Cnnindonesia.com – Wacana agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) termuat dalam konstitusi negara yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kembali digaungkan. Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie menyebut, ada tiga isu penting yang hingga kini belum masuk dalam UUD 1945, termasuk isu lingkungan dan korupsi.
Padahal menurut Jimly, tiga isu tersebut harus mendapat perhatian negara lantaran menyangkut hajat hidup orang banyak. Isu korupsi disebut layak masuk dalam konstitusi bukan hanya karena termasuk dalam kategori kejahatan luar biasa, tetapi juga karena menjadi isu yang tak akan pernah berakhir untuk diberantas.
“Isu korupsi memang harus diperkuat dengan dimasukkan dalam konstitusi. Korupsi ini never ending,” tutur Jimly dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional di Jakarta, Kamis (6/10).
Jimly menjadi salah satu narasumber utama dalam seminar bertajuk “Konstelasi Politik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan” tersebut. Ia memaparkan materi tentang model pengaturan dalam membangun sistem peraturan perundang-undangan yang terintegrasi.
Pernyataan Jimly itu menjawab pertanyaan Kepala Biro Hukum KPK Setiadi yang menjadi salah satu peserta seminar. Setiadi menuturkan, KPK ingin secara resmi meminta agar tidak hanya isu korupsi, melainkan juga KPK menjadi lembaga negara yang disebut dalam UUD 1945.
Wacana memperkuat eksistensi KPK dengan memasukkannya ke dalam UUD 1945 baru-baru ini disampaikan oleh mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana. Denny menyebut, penguatan lewat konstitusi penting untuk meredam beragam upaya oknum yang ingin melemahkan kewenangan dan keberadaan KPK.
“Salah satunya terkait beberapa uji materi kewenangan KPK dan upaya pembubaran karena KPK dianggap hanya lembaga sementara alias ad hoc,” kata Denny di Jakarta, 28 September lalu.
Meski demikian, Jimly meminta agar KPK tidak terlibat dalam politik praktis dengan ikut mewacanakan agar lembaga itu masuk dalam konstitusi. Sebagai lembaga pelaksana undang-undang, KPK diminta menghindarkan diri dari keterlibatan mengenai UU mereka sendiri.
Menurut Jimly, pemerintah dan DPR memang wajib mendengarkan masukan dari KPK sebagai pelaksana UU, namun inisiatif jangan datang dari KPK.
“Kalau inisiatif dari kita, nanti kita tergoda untuk berpolitik. Mengirim surat kepada presiden, menolak RUU, tidak seperti itu. Jangan aktif supaya KPK fokus pada penegakkan hukum. Jangan melibatkan KPK pada proses politik. Ini soal cara saja,” ujar Jimly.
Terkait lingkungan hidup, Jimly melanjutkan, hal tersebut merupakan isu yang menyangkut persoalan kemanusiaan. Belajar dari Perancis, negara tersebut telah memasukkan isu lingkungan hidup dalam konstitusinya sejak tahun 2006.
“Isu lainnya adalah human rights. Institusi yang mengurusi isu ini, seperti Komnas HAM, harus masuk dalam konstitusi karena isu-isu tersebut punya kepentingan konstitusional yang harus disikapi dengan serius,” katanya.
Isu korupsi yang dipimpin KPK diatur dalam UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sementara keberadaan KPK sebagai sebuah lembaga diatur dalam UU Nomor 30 tahun 2002.
Isu lingkungan hidup telah diatur dalam UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diatur dalam UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan.
Sementara itu, isu hak asasi manusia (HAM) diatur dalam UU Nomor 39/1999 tentang HAM dan UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
(Kongres Advokat Indonesia)