Tempo.co – Dewan Perwakilan Rakyat menyesalkan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengusut kasus dugaan suap satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang tidak berkoordinasi dengan TNI.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, diamanatkan bahwa lembaga antirasuah itu berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
“Pada 2005 lalu juga telah disepakati dan ditandatangani nota kesepahaman di antara dua lembaga negara itu, yakni KPK dan TNI. Bahkan dalam KUHAP juga sudah ada aturan konektivitas itu,” ujar Arsul dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 19 Januari 2017.
Arsul berujar, dengan adanya sejumlah aturan tersebut, secara normatif, KPK dan TNI dimungkinkan untuk mengembangkan suatu kasus bersama-sama. “Jadi apa yang menjadi pertimbangan KPK tidak membentuk tim konektivitas kasus suap di Bakamla? Padahal sebelumnya KPK pernah menjalin konektivitas dengan Kejaksaan Agung,” katanya.
Hal senada juga diungkapkan rekan Arsul di Komisi III, yaitu Akbar Faisal. Dia berharap KPK mampu bekerja sama dan berkoordinasi lebih jauh dengan TNI dalam mengusut kasus Bakamla. “Saya harap keduanya bisa bekerja sama mengusut kasus ini,” tuturnya.
Sebagaimana diketahui, beberapa tersangka dalam kasus dugaan suap satelit monitoring di Bakamla telah ditetapkan. Mereka adalah Deputi Hukum dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi, Fahmi Darmawansyah, Hardy Stefanus, dan Adami Okta.
Kongres Advokat Indonesia