Hukumonline.com – Usai menggelar rapat kerja, Majelis Hukum merekomendasikan agar Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah mengajukan judicial review UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Sebab, pelaksanaan UU Pengampunan Pajak saat ini dinilai tak sesuai tujuan awal yang hanya diperuntukkan bagi pengemplang pajak dari kalangan atas, tetapi justru malah diperuntukkan bagi seluruh warga negara.
“Setelah kami rapat kerja Majelis Hukum PP Muhammadiyah di Yogyakarta kemarin, Majelis Hukum merekomendasikan segera melakukan judicial review UU Pengampunan Pajak ke Mahkamah Konstitusi (MK),” Ketua Majelis Hukum PP Muhammadiyah, Syaiful Bakhri saat dihubungi, Senin (29/8).
Syaiful mengatakan rencana mengajukan uji materi UU Pengampunan akan dilaporkan terlebih dahulu ke PP Muhammadiyah. Sebab, posisi Majelis Hukum Muhammadiyah hanya alat bantu dari PP Muhammadiyah. Nantinya, rekomendasi ini akan diplenokan PP Muhammadiyah yang diketuai Haidar Nashir.
“Kalau rekomendasi ini disetujui PP Muhammadiyah, ya kita segera lanjut gugat UU Pengampunan Pajak karena dasar yuridisnya sudah dipandang cukup. Kalau tidak disetujui, ya mungkin berhenti,” kata Syaiful.
Rekomendasi ini, kata Syaiful, berangkat dari kajian dan seminar yang diselenggarakan Muhammadiyah yang sudah beredar di media sosial. Secara prinsip UU Pengampunan Pajak tidak tepat karena pengampunan pajak ini ditujukan bagi orang memiliki kesalahan dalam pelaporan pajak dan harta benda atau kekayaannya diduga berada di luar negeri. Namun, kini semua warga negara diminta melaporkan pengampunan pajak.
“Tujuannya kan orang-orang yang bersalah ini bisa segera diampuni pembayaran pajak dan hartanya di luar bisa ‘masuk’ sebagai uang tebusan sekian persen, tetapi ternyata target tax amnesty tidak tercapai. Kenapa semua warga negara diminta melaporkan model pengampunan pajak, kan tidak ada kesalahan? Laporan pajak sudah ada melalui NPWP,” katanya. “Ini mengandung ketidakadilan antara warga yang melanggar konstitusi,” sambungnya.
Dia mengutip pernyataan yang pernah dilontarkan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyatakan target tax amnesty tidak tercapai untuk mendongkrak target pendapatan negara dari program ini. “Pernyataan Sri Mulyani yang beredar di media sosial pernah menyatakan program tax amnesty gagal (tidak sesuai target),” ungkapnya.
Terkait pasal-pasal yang diuji, lanjutnya, pihaknya masih mengkaji konstitusionalitas masing-masing pasal. Yang terpenting, rencana judicial review ini tergantung PP Muhammadiyah. “Pasal-pasal itu diujikan dengan Pasal 23, Pasal 28, Pasal 33, Pasal 34 UUD 1945,” katanya.
Seperti dikutip beberapa media, saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Kamis (25/8) kemarin, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan Pengampunan Pajak bukan hanya terkait wajib pajak yang sudah punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), melainkan juga yang belum memiliki NPWP.
“Saya katakan kepada mereka, tax amnesty bukan hanya untuk 100 orang terkaya di Indonesia, tetapi untuk seluruh rakyat. Rakyat ini yang akan bereaksi atas peraturan itu,” kata dia.
Dalam kurun waktu sebulan pertama ini, dia mengakui hasilnya belum optimal. Dana repatriasi yang ditargetkan juga belum mencapai level Rp 2 triliun, padahal penerimaan ditargetkan 165 triliun sejak Juli 2016 hingga 31 Maret 2017. “Kami sudah mulai mendiskusikan ini di internal pajak. Kalau peminat akan meningkat di akhir September,” katanya optimis.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 118/PMK 03/2016 tentang Pelaksanaan UU Pengampunan Pajak, diatur mengenai Subjek dan Objek Pengampunan Pajak di Bab III. Pasal 2 ayat (1) PMK, disebutkan setiap wajib pajak (WP) berhak mendapatkan pengampunan pajak. Ayat (2) selanjutnya WP yang berhak mendapatkan pengampunan pajak merupakan WP yang mempunyai kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh).
Sementara ayat (3) menyebut, WP yang belum memiliki NPWP, WP harus mendaftarkan diri terlebih dahulu untuk memperoleh NPWP di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan WP.
Sebelumnya, ada tiga pemohon yang disidangkan secara bersamaan yakni Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), Samsul Hidayat, dan Abdul Kodir Jaelani (Pemohon I); Pengurus Yayasan Satu Keadilan (YSK) (Pemohon II); dan Leni Indrawati Dkk (Pemohon III). Mereka menguji konstitusionalitas beberapa pasal “jantung” dalam UU Pengampunan Pajak ini.
Pasal ‘jantung’ yang mereka maksud adalah Pasal 1 ayat (1) dan (7); Pasal 3 ayat (1); Pasal 4; Pasal 5; Pasal 11 ayat (2), (3), dan (5); Pasal 19; Pasal 21 ayat (1) dan (2), Pasal 21 ayat (2); Pasal 22; dan Pasal 23.Inti alasan ketiga permohonan ini hampir serupa yakni pasal-pasal tersebut dinilai diskriminatif, merusak sistem perpajakan, potensial melegalkan praktik pencucian uang dan merusak sistem penegakkan hukum yang bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 1 ayat (1), (7) UU Pengampunan Pajak, misalnya. Ada kebijakan penghapusan (pengampunan) pajak terhutang dengan membayar uang tebusan yang besarnya bervariasi, sehingga pengemplang pajak terbebas dari sanksi administrasi dan pidana. Artinya, ada perlakuan khusus bagi wajib pajak yang melaporkan pengampunan pajak dengan uang tebusan tidak dikenakan tindakan hukum.
Karena itu, keinginan para Pemohon satu suara meminta MK membatalkan UU Pengampunan Pajak karena secara nyata bertentangan dengan UUD 1945. Atau beberapa pasal yang dimohonkan pengujian itu dimaknai secara bersyarat (inkonstitusional bersyarat). Misalnya, frasa ‘penghapusan pajak’ beberapa pasal UU Pengampunan Pajak dibebaskan dari sanksi administrasi dan pidana perpajakan sepanjang mengungkap harta dan membayar uang tebusan.
(Kongres Advokat Indonesia)