Menelusuri Jejak dan Daya Ikat Fatwa MA
Banyak Jalan Menuju Legalitas Fatwa

Menelusuri Jejak dan Daya Ikat Fatwa MA

Diskusi publik di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 9 Februari lalu, mengusung sebuah pertanyaan penting: masih perlukah fatwa MUI? Seluruh narasumber yang hadir dalam perhelatan itu punya satu suara, fatwa ulama masih diperlukan sebagai jawaban dan solusi atas masalah-masalah yang dihadapi ummat, khususnya ummat Islam, di Indonesia.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ternyata bukan hanya jawaban atas pertanyaan ummat. Faktanya, ada banyak jalan yang membuat fatwa MUI memiliki legalitas atau daya ikat yang kuat. Hakim agung A. Mukti Arto menunjuk putusan hakim sebagai salah satu ‘jalan’ pengakuan legal itu. Hakim di Indonesia beberapa kali merujuk pada fatwa MUI dalam pertimbangan putusan.

Apalagi kalau sudah menyangkut akad-akad ekonomi syariah, kampir pasti hakim dan para pihak menyinggung fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI. Dalam konteks ekonomi syariah, legalitas fatwa tak hanya dikuatkan hakim, tetapi juga perundang-undangan semisal UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dan UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Penelitian doktoral Yeni Salma Barlinti, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, semakin menguatkan legalitas fatwa MUI. Sebab, ada banyak fatwa DSN-MUI yang mendapat legitimasi dalam perundang-undangan. Bahkan ada perundang-undangan yang proses pembahasannya tak banyak mengalami kesulitan karena sudah ada fatwa DSN-MUI.

Ekonomi syariah bukan satu-satunya bidang cakupan fatwa. Menurut Ketua Umum MUI, KH Ma’ruf Amin, fatwa yang telah dikeluarkan MUI selama ini dikelompokkan ke dalam tiga kategori besar. Pertama, ya itu tadi, fatwa mengenai perekonomian dan keuangan syariah. Termasuk di dalamnya fatwa-fatwa DSN MUI. Kedua, fatwa tentang kehalalan produk makanan, minuman, dan kosmestika. Sekadar contoh adalah fatwa tentang penggunaan plasenta hewan untuk bahan kosmetika dan obat luar.

Ketiga, fatwa tentang masalah akidah, ibadah, sosial kemasyarakatan dan kesehatan. Misalnya, Fatwa MUI tentang Pertambangan Ramah Lingkungan, atau Fatwa No. 56 Tahun 2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim.

Yang disebut terakhir sempat menimbulkan masalah di lapangan, dan menyeret Polri ke dalam pusaran polemik fatwa. Penyebabnya ada polisi yang menegakkan hukum menggunakan fatwa MUI sebagai dasar. Kapolri Jenderal Tito Karnavian sampai menyinggung tentang fatwa yang bukan hukum positif dalam konteks tata urutan perundang-undangan Indonesia, sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan.

Ada banyak jalan

Jika ditelusuri latar belakang lahirnya suatu fatwa, sebenarnya ada banyak ‘jalan’ yang bakal ditemukan. Yang paling kuat legalitasnya tentu saja yang diperintahkan Undang-Undang. KH Ma’ruf Amin menyebut fatwa yang semacam ini mengikat semua warga negara di Indonesia. Contoh konkritnya adalah pada jaminan produk halal. Pasal 10 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2014 tegas menyebut penetapan kehalalan produk dikeluarkan MUI dalam bentu keputusan penetapan halal produk. Tentu saja Anda sudah sering melihat label halal pada makanan cepat saji, bukan?

Ada juga fatwa yang dijadikan dasar pembuatan peraturan oleh kementerian atau lembaga negara. Fatwa yang seperti ini juga mengikat jika telah diakomodasi oleh peraturan resmi negara. Misalnya, ada SKB Tiga Menteri tahun lalu tentang Gafatar. Dalam konsiderans SKB itu disinggung fatwa MUI mengenai Gerakan Fajar Nusantara. Contoh lain adalah sejumlah Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) mengenai akad syariah.

Ada pula fatwa MUI yang sejalan dengan perundang-undangan dan program pemerintah. Implementasi fatwa semacam ini membutuhkan keterlibatan aparat pemerintah. Ke dalam kategori ini bisa disebut antara lain Fatwa MUI No. 47 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah; Fatwa MUI No. 30 Tahun 2016 tentang Hukum Pembakaran Hutan dan Lahan Serta Pengendaliannya, dan Fatwa MUI No. 04 Tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Ekosistem. Faktanya, Fatwa MUI semacam ini sering dipakai aparat Pemerintah untuk sosialisasi kebijakan kepada para pemangku kepentingan.

Jalan lain terbitnya fatwa adalah kesepakatan ulama untuk memberikan panduan atau pedoman kepada masyarakat dalam menjalankan ajaran agama (Islam). Termasuk ke dalam kategori ini adalah Fatwa MUI No. 287 Tahun 2001 tentang Pornografi dan Pornoaksi. Terkait dengan hal ini, beberapa tahun kemudian lahr UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Polemik

Seperti halnya dulu proses pembentukan UU Pornografi, selalu ada potensi perbedaan pendapat mengenai fatwa MUI, baik dari sisi substansi maupun dari isu kelembagaan. Ketika MUI mengeluarkan fatwa tentang sosialisme, misalnya, orang lantas mempertanyakan apa yang dimaksud MUI dengan sosialisme.

Dari sisi kelembagaan, MUI bukanlah lembaga atau komisi negara. Ia adalah wadah perkumpulan pada ulama lintas kelompok. Lembaga ini mengakomodasi ulama dari berbagai aliran, sehingga fatwa di Indonesia tak dikeluarkan seorang mufti.

Tidak mengherankan jika pengamat hukum tata negara Irmanputra Sidin menilai MUI terkesan mendapat keistimewaan dibandingkan organisasi kemasyarakatan lain. “Saya melihat sendiri, nampaknya organisasi MUI ini merupakan organisasi yang memiliki keistimewaan jika dibandingkan dengan organisasi-organisasi di sektor kemasyarakatan lainnya,” kata Irman dalam diskusi mengenai Fatwa MUI yang digelar Polri dan MUI, 17 Januari lalu.

Ketua Badan Pengurus Setara Institute, pada diskusi yang sama, menyebut korporatisme negara adalah ‘pisau analisis’ yang pas dipakai untuk melihat pengakuan negara terhadap fatwa-fatwa MUI, bahkan mengakomodasinya ke dalam perundang-undangan. Walhasil, fatwa MUI tak hanya mengikat ummat Islam. Inilah yang dalam praktiknya bisa menimbulkan masalah di lapangan.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD, mengingatkan penegakan fatwa MUI tak bisa otomatis dilakukan oleh (aparat) negara sekalipun fatwa itu secara syar’i baik. Kalaupun ada fatwa yang diikuti oleh masyarakat meskipun tak ditransformasi ke dalam positif, maka ia fatwa itu perlu diperlakukan sebagai living law, hukum yang hidup.

Dan, seperti dikatakan hakim agung Mukti Arto dalam diskusi di FH UI, hakim punya kewajiban untuk mengggali hukum dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Kewajiban itu tertuang dalam perundang-undangan. sumber

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024