Koran-jakarta.com – Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan tak membatasi gugatan sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Sebaiknya ambang batas selisih maksimal antara hasil perolehan suara pasangan calon tertinggi dalam sebuah Pilkada dengan perolehan suara pemohon, harusnya diabaikan saja. Mahkamah harus melakukan terobosan, agar rasa keadilan tidak diciderai.
“Sebagaimana yang sering diklaim MK, maka seyogyanya MK tidak hanya mendasarkan pertimbangan hukum dan keputusannya dalam perkara sengketa hasil Pilkada hanya berdasarkan perhitungan selisih perolehan suara antara pasangan calon termohon dengan pasangan calon pemohon” kata Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta di Jakarta, Minggu (12/3).
Kaka menambahkan, bunyi dan makna Pasal 158 Undang- Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, jika diterapkan secara serta merta, tanpa mempertimbangkan faktafakta di lapangan dan fakta persidangan, akan mengurangi makna MK sebagai penjaga hak konstitusional warga Negara.
Sebab, katanya, fakta, temuan dan laporan atas pelaksanaan Pilkada serentak di 101 daerah banyak mengindikasikian terjadinya kecurangan. Banyak terjadi pelanggaran dan kejahatan Pilkada. Ini tentu tidak bisa dinafikkan. Bahkan beberapa diantaranya mengindikasikan pelanggaran Pilkada secara Terstruktur, sistematis dan massif. Dan banyak yang tidak terselesaikan oleh mekanisme penyelesaian pelanggaran dan kecurangan di Bawaslu dan KPU.
“Adanya rasa tidak puas di masyarakat yang luas terkait penyelesaian pelanggaran, telah, menimbulkan berbagai ekses negatif, mulai dari kekerasan sampai pada pengrusakan fasilitas umum, bahkan menimbulkan korban jiwa di daerah yang melaksanakan Pilkada,” tuturnya.
Selain itu kata Kaka, ada laporan langsung dari masyarakat di Kabupaten Fak-fak, Maybart, Aceh Timur, Gayo Leus, Provinsi Banten dan Kota Kendari terkait penyelesaian sengketa dan dugaan pelanggaran Pilkada. Penyelesaian pelanggaran tidak selesai oleh mekanisme penyelesaian pada lembaga penyelenggara pemilu.
“Karena itu kami meminta MK tidak bersembunyi di balik bunyi dan makna sempit Pasal 158 UU Pilkada, karena posisi MK sebagai penjaga demokrasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 22 E UUD 1945,” ujarnya.
Kaka menambahkan, MK sebagai penjaga hak konstitusional warga Negara perlu mempertimbangkan penggunaan kewenangan MK sebagai penafsir UU terhadap kesesuaiannya dengan konstitusi. “Kami memandang inilah saatnya MK mengambil peran sejarahnya untuk meluruskan dan mendorong demokratisasi dan penguatan hak konstitusional warga melalui keputusan MK dalam perkara sengketa hasil Pilkada serentak tahun 2017 ini,” ujarnya.
Kongres Advokat Indonesia