Hukumonline.com – Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) akhirnya mempersoalkan Pasal 4 ayat (1) huruf f Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No. 9 Tahun 2016 tentang Pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Beleid ini mengatur calon kepala daerah yang sedang berstatus terpidana percobaan dan tidak menjalani hukuman pidana penjara boleh mengikuti Pilkada Serentak 2017.
Koalisi LSM beralasan Pasal 4 yat (1) huruf f Peraturan KPU No. 9 Tahun 2016 menimbulkan ketidakpastian hukum pencalonan pilkada karena bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU No. 10 Tahun 2016 yang mengatur Pilkada. Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada ini secara gamblang menyebut syarat calon kepala daerah tidak sedang berstatus sebagai terpidana tindak pidana apapun, kecuali bagi mantan terpidana.
“Ada inkonsistensi terhadap dua aturan tersebut. Kan terpidana yang sedang menjalani masa hukuman percobaan disebut terpidana juga. Makanya, kita minta MA mencabut Pasal 4 ayat (1) huruf f Peraturan KPU No. 9 Tahun 2016 karena bertentangan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada,” ujar Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif) Veri Junaedi usai mendaftarkan uji materi Peraturan KPU ini di Gedung Mahkamah Agung, Senin (26/9).
Selain KoDe Inisiatif, tercatat sebagai Pemohon yakni Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Pasal 4 ayat (1) huruf f Peraturan KPU No. 9 Tahun 2016 menyebut “WNI dapat menjadi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut : (f) Terpidana karena kealpaan ringan (culpa levis), terpidana yang tidak menjalani pidana dalam penjara wajib secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan sedang menjalani pidana”.
Veri menerangkan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada diperuntukkan bagi mantan terpidana yang boleh mendaftar calon kepala daerah sepanjang terbuka kepada publik kalau dirinya sebagai mantan terpidana. Sementara Pasal 4 ayat (1) huruf f Peraturan KPU No. 9 Tahun 2016, terpidana percobaan boleh mendaftarkan calon kepala daerah sepanjang mengumumkan ke publik bahwa dirinya sedang menjalani hukum percobaan.
“UU Pilkada sudah mengatur siapapun yang berstatus terpidana dengan hukuman pidana apapun belum memenuhi syarat pencalonan kepala daerah. Ini kan jelas ada pertentangan hukum yang perlu diluruskan majelis MA,” kata dia.
Dia mengatakan permohonan ini didasarkan pada harapan tersedianya calon kepala daerah yang berintegritas dan tidak sedang bermasalah dengan hukum. “Kita menginginkan calon kepala daerah yang baik dan bertanggung jawab. Kalau ada calon kepala daerah terbelit masalah hukum, seharusnya selesaikan dulu masa hukumannya, diperiode berikutnya kan bisa mencalonkan kembali,” kata dia.
Pemohon mencatat ada satu pasangan calon Gubernur Gorontalo petahana yang saat ini berstatus terpidana percobaan mengikuti Pilkada Serentak 2017 yang diikuti 101 daerah ini. “Sampai hari ini, kita hanya menemukan satu pasangan calon yang maju dalam Pilkada Serentak 2017,” kata Veri.
Mengingat semakin dekatnya jadwal tahapan KPU, Para Pemohon meminta MA segera memproses dan memutus permohonan ini sebelum tahapan penetapan calon kepala daerah yakni 24 Oktober 2016. “Dalam permohonan provisi, kita minta MA mempercepat memutus permohonan ini agar ada kepastian hukum bagi KPU dalam proses penetapan calon kepala daerah,” harapnya.
Mencampuradukkan
Perwakilan ICW, Donald Faridz menilai Komisi II DPR dan KPU telah mencampuradukkan norma dalam persoalan ini. “Mereka telah mencampuradukkan antara pengertian terpidana percobaan dengan mantan terpidana, ini kan sebetulnya jelas berbeda,” kata Donald di tempat yang sama.
Dia melihat kedua lembaga seolah menutup mata atas norma UU Pilkada yang memperbolehkan mantan terpidana mengikuti konstestasi pilkada. “Bukan orang yang sedang menjalani pidana percobaan meski tidak dipenjara. Ini seharusnya tetap dilarang. Kita berupaya agar Peraturan KPU ini selaras dengan UU Pilkada lewat judicial review ini,” harapnya.
Untuk diketahui, beberapa waktu MK menggelar sidang perdana pengujian Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang diajukan Gubernur Gorontalo Rusli Habibie yang diwakili kuasa hukumnya. Rusli, yang saat ini berstatus terpidana percobaan gara-gara menghina/memfitnah mantan Kabareskrim Polri Budi Waseso, hendak mencalonkan kembali dalam Pemilihan Gubernur Gorontalo pada Pilkada 2017 ini.
Rusli divonis Pengadilan Negeri Gorontalo pada awal bulan Agustus 2016 hingga putusan kasasi yang isinya menghukum terdakwa (Rusli Habibie) selama pidana 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun. Rusli dianggap terbukti melakukan fitnah sesuai dakwaan Pasal 317 ayat (1) subsider Pasal 311 KUHP jo Pasal 316 KUHP.
Pasal 7 ayat (2) huruf g intinya menyebutkan calon kepala daerah harus memenuhi syarat tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Menurutnya, norma yang diuji tersebut telah serta merta menghukum dan membatasi hak seseorang yang dapat saja dipidana dengan motivasi persaingan politik semata dan bernuansa “kriminalisasi”. Padahal, seseorang hanya bisa dihukum untuk dilarang mencalonan diri atau dipilih jika hak pilihnya dicabut dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Jika aturan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10 Tahun 2016 diberlakukan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi Pemohon.
Khawatir pencalonannya terganjal, melalui pengujian ini, Rusli meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada dinyatakan inkonstitusional bersyarat yang dimaknai tidak pernah sebagai terpidana yang ancaman hukumannya minimal 5 tahun. Atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
(Kongres Advokat Indonesia)