Hukumonline.com – Pemerintah pusat atau pemerintah daerah provinsi seharusnya hanya diberi wewenang me-review (mengevaluasi) peraturan daerah (perda) sebagai produk hukum legislatif daerah apabila statusnya masih dalam rancangan perda yang belum mengikat secara umum. Namun, apabila perda sudah mengikat umum (disahkan) sebaiknya yang berwenang mengujinya adalah lembaga peradilan (Mahkamah Agung).
Pandangan ini disampaikan Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Ni’matul Huda saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang pengujian beberapa pasal UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Permohonan ini diajukan oleh Abda Khair Mufti, Muhammad Hafidz, Amal Subkhan, Solihin, Totok Ristiyono dan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) terkait konstitusionalitas wewenang gubernur dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) membatalkan perda.
Ni’matul menerangkan sistem judicial review yang dianut UUD 1945 adalah centralized model of judicial review, bukan decentralized model, seperti ditentukan Pasal 24A ayat (1) jo Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. “Sistem judicial review disatuatapkan di bawah MA dan MK (sentralisasi),” kata ahli yang sengaja dihadirkan MK ini.
Ditegaskan Ni’matul, dari segi pembuatan/penyusunan perda baik provinsi maupun kabupaten/kota disetarakan dengan Undang-Undang sebagai produk hukum lembaga legislatif. Sedangkan, dari sisi isi sudah seharusnya sesuai dengan lingkup kewenangan daerah bersangkutan. Sebab, tak jarang peraturan yang lebih tinggi potensial melanggar hak dan kewajiban daerah yang dijamin UUD 1945 dan UU Pemerintahan Daerah.
Untuk itu, kata dia, wewenang pembatalan perda seharusnya tidak ada dipundak Pemerintah, tetapi dilakukan oleh MA melalui proses pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU. Menurutnya, pemerintah pusat (Mendagri dan gubernur) seharusnya tetap melakukan executive review dalam bentuk evaluasi terhadap semua raperda provinsi dan kabupaten/kota terkait RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi dan tata ruang daerah sebelum ditetapkan gubernur atau bupati/walikota.
Ahli lainnya, Ryaas Rasyid, berpandangan hampir sama. Kata dia, kewenangan membatalkan perda tetap wewenang pengadilan sebagai lembaga yudikatif. Hanya saja, selama ini penanganan judicial review di MA seringkali memakan waktu yang cukup lama lantaran jumlah perkara yang masuk sangat banyak, sementara jumlah hakim agung tidak sebanding.
“Makanya, ke depan perlu dipikirkan apakah mungkin kewenangan judicial review di MA ini didelegasikan kepada pengadilan yang lebih rendah dalam menguji perda?” usulnya.
Mantan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara di era Presiden Abdurahman Wahid ini menegaskan apabila ingin konsisten menegakkan negara hukum semua pengujian produk peraturan perundang-undangan termasuk perda harus melalui lembaga pengadilan. Sementara sejak terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 hingga UU No. 23 Tahun 2014, pemerintah pusat tetap diberi wewenang mengkaji raperda provinsi atau kabupaten/kota.
“Gubernur memeriksa raperda kabupaten/kota, Mendagri memeriksa raperda provinsi. Ini mekanisme pengawasan sudah bagus. Lebih bagus lagi, sebelum menyusun raperda, pemerintah daerah berkonsultasi dulu kepada kemendagri. Ini lebih efisien, karena setiap penyusunan raperda biayanya besar dan memakan waktu,” kata dia.
Sebelumnya, Abda Khair Mufti, Muhammad Hafidz, Amal Subkhan, Solihin, dan Totok Ristiyono mempersoalkan Pasal 251 ayat (1), (2), (7), (8) UU Pemda terkait wewenang Gubernur dan Mendagri membatalkan Perda sepanjang bertentangan peraturan perundang-undangan lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Faktanya kewenangan ini potensial disalahgunakan pemerintah pusat yang mengarah resentralisasi meski ada proses keberatan pembatalan perda provinsi/kabupaten ke presiden dan Mendagri.
Menurut Para Pemohon wewenang pembatalan perda ini masuk lingkup kewenangan judicial review oleh MA sesuai Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 karena termasuk hierarki peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Para Pemohon meminta Pasal 251 ayat (1), (2) UU Pemda inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai mendagri atau gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan Perda ke MA paling lambat 14 hari setelah ditetapkan. Sedangkan, Pasal 251 ayat (7), (8) UU Pemda minta dibatalkan.
FKHK memohon pengujian Pasal 245 ayat (1), (3); Pasal 251 ayat (1-4); 267 ayat (1), (2); Pasal 268 ayat (1); Pasal 269 ayat (1); Pasal 270 ayat (1); Pasal 271 ayat (1); Pasal 234 ayat (1), (2); Pasal 325 ayat (1), (2) UU Pemda dan Pasal 31 ayat (2) UU MA. Pasal-pasal ini menimbulkan ketidakpastian hukum akibat polemik dan problematik akademis mengenai pengawasan pemerintah pusat dan pengujian norma Perda yang selama ini dualisme. FKHK meminta tafsir MK agar kewenangan pembatalan Perda wewenang MA, sedangkan pemerintah pusat hanya sebatas preview terhadap setiap rancangan Perda.
(Kongres Advokat Indonesia)