Hukumonline.com – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diminta proaktif melakukan pantauan terhadap penggunaan dana kampanye. Memasuki perhelatan Pemilhan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 2017 mendatang, peran Bawaslu selaku pengawas kian berat. Laporan dana kampanye yang dilaporkan masing-masing calon mesti dipelototi Bawaslu.
“Bawaslu harus lebih proaktif ketika laporan dana kampanye sudah di terima KPUD,” ujar Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz di Jakarta, Kamis (29/9).
Peran Bawaslu melakukan momonitoring terhadap pemasukan dan pengeluaran dana mesti menjadi prioroitas sorotan Bawaslu. Misalnya, Bawaslu dapat bekerjasama dengan Pusat Pelaporan Transaksi Keuangan (PPATK). Sebab dengan begitu, Bawaslu dapat mengetahui aliran masuk dan keluarnya pendanaan dalam kampanye calon kepala daerah.
“Kita berharap Bawaslu terlibat aktif. Kuncinya political will mereka,” ujarnya.
Laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye tidak terekam biaya fantastis yang digunakan oleh pasangan calon dalam Pilkada. Hal itu disebabkan karena tiga hal. Pertama, calon kepala daerah tidak tertib dan jujur dalam mencatat dan melaporkan dana kampanyenya. Laporan dana kampanye yang diterbitkan KUPUD masih dianggap sebagai pemenuhan administrasi semata, agar calon tidak dibatalkan kepesertaannya. Padahal boleh jadi, laporan dana kampanye tersebut tidak sesuai realita yang dikeluarkan oleh calon pasangan.
Kedua, laporan dana kampanye pasangan calon selama ini tidak diawasi secara maksimal. Pasalnya audit dana kampanye hanya sebatas kepatuhan dan didasarkan laporan yang dilaporkan calon. Sayangnya, KUPD tidak memiliki laporan pembanding untuk mengetahui sesuai tidaknya laporan dana kampanye yang dilaporkan calon pasangan Pilkada.
Ketiga, terdapat pengeluaran illegal dalam kampanye. Misalnya, mahar politik dan politik uang. Bahkan, kata Donal, tidak menutup kemungkinan pasangan calon tetap beriklan dan menyebarkan bahan kampanye di luar yang didanai negara. “Pengeluaran tersebut tentu tidak dicatata dan dilaporkan,” ujarnya.
Memang dalam Pilkada serentak, pasangan calon dalam berkampanye pembiayaan kampanye ditanggung negara yang berasal dari APBN dan APBD. Menurutnya semangat efisiensi subsidi dana kampanye terbilang semu. Faktanya, bila merujuk pernyataan Kemendagri, masih terdapat pasangan calon yang mengeluarkan dana cukup besar dalam Pilkada.
“Bahkan Kemendagri memperkirakan dana yang dikeluarkan pasangan calon akan meningkat pada Pilkada 2017. Penyebabnya adalah berubahnya sejumlah regulasi dalam UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada,” ujarnya.
Peneliti ICW Almas Sjafrina menambahkan, aturan yang diubah adalah Pasal 65 terkait dengan pelaksanan dan pendanaan kampanye. Bila Pilkada 2015 pasangan calon tidak diperbolehkan menyebarkan bahan kampanye dan memasang alat peraga di luar subsidi negara melalui APBN, namun kedua item tersebut dapat didanai oleh pasangan calon atau partai politik pendukung dalam Pilkada mendatang.
Selain itu, batasan sumbangan dana kampanye pada Pilkada 2015 meningkat 50 persen. Awalnya, sumbangan perseorangan dibatasi hanya Rp50 juta menjadi Rp75 juta. Sedangkan badan hukum swasta awalnya dibatasi Rp500 juta menjadi Rp750 juta. “Ketentuan ini semakin menununjukan UU Pilkada pada dasarnya turut mendorong pembiayaan kampanye tinggi,” ujarnya.
Menurut Almas, kampanye berbiaya tinggi patut diwaspadai. Pasalnya, pendanaan kampanye memiliki relasi dekat dengan korupsi pra maupun pasca Pilkada. Setidaknya, kampanye berbiaya tinggi dapat menjadi titik temu ‘uang haram’ antara politisi yang membutuhkan dana kampanye dengan kelompok tertentu, serta pemilik dana yang menginginkan kebijakan publik.
Ia menilai kampanye berdana tinggi menyebabkan pencalonan kepala daerah tidak sepenuhnya dilandasi jejak rekam, kapasitas dan integritas. Kepemilikan atas modal kampanye menjadi faktor menentukan. “Persoalan ini juga membuat kebijakan subsidi dana kampanye yang dikeluarkan negara menjadi tidak efektif,” pungkasnya.
(Kongres Advokat Indonesia)