Hukumonline.com – “Apakah kamu sudah makan atau belum?” Siang itu di Pengadilan Tipikor Bandung, pertanyaan yang keluar dari mulut salah satu majelis hakim sempat mengagetkan seisi ruangan. Majelis menanyakan kepada seorang saksi di persidangan mengenai kondisinya yang terlihat kurang fit
Aktivis LBH Bandung, Asaad Ahmad ingat betul bahwa pertanyaan hakim itu dijawab gelengan kepala oleh si saksi. Sontak, penuntut umum yang menghadirkan saksi itu ditegur oleh majelis hakim.
“Ini Bu Jaksa gimana kok gak dikasih makan?”, dijawab dengan “iya pak nanti dikasih makan,” tiru Asaad saat mengenang pengalaman yang disaksikannya itu.
Saat itu, Asaad bertugas sebagai salah satu pemantau untuk persidangan perkara tindak pidana korupsi khusus di Pengadilan Tipikor Bandung. Menurutnya, teguran hakim siang itu beralasan, karena sudah melewati waktu makan siang hari, yakni sekitar pukul 14.00 atau 15.00 WIB. Padahal, saksi tersebut telah datang di pengadilan dari pagi hari. Akhirnya, sidang pun diskors. Hakim meminta jaksa untuk memberikan makanan kepada saksi.
“Itu yang kelihatan, gimana kalau yang lain gak ditanya, itu kebetulan ditanya. Ketika dia lapar gimana memberikan kesaksiannya, gak konsen gitu,” ujar Asaad bercerita kepada hukumonline, akhir September lalu.
Asaad merupakan salah satu pemantau kinerja persidangan perkara korupsi di lima Pengadilan Tipikor di Indonesia sejak Agustus 2015 hingga Juni 2016. Pantauan ini merupakan kerja sama antara Lembaga Kajian & Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) bersama Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Keempat daerah lainnya adalah Pengadilan Tipikor Makassar, Pengadilan Tipikor Jakarta, Pengadilan Tipikor Surabaya dan Pengadilan Tipikor Medan.
Lain Bandung, lain juga pengalaman yang terjadi di Pengadilan Tipikor Makassar. Salah satu pemantau Pengadilan Tipikor Makassar, Muhdasin mengatakan, saksi terjauh yang dihadirkan dalam perkara korupsi di Pengadilan Tipikor Makassar berasal dari Kabupaten Kepulauan Selayar yang berbatasan sebelah timur dengan Laut Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur itu.
Waktu tempuh dari Kepulauan Selayar ke Kota Makassar memakan satu hari satu malam. Dari Kepulauan Selayar, saksi harus naik kapal feri ke Bulukamba. Kemudian, dari Bulukamba melalui jalur darat ke Makassar yang memakan waktu sekitar enam jam. Tapi karena koordinasi antara penuntut umum dengan saksi kurang efektif, mengakibatkan jadwal sidang yang telah ditentukan menjadi berantakan.
“Hari itu mereka (saksi) tidak tahu, artinya jadwalnya hari itukan disidangkan tapi karena persoalan kurang koordinasi dan mereka tidak tahu akhirnya sidang itu ditunda,” kata Muhdasin yang merupakan aktivis di Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia itu.
Kehadiran saksi ‘jauh’ ini menyisakan persoalan lain, bukan hanya waktu tempuh yang panjang. Masalah ongkos, menjadi sorotan para saksi. Bahkan, tak jarang dikeluhkan. Dari sejumlah pengakuan saksi kepada Muhdasin, ongkos perjalanan dari tempat tinggal mereka ke pengadilan dibayarkan sendiri. Tapi ada ongkos yang digantikan oleh jaksa.
“Pengakuan saksi dan terdakwa, mereka pakai anggaran sendiri, tapi ada pernyataan bahwa itu akan digantikan oleh JPU,” ujarnya.
Saksi ‘jauh’ juga terjadi di Pengadilan Tipikor Medan. Pemantau Pengadilan Tipikor Medan, Ibrahim Sahdar mengatakan, saksi terjauh sepanjang pemantauan dirinya berasal dari Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara. Perkaranya terkait dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan Balai Benih Induk (BBI).
Awalnya, saksi menggunakan kapal kecil dari Teluk Dalam ke Nias dengan menempuh waktu enam jam. Kemudian, dari Nias menuju Sibolga dengan waktu tempuh 2,5 jam. Lalu dari Sibolga, saksi tersebut menuju Medan yang memakan waktu perjalanan sekitar 14 jam. Ironisnya, dari saksi yang hadir, mayoritas tak memperoleh ongkos penganti. “Banyak juga saksi yang gak dapat uang,” katanya.
Sementara di Pengadilan Tipikor Surabaya, saksi terjauh datang dari Trenggalek, menempuh tujuh jam perjalanan untuk sampai ke peradilan. Namun, kata pemantau Pengadilan Tipikor Surabaya Moh Soleh, saksi itu harus kecewa dengan kondisi yang terjadi. Saksi yang meluncur dari Trenggalek dari jam satu malam itu dan sampai pengadilan jam delapan pagi tersebut, baru bisa ikut persidangan sekitar jam empat sore.
“Jadwal sidang yang tidak tepat waktu sesuai agenda yang ditentukan pada sidang sebelumnya sehingga berakibat, contoh soal masalah jarak,” kata Soleh.
Ngaretnya agenda sidang juga dirasakan pemantau Pengadilan Tipikor Jakarta, Siska Trisia. Sebelumnya Siska mengetahui bahwa hari beirkutnya akan ada agenda sidang kasus dengan terdakwa seorang perantara suap yang ditangani KPK, Marudut Pakpahan jam sembilan pagi. Setelah dirinya sampai ke pengadilan, ternyata sidang ditunda dan baru mulai lagi jam lima sore. Alasannya, ada majelis hakim yang tengah menangani perkara lain.
“Dari awal saya mantau, besok ditunda jam sembilan. Tapi ngga ada yang dimulai. Kasus marudut ternyata baru jam lima sore. Kemudian Maghrib istirahat dan dimulai lagi jam 19.30. Akhirnya sidang sampai jam 10 malam,” katanya.
Sementara itu, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Ridwan Mansyur mengatakan, masalah di persidangan memang wajib dicari jalan keluarnya oleh seluruh stakeholder. Misalnya persoalan pemberian makanan, minuman atau sekedar camilan seperti permen kepada terdakwa atau saksi yang hadir dan menunggu sidang.
Menurut Ridwan, makanan untuk terdakwa yang ditahan di rutan bisa diberikan pihak rutan dalam hal ini kewenangan Kementerian Hukum dan HAM. Sedangkan untuk saksi, tergantung siapa yang menghadirkan, penuntut umum ataupun dari pihak penasihat hukum. Meski begitu, pihak peradilan juga bisa turut andil. Namun, lantaran terbatasnya anggaran, persoalan ini perlu menjadi pembicaraan bersama.
“Kami ingin cari solusi minimal ada kompensasi terhadap mereka yang tunggu lama. Kami ingin minta anggaran, sudah diusulkan tapi anggaran sangat terbatas,” ujarnya.
(Kongres Advokat Indonesia)