Cnnindonesia.com – Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman penjara empat tahun enam bulan (4,5 tahun) kepada mantan anggota Komisi V DPR RI Damayanti Wisnu Putranti. Selain itu, Damayanti juga harus membayar denda Rp500 juta subsider tiga bulan penjara.
Damayanti dinyatakan bersalah karena terbukti menerima suap dalam proyek infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di wilayah Maluku dan Maluku Utara.
“Menyatakan terdakwa bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan pidana sesuai dakwaan alternatif pertama,” ujar Ketua Majelis Hakim Sumpeno di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (26/9).
Damayanti terlihat menangis saat dimulai pembacaan vonis hingga akhir persidangan.
Menurut Sumpeno, Damayanti telah mengaku bersalah karena menerima suap dari Direktur PT Windhu Utama Abdul Khoir. Dia diduga menerima hadiah berupa uang sebesar Sin$328 ribu dan Sin$404 ribu.
Pemberian suap diduga sebagai hadiah supaya mantan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu memasukkan usul kegiatan pelebaran Jalan Tehoru-Laimu di Maluku dalam program aspirasi.
Nantinya, proyek senilai Rp41 miliar tersebut akan dikerjakan oleh PT Windhu Tunggal Utama. Atas usulan tersebut, Damayanti mendapatkan jatah 6 persen dari nilai proyek.
Damayanti juga terjerat suap untuk keperluan Pilkada Jawa Tengah senilai Rp1 miliar yang diberikan oleh Abdul Khoir melalui stafnya bernama Erwantoro.
Menurut Majelis Hakim, Damayanti terbukti bersalah melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor) Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Juncto Pasal 65 ayat ke-1 KUHP.
Dalam pertimbangan keputusan majelis hakim, terdapat hal-hal yang meringankan Damayanti, yakni berlaku sopan, mengakui perbuatannya, belum pernah terlibat perkara hukum, dan jujur.
Damayanti juga menurut majelis hakim merupakan wakil rakyat yang memperjuangkan aspirasi kampung nelayan dan infrastruktur di daerah pemilihannya, memiliki tanggungan keluarga, dan mengembalikan uang negara.
Terdapat juga yang memberatkan hukuman Damayanti, yaitu tidak mendukung program pemerintah dalam upaya memberantas korupsi, dan merusak demokrasi yang membuat check and balance antara eksekutif dan legislatif menjadi tidak efektif.
Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Damayanti dituntut pidana enam tahun penjara, dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan.
Atas vonis tersebut, pihak Damayanti maupun Jaksa Penuntut Umum memilih untuk berpikir terlebih dahulu selama sepekan apakah mengajukan banding atau tidak.
(Kongres Advokat Indonesia)