicky akhirnya meninggal dunia pada 2015.
Selain kasus megakorupsi, Dicky juga mengadili berbagai kasus yang menarik perhatian publik lainnya. Saat ia menjadi Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Bandung pada tahun 70-an, ia mengadili para mahasiswa ITB yang menolak Soeharto menjadi calon presiden 1974. Militer pun masuk kampus dan mahasiswa ditangkap.
Oleh Adi, mereka divonis bebas dan salah satu mahasiswa yang divonis bebas adalah Rizal Ramli. Rizal belakangan menjadi Menteri di era Gus Dur dan Jokowi.
Vonis bebas itu membuat rezim kala itu gerah. Salah satu vonis yang membuat rezim Orde Baru gerah adalah vonis bebas Mukhtar Pakpahan. Di mana Mukhtar awalnya dihukum 3 tahun penjara karena menggerakan buruh untuk demonstrasi di Medan, pada 1994.
Di tingkat banding, vonis Mukhtar dinaikkan menjadi 4 tahun penjara. Nah, oleh hakim agung Adi Andojo, Mukhtar dibebaskan. Vonis bebas itu dijatuhkan Adi bersama hakim agung Karlinah Palmini dan hakim agung Tomy Boestomi pada 29 September 1995.
Komitmen Adi dalam melawan segala bentuk nepotisme, kolusi dan korupsi dibuktikan dengan membuka kolusi di lembaganya sendiri, Mahkamah Agung (MA). Adi membuka kolusi putusan kasasi yang melibatkan terdakwa-pengacara-majelis kasasi, di mana sang pengacara adalah mantan hakim agung.
Sepak terjang Adi membuat pimpinan MA gerah dan melarang Adi berbicara ke publik.
Puncaknya, Ketua MA Soerjono menyurati Presiden Soeharto pada 25 Juni 1996. Ketua MA Soerjono meminta pemberhentian Adi dengan alasan melakukan tindakan indisipliner. Alasannya, Adi telah mengungkapkan keburukan MA kepada pihak luar, termasuk kepada pers asing.
Surat Ketua MA ke Presiden Soeharto itu membuat rakyat marah. Mereka melakukan aksi di berbagai tempat. Akhirnya, Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 19/PENS.TAHUN 1997 tertanggal 4 April 1997, yang menegaskan Adi pensiun secara normal.
“Saya pensiun terhitung 1 Mei 1997 karena pada 11 April 1997 saya berusia 65 tahun,” tutur Adi, yang menghabiskan masa kecilnya di Banyumas.
Buku itu diluncurkan dua pekan lalu dengan dihadiri Ketua MA Hatta Ali, hakim agung Andi Samsan Nganro dan cendekiawan muslim Komarudin Hidayat.
Kongres Advokat Indonesia