Papua Sulit Damai Bila Belum Ditemukan Akar Permasalahannya
Papua Sulit Damai Bila Belum Ditemukan Akar Permasalahannya

Papua Sulit Damai Bila Belum Ditemukan Akar Permasalahannya

Papua Sulit Damai Bila Belum Ditemukan Akar Permasalahannya

Hukumonline.com – Pendekatan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)dalam penyelesaian permasalahan di Papua selama ini berfokus pada percepatan pembangunan dan infrastruktur, tetapi tidak menyentuh persoalan mendasar penyebab terjadinya konflik. Hal ini disampaikan Koordinator Jaringan Papua Damai, Pastor Neles Tebay, dalam media briefing bertajuk “Membaca Papua pada Kepemimpinan Jokowi”,yang diselenggarakan SETARA Institute, Kamis (13/10), di Jakarta.

Pastor Neles Tebay menegaskan bahwa perdamaian di Papua tidak mungkin dapat direalisasi tanpa memahami akar permasalahannya. Pastor Neles Tebay meminta Pemerintah Indonesia untuk menjalankan roadmap yang telah dibuat oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), berdasarkan hasil riset yang dilakukan di Papua selama 4 tahun, yakni 2004-2008.

Berdasarkan hasil penelitian LIPI tersebut, Pastor Neles Tebay menjelaskan, ada empat akar permasalahan yang terjadi tanah di Papua. Pertama, permasalahan pembangunan pada empat bidang pokokyaitupendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur. Kedua, diskriminalisasi dan marjinalisasi terhadap orang asli Papua. Ketiga, kekerasan oleh negara terhadap orang asli Papua yang menyebabkan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia.Keempat, adanya perbedaan interpretasi tentang sejarah masuknya Papua ke dalam Republik Indonesia.

Dari identifikasi permasalahan yang terjadi di Papua, LIPI telah menyusun roadmap untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Papua. Pastor Neles Tebay meminta pemerintah Indonesia mengikuti roadmap LIPI tersebut. Penyelesaian permasalahan di Papua tidak cukup hanya dengan membangun infrastruktur, tetapi mengabaikan pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di Papua.

“Yang dibutuhkan untuk mewujudkan Papua Damai adalah kesediaan dan komitmen Pemerintah Indonesia untuk terlibat dalam dialog dengan masyarakat papua secara inklusif, berjenjang, dan bertahap,” ujar Pastor Neles Tebay.

Ia menjelaskan dialog yang inklusif dan bertahan harus dimulai dari dialog yang melibatkan masyarakat asli Papua dan masyarakat pendatang yang sudah menjadi bagian dari penduduk yang tinggal dan menetap di Papua. Keterlibatan masyarakat dalam dialog ini penting untuk membangun rasa memiliki atas proses perdamaian yang tengah dijajaki dan membangun keterikatan atas solusi damai yang dihasilkan.

Permasalahan sektoral yang dihadapi masyarakat Papua seperti minimnya akses terhadap kesehatan dan pendidikan, menurut Pastor Neles Tebay, juga membutuhkan penyelesaian dengan melakukan dialog sektoral yang melibatkan pemangku kepentingan terkait. Ia mencontohkan,khusus mengenai kualitas pendidikan bagi anak-anak Papua perlu dibenahi dengan membangun dialog sektoral yang melibatkan Kemendiknas, Kemenristekdikti, Dinas Pendidikan di Papua, serta tokoh-tokoh pendidikan nasional dan lokal yang peduli terhadap masa depan pendidikan anak-anak di Papua.

Pemerintah juga dinilai perlu membangun dialog dengan tokoh-tokoh Papua yang menjadi kunci untuk mewujudkan perdamaian di Papua. Presiden Jokowi dinilai perlu untuk mengirimkan seorang utusan khusus yang diberikan mandat untuk melakukan pendekatan secara kultural kepada tokoh-tokoh Papua.

“Pemerintah Indonesia perlu membangun dialog dengan figur-figur yang menjadi representasi orang Papua. Utusan Presiden ini yang akan diberi mandat untuk meyakinkan figur-figur kunci tersebut bahwa Papua aman berada dalam keluarga besar Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.

Salah Pendekatan
Romo Benny Soesatyo, Sekretaris Dewan Nasional SETARA Institute, menilai selama ini ada kesalahan pendekatan dalam menangani permasalahan di Papua. Bahwa pendekatan dengan cara-cara kekerasan atau secara otriter di Papua selama ini justru meluaskan simpul-simpul perlawanan. “Pendekatan dalam menyelesaikan masalah papua mesti diganti dengan menggunakan pendekatan secara persuasif, pendekatan kultural, dan pendekatan humanis,” ujar Romo Benny.

Romo Benny mengatakan, sangat berlebihan cara pemerintah dalam menangani kelompok pemuda Papua yang jumlahnya paling puluhan orang di tiap kota, tetapi diperlakukan sebagai kelompok separatis yang mengancam keamanan negara. Dia menilai Presiden Jokowi sebenarnya adalah figur humanis yang tidak memiliki beban masa lalu terhadap masyarakat Papua dan berani melawan arus, ia memiliki harapan besar kepada Presiden Jokowi untuk mewujudkan Papua Damai.

Walaupun selama ini dalam statement politiknya mengenai Papua, Presiden Jokowi hanya secara simbolik menyatakan akan lebih sering datang berkunjung ke Papua untuk menunjukkan komitmennya dalam menyelesaikan permasalahan di Papua. Namun menurut Romo Benny, selama ini tidak pernah sekalipun Presiden menyatakan dalam pernyataan resminya untuk membangun dialog antara Jakarta dan Papua untuk mewujudkan Papua Damai.

Senada dengan Romo Benny, Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos, juga meletakkan beban tanggung jawab di pundak Presiden. Menurutnya, perdamaian di Papua tergantung pada Kebijakan Presiden, tidak peduli siapapun Menterinya.Selama ini,banyak anggapan yang menyebabkan buntunya penyelesaian permasalahan HAM di Papua adalah karena Menkopolhukam sebelumnya, Luhut Binsar Panjaitan, selalu menyebut kelompok perlawanan di Papua sebagai gerakan separatis. Dan Menkopulhakam penggantinya adalah Wiranto, yang disebut-sebut bertanggungjawab atas pelanggaran HAM di Timor Timur.

Menurut Bonar, permasalahan di Papua tidak serumit permasalahan di Aceh yang melibatkan sentimen agama dan dimotori oleh tokoh-tokoh pentolan GAM yang berdiaspora dan menekan pemerintah Indonesia dalam politik Internasional. “Permasalahan di Papua itu asalkan pemerintah mau berdialog dengan masyarakat. Kuncinya apakah Presiden Jokowi mau atau tidak menjalankan roadmap yang sudah ada untuk membuka pintu dialog demi mewujudkan Papua Damai,” ucap Bonar.

Pastor Neles Tebay mengamini pernyataan Romo Benny. Menurutnya, pendekatan kepada kelompok-kelompok perlawanan mesti dilakukan sebagai bagian dari tahapan rekonsiliasi. Ia menjelaskan bahwa simpul-simpul kelompok perlawanan Papua memiliki wajah yang berbeda dengan sebelumnya. “Jika pada masa sebelumnya, kelompok yang dinamakan sebagai kelompok separatis melakukan gerilya di dalam hutan, sekarang wajah dari simpul perlawanan Papua adalah anak-anak muda yang menempuh pendidikan di kota-kota besar,” kata Pastor Neles Tebay.

(Kongres Advokat Indonesia)

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024