Gatra.com – Tertangkap tangannya mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Irman Gusman dalam kasus suap kuota impor gula, meramaikan waacana seputar “memperdagangkan pengaruh” dalam lema hukum pemberantasan korupsi.
Miko Ginting, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, menjelaskan bahwa hukum positif di Indonesia memang belum mengakomodirnya. Ketentuan “memperdagangkan pengaruh” itu terdapat dalam pasal 18 United Nations Convention Against Corruption (UNACAC).
Indonesia, kata Miko, sudah meratifikasinya konvensi tersebut dengan UU Nomor 7/206. Tapi, ada syarat dibentuk ketentuan khusus untuk implementasi delik “memperdagangkan pengaruh”. Miko melihat perkembangan pola korupsi menunjukan urgensi memasukannya sebagai delik baru dalam regulasi anti-korupsi. Ia mendesak pemerintah dan DPR segera menggodoknya. “Agar kasus dengan pola serupa dapat dijerat dengan delik memperdagangkan pengaruh,” katanya.
Sebelumnya, Ketua KPK, Agus Rahardjo, dan beberapa pengamat menyebut kasus yang menjerat Irman Gusman sebagai “memperdagangkan pengaruh”. Sebab, dasar berjalannya proses pengadilan pidana bagi sesorang adalah apa yang tertera dalam undang-undang.
Irman di tangkap di rumah dinasnya, Sabtu (17/9) dini hari lalu. Ia diduga menerima suap dari pengusaha importir gula untuk mendapat jatah impor dari Bulog. KPK menjeratnya dengan Pasal 12 huruf a dan b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasa Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Miko memperkirakan KPK akan kesulitan dalam pembuktian mengaitkan uang suap dengan jatah impor. Itu disebabkan Irman selaku Ketua DPD tidak memiliki kewenangan terhadap jatah impor.Namun, masih ada peluang yang bisa dimanfaatkan KPK. Menurut Miko, bukan kali ini saja KPK menggunakan istilah “memperdagangkan pengaruh.”
Dalam kasus suap impor daging sapi, istilah itu juga dikenakan pada mantan Presiden PKS, Luthfi Hassan Ishaaq. Jaksa KPK menyinggung soal “mempengaruhi”, meski, delik yang dikenakan tetap penyuapan yang tercantum dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Kasus LHI bisa jadi benchmarking bagi KPK untuk merumuskan dakwaan,” jelas Miko.
(Kongres Advokat Indonesia)