Kompas.com – Komisi I DPR berjanji untuk mengawasi proses revisi aturan mengenai berbagi jaringan infrastruktur telekomunikasi atau network sharing agar tidak terjadi polemik dalam implementasinya. Walaupun, revisi aturan tersebut merupakan domain pemerintah
Seperti diketahui, aturan network sharing akan masuk dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP No. 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Radio dan Orbit Satelit.
Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari mengatakan hal tersebut saat menerima perwakilan dari Lembaga Independen Pemantau Kebijakan Publik yang dipimpin oleh Sheilya Karsya di Komisi I DPR, Rabu (5/10/2016) kemarin.
Abdul Kharis ditemani oleh Wakil Ketua Komisi I Meutya Hafidz dan sejumlah anggota Komisi I lain.
Dalam kesempatan pertemuan tersebut, Lembaga Independen Pemantau Kebijakan Publik menyampaikan keluhan tentang proses revisi PP 52 dan 53 Tahun 2000 yang dinilai kurang transparan.
Selain tidak transparan, Lembaga ini juga menilai revisi PP tidak sesuai dengan semangat pemerintah mendorong penyediaan jaringan telekomunikasi nasional sesuai UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
“Yang perlu saya sampaikan, meskipun revisi PP adalah domain pemerintah, DPR punya tanggung jawab mengawasi agar proses revisi taat azas dan tidak menimbulkan masalah,” kata Abdul, melalui keterangannya, Rabu (6/10/2016).
Lembaga Independen Pemantau Kebijakan Publik dalam kesempatan tersebut mengungkapkan, pihaknya menilai langkah revisi yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) belum sesuai dengan peraturan.
Sebab, langkah revisi seharusnya terbuka, transparan dan melibatkan unsur masyarakat dalam memberikan masukan.
“Kenyataannya, revisi PP berjalan tertutup. Padahal sebelumnya kami telah mendatangi dan meminta BRTI agar proses revisi PP dapat berjalan terbuka,” kata Sheila.
Risiko Bisnis
Selain itu, ada dampak negatif pada bisnis telekomunikasi jika revisi PP tersebut disahkan secara sepihak.
Lembaga ini menilai, secara bisnis kebijakan network sharing dan spectrum sharing dalam revisi PP No. 52 dan 53 Tahun 2000 justru membuat operator telekomunikasi malas membangun jaringan baru.
Operator juga akan condong mengandalkan operator eksisting, padahal ada risiko jangka panjang yang besar.
“Terutama, jika lebih banyak mengandalkan satu jaringan telekomunikasi tanpa back-up, khususnya untuk kawasan pelosok seperti di luar Jawa,” lanjut Sheila.
Padahal, tentu harus diperhitungkan dengan baik, jika terjadi kerusakan jaringan, maka masyarakat akan kesulitan memperoleh layanan telekomunikasi karena hanya dibebankan pada satu jaringan telekomunikasi saja.
Sheila melanjutkan, pihaknya mendesak DPR RI khususnya Komisi I agar segera memanggil dan mengadakan rapat dengan Menkominfo Rudiantara atas rencana revisi PP No. 52 dan 53 Tahun 2000 yang dinilai cacat hukum tersebut.
“Jika pada akhirnya PP hasil revisi tetap dijalankan, kami akan melakukan judicial review karena meyakini bahwa PP tersebut bertentangan dengan payung hukum diatasnya yaitu UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi,” ucap Sheila.
Revisi Aturan
Seperti diketahui, pemerintah tengah melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 52 tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan PP 53 tahun 2000 tentang frekuensi dan orbit satelit.
Revisi dari kedua aturan ini diyakini banyak pihak akan mengubah lanskap dari industri telekomunikasi karena munculnya model bisnis Mobile Virtual Network Operator (MVNO) dan berbagi jaringan aktif (Network Sharing).
Dengan adanya network sharing diharapkan akan secara langsung memberikan manfaat kepada masyarakat, salah satunya berupa kesempatan mendapatkan tarif layanan telekomunikasi yang lebih murah karena ada keleluasaan sebagai hasil kompetisi pelayanan.
(Kongres Advokat Indonesia)