Kompas.com – Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tidak hanya diserahkan dari kepolisan kepada kejaksaan, tetapi juga kepada pihak terlapor dan korban.
Selain itu, SPDP harus diserahkan selambat-lambatnya tujuh hari setelah dinyatakan bahwa kasus yang ditangani dinaikkan statusnya ke tahap penyidikan.
Ketentuan tersebut sedianya tertuang dalam Pasal 109 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Adapun bunyi pasal tersebut, yakni: “Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum”.
Adanya perubahan ketentuan dalam pasal ini berdasarkan putusan majelis hakim MK atas permohonan uji materi nomor perkara 130/PUU-XIII/2015.
“Penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat tujuh hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan,” ujar ketua MK, Arief Hidayat dalam persidangan di MK, Jakarta, Rabu (11/1/2017).
Sementara itu, hakim anggota MK, Suhartoyo menjelaskan pertimbangan MK atas putusan tersebut.
Menurut dia, tidak adanya pemberitahuan kepada pihak terlapor dan korban tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum tetapi juga merugikan hak konstitusional bagi kedua pihak tersebut.
“Oleh karena itu penting bagi mahkamah untuk menyatakan bahwa pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum akan tetapi juga terhadap terlapor dan korban,” kata dia.
Selain itu, dengan memberikan batasan waktu dan disampaikan kepada terlapor dan korban maka pihak terlapor dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan menunjuk penasihat hukum untuk mendampinginya.
“Sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya,” kata Suhartoyo.
Suhartoyo menambahkan, MK mempertimbangkan bahwa waktu tujuh hari merupakan estimasi waktu yang cukup bagi penyidik untuk memperisiapkan SPDP tersebut.
Uji materi ini diajukan oleh Choky Risda Ramadhan, Carlos Boromeus Baetrix Tuah Tennes, Usman Hamid dan Andro Supriyanto.
Mereka tergabung dalam Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Mappi FHUI).
Mappi FHUI mengajukan uji materi terhadap Pasal 14 huruf b, Pasal 109 ayat 1, Pasal 138 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 130 dan Pasal 14 huruf i. Namun, MK hanya menerima satu pasal dari sejumlah pasal yang diuji.
Dengan demikian, MK hanya menerima sebagian gugatan uji materi. “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata ketua MK, Arief Hidayat.
Kongres Advokat Indonesia