Detik.com – 4 Pegawai Negeri Sipil (PNS) menggugat PP No 70/2015 tentang kecelakaan kerja dan jaminan kematian bagi aparatur sipil negara ke Mahkamah Agung (MA). Mereka menganggap PP tersebut tidak sesuai dengan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional UU SJSN), UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) dan UU Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Ada pun pasal yang digugat adalah pasal 7 PP 70/2015 tentang kewenangan PT Taspen mengelola program jaminan sosial kepada PNS. Menurut penggugat, hal itu tidak sesuai karena seharusnya BPJS lah yang layak mengatur jaminan sosial para PNS/ASN.
Menurut para penggugat, UU ASN memerintahkan agar Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian yang diberikan kepada ASN sesuai dengan program SJSN. Jika berdasarkan SJSN, maka yang menyelenggarakan Progam Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian adalah BPJS Ketenagakerjaan.
Berikut penjelasan para penggugat dalam siaran pers kepada detikcom, Rabu (21/9/2016):
Pada hari Rabu, 21 September 2016, empat Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengajukan permohonan uji materi atas substansi Pasal 7 PP No. 70 Tahun 2015 yang memberikan kewenangan kepada PT TASPEN (Persero) untuk mengelola program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara. Keempat PNS tersebut adalah Dr. Budi Santoso, SH, LLM yang juga dosen pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, sementara Dwi Maryoso, SH, PNS di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah, Feryando Agung, SH, MH, dan Oloan Nadeak, SH, adalah PNS di lingkungan Kementerian Tenaga Kerja. Alasan untuk kepentingan ilmu pengetahuan merupakan alasan utama para Pemohon mengajukan uji materi ini.
Menurut para Pemohon, kewenangan yang diberikan tersebut telah bertentangan dengan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional UU SJSN), UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) dan UU Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Hal ini didasari bahwa berdasarkan ketiga UU tersebut, yang berwenang menyelenggarakan kedua program di atas adalah badan hukum publik BPJS Ketenagakerjaan yang berprinsip nirlaba dan tidak mengejar keuntungan, bukan PT TASPEN (Persero) sebagai badan usaha yang tujuannya untuk mencari keuntungan. UU ASN memerintahkan agar Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian yang diberikan kepada ASN sesuai dengan program SJSN. Berdasarkan SJSN, maka yang menyelenggarakan Progam Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian adalah BPJS Ketenagakerjaan.
Berdasarkan Pasal 57 juncto Pasal 65 UU BPJS, PT TASPEN (Persero) tetap melaksanakan kegiatan operasional penyelenggaraan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun bagi pesertanya, termasuk penambahan peserta baru sampai dengan dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029. Dalam hal ini, PT TASPEN (Persero) tidak diperkenankan untuk menambah program baru, seperti program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian. Untuk kepentingan ini, Pasal 65 ayat (2) UU BPJS memerintahkan PT TASPEN (Persero) untuk menyusun Roadmap pengalihan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun dari PT TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan. Akan tetapi, PT TASPEN (Persero) justru membuat Roadmap yang isinya ingin mengadakan revisi UU BPJS dengan membatalkan pengalihan PT TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini sangat tampak dalam Roadmap yang dibuat oleh PT. TASPEN (Persero) sebagaimana yang dimuat dalam Peta Jalan 2014 – 2029 dalam Bab 10 tentang aspek sosialisasi dan Advokasi halaman 153 – 166 yang dapat didownload di web resmi PT TASPEN (Persero): www.taspen.co.id.
Oleh karena itu, berdasarkan hal-hal tersebut di atas, para Pemohon memohon kepada Ketua Mahkamah Agung untuk menyatakan pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2015 Tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara bertentangan dengan: Pasal 1 angka 6, Pasal 5 ayat (1), Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial nasional; Pasal 1 angka 1, pasal 4 huruf b, pasal 5 ayat (2), pasal 7 ayat (1), pasal 15 ayat (1) dan (3), 57 huruf f UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; dan Pasal 92 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Selanjutnya dimohon pula kepada Ketua Mahkamah Agung untuk memerintahkan Presiden Republik Indonesia mencabut pasal 7 Peraturan Pemerintah dimaksud.
(Kongres Advokat Indonesia)